Review Film Autobiography: Privilege yang Dilanggengkan Sejak Era Orde Baru

/
0 Comments

 


Semenjak film Ngeri-Ngeri Sedap mendapatkan atensi penuh dari publik baik setelah penayangannya di layar lebar atau di platform Netflix, saya mulai follow akun sosial media sutradara sekaligus penulis skenario dari filmnya, Bang Bene Dion. Entah kenapa, saya cukup terobsesi agaknya dengan pemikirannya (soal dunia perfilman) usai menonton film bikinan beliau. Semua aktivitas yang dibagikan di media sosial Bang Bene hampir semuanya saya tahu dan tidak pernah terlewat.

Pertengahan bulan Januari, Bang Bene menonton film terbaru Arswendy Bening Swara yang berjudul Autobiography. Ajakannya yang cukup persuasif membuat saya penasaran dengan film tersebut. Walhasil, beberapa hari setelah penayangan serentak (tanggal 19 Januari 2023) di layar lebar, saya memutuskan untuk nonton film ini di bioskop.

Singkatnya, usai menonton filmnya, hasrat untuk menulis ulasannya itu sangat ada. Bagi saya, ini film pertama yang saya tonton di tahun 2023 yang daging bangett! Tentu tidak mungkin jika saya melewatkan untuk menuliskan ulasan film ini dari perspektif saya. Namun, karena suatu dan lain hal pada akhirnya ulasannya tidak bisa langsung saya tuangkan.

Dan pada kesempatan kali ini, saya berkesempatan menulis ulasan setelah terpaut seminggu lebih dari hari dimana saya menonton film ini. Sehingga, untuk me-recall kembali ingatan saya akan filmnya, saya harus melihat beberapa cuplikan trailer dan behind the scene yang ada di kanal youtube Kawan-Kawan Media. Dan, sungguh sangat kebetulan beberapa hari yang lalu Mbak Kalis Mardiasih mengadakan space di twitter bersama beberapa orang yang terlibat langsung dengan produksi film Autobiography. Jadi, ingatan saya akan film ini makin tercerahkan.

**Perhatian, ini akan sangat SPOILER. Jadi, bagi yang belum nonton dan tetap ingin merasakan kejutan saat menikmati filmnya, jangan nerusin baca ulasannya ya!

Sinoposis

Berkisah tentang seorang mantan jenderal bernama Purnawinata (Arswendy Bening Swara) yang kembali menempati rumahnya di kota Bojonegoro yang selama ini hanya dijaga oleh seorang pemuda bernama Rakib (Kevin Ardilova). Kepulangannya bukan hanya sekadar pulang kampung semata, tetapi Pak Purna berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam masa kampanye, Rakib secara tidak langsung menjadi tangan kanan Pak Purna. Ia, di usianya yang masih muda melihat langsung bagaimana relasi kuasa berjalan di negeri ini melalui kendali majikannya, Pak Purna. Selain itu, Rakib sudah dianggap sebagai anak Pak Purna sendiri yang membuat ia juga tidak dapat lepas dari jangkauan Pak Purna, strict parent kali ya bahasa kekiniannya. Banyak hal baru yang Rakib alami yang kemudian juga memunculkan gejolak batin dalam dirinya. Menurut atau melawan?

Tagar #seramtanpasetan

Makbul Mubarak selaku sutradara sempat nge-mention bahwa film ini tidak punya pesan moral secara tersurat. Kalau pun ada, berarti asalnya dari perspektif penonton masing-masing. Tagar #seramtanpasetan yang melekat pada film ini memang sungguh terasa. Kalau di pencarian google, film ini bergenre drama-thriller. Atau bahkan warga Twitter ada yang menggolongkan film ini menjadi genre horor. Tidak ada yang salah karena sepanjang menonton film ini yang akan penonton dapatkan adalah rasa khawatir, resah, cemas, deg-degan, menegangkan, dan pengen nabok orang, dah semua itu sensasi yang akan dirasakan saat nonton film Autobiography. Selama 115 menit penonton akan dimanjakan oleh alur yang mencekam haha. Bawa temen ya guys kalo nonton, lebih seru!

Relasi Kuasa Itu Nyata

Film ini berlatar di tahun 2017, menurut saya tidak terlalu jauh perbedaannya dengan kondisi di tahun 2023 ini. Pak Purna, layaknya pensiunan jenderal pada umumnya, ia tetap menjadi orang terhormat yang disegani oleh siapapun. Misalnya saja saat Rakib yang mengemudikan mobil Pak Purna lalu menabrak dinding masjid. Saat warga ingin menghadang mobil dan menghakiminya, Pak Purna turun dari mobil mengisyaratkan bahwa dia punya kuasa untuk menghentikan tindakan tersebut. Pak Purna menyuruh Rakib untuk tidak panik dan meminta maaf pada warga. Warga yang semula naik pitam akhirnya hanya bisa menundukkan kepala seraya mempersilakan mobil Pak Purna jalan kembali.

Saat Pak Purna kampanye di depan warga, ada salah satu anak bernama Agus (Yusuf Mahardika) memberanikan diri untuk bertanya pertanyaan yang dititipkan oleh ibunya kepada Pak Purna selaku calon kepala daerah. Kalau tidak salah ingat, ia menanyakan haknya atas lahan miliknya yang akan dibebaskan untuk kepentingan elit penguasa. Saat merespon pertanyaan tersebut, Pak Purna tidak sedang serius menjawabnya. Terkesan formalitas belaka. Bukankah ini yang sering kita lihat di sekitar kita pemirsah?

Mau sungkem juga kepada seluruh elemen yang membentuk karakter Pak Purna sedemikian rupa hingga bener-bener seram dan menakutkan. Pak Purna diem aja sudah mengerikan! Dari pakaian yang dia kenakan, mobil yang dia kemudikan, senapan yang beliau pegang, interaksi beliau dengan orang lain, sungguh terlihat meyakinkan bahwa beliau dahulunya memang prajurit yang gagah dan disegani.

Entah kebetulan atau tidak, menurut saya penayangan film ini sangat pas momentumnya untuk menyambut Pemilu di tahun depan, haha. Film yang sarat akan kritik sosial ini seharusnya bisa menjadi bahan renungan bagi para stakeholder di negara kita. “Yang berkuasa bertindak semena-mena”, wajah ini yang dipertontonkan di film ini dan seyogyanya relasi ini tidak boleh dilanggengkan.

Privilege atau hak istimewa yang didapatkan dari pensiunan jenderal atau bahkan orang di sekitarnya juga sangat kental diperlihatkan. Di film ini, kita akan melihat banyak contoh privilege yang disuguhkan saat kita dekat dengan orang yang punya kuasa. Relasi kuasa yang menjadi warisan dari era orde baru masih nyata senyata-nyatanya terasa. Merasa paling benar, harus dihormati dan disegani karena punya jabatan tinggi dan kuasa yang tak dapat dijamah oleh orang lain. Ini adalah separo kebusukan dari wajah negara kita. Film ini menjadi peringatan bagi kita bahwa kejahatan tidak sepatutnya dilestarikan!

Jangan Lupakan Karakter Pendukung

Amir (Rukman Rosadi), bapak Rakib adalah pembantu terdahulu di keluarga Pak Purna. Ia dipenjara karena melawan kebijakan korporasi yang berusaha untuk merebut lahannya. Hubungannya dengan Rakib tidak begitu akrab layaknya ayah dan anak. Sepertinya ada background di masa lalu yang membuat hubungan mereka renggang namun tidak diceritakan dalam film ini. Saat Rakib berkunjung ke Lapas, Amir berpesan pada Rakib untuk tidak mudah percaya pada siapapun. Konteks “siapapun” disini juga dimaksudkan untuk majikannya, Pak Purna. Meski dengan raut enggan, Rakib tetap menuruti apa yang dinasehatkan oleh bapaknya.

Agus (Yusuf Mahardika), anak SMA yang hanya bermodalkan tekad dan keberanian untuk melawan penguasa. Ibunya yang sedang mengandung ingin memperjuangkan tanahnya supaya tidak direbut oleh elit penguasa. Namun naas, bermaksud ingin mempertahankan haknya malah nasibnya berujung malang. Kisah Agus ini memang fiktif, tapi... coba kita lihat berita-berita yang terliput di media. Berapa banyak orang yang nasibnya sama dengan Agus? Memperjuangkan haknya, melawan penguasa, namun berujung dengan kemalangan. 

Suwito (Lukman Sardi) adalah Kapolsek di daerah tersebut. Mempunyai hubungan baik dengan Pak Purna karena di masa lalu ia sempat dibantu untuk dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi oleh Pak Purna. Permainan seperti ini masih berlanjut kan sampai sekarang? Dia juga mengetahui dalang di balik kematian Pak Purna, namun dia memilih untuk diam karena mencari “aman” saja. Tipikal aparat penegak di negara Konoha ya.

Baik pemeran utama atau pendukung sebenarnya memiliki karakter yang kuat untuk menyampaikan kritik yang sejatinya menjadi tujuan dari film ini. Bagi saya, ini sangat berhasil! Karakter para pemeran yang kuat disertai dengan eksekusi yang ciamik ini lah yang membuat film ini pantas memenangkan beragam nominasi berbagai festival di kancah internasional.

Kesengajaan yang Menjadi Simbol

Dialog saat Pak Purna meminjam charger tipe C pada Rakib ini sangat ikonik menurut saya. Kalau tidak salah, sebanyak dua kali. Awalnya saya bertanya-tanya, ada apa dengan adegan ini? Namun, Mas Makbul sudah menjawab pertanyaan ini di space nya Mbak Kalis. Bahwa semasa Pak Purna masih menjabat, beliau selalu dilayani dengan baik bahkan dari hal kecil seperti nge-charge HP. Ajudannya selalu sigap dan tanggap. Namun, saat beliau sudah pensiun, hal itu hilang dari kesehariannya. Tidak ada lagi ajudan yang tanggap dengan hal-hal kecil dan beliau harus membiasakan diri dengan hal itu. Rakib bukan ajudan yang selalu sigap dan tanggap. Sudah terjawab ya saudara-saudara?

Ada lagi scene yang membuat saya merinding adalah saat Pak Purna turut memandikan Rakib di kamar mandi yang tidak begitu luas. Apa ini maksudnya? Dari perspektif Pak Purna, ini adalah bentuk kasih sayang antara anak dengan ayah. Namun dari perspektif Rakib, ini adalah tindakan yang sudah menembus benteng diri terakhir. Maksudnya, sudah tidak ada sekat yang membentengi antara Pak Purna dengan dirinya.

Momen saat Pak Purna dan Rakib bermain catur juga tidak kalah menarik. Pak Purna selayaknya orang yang lebih berpengalaman mengajarkan pada Rakib bagaimana menyusun taktik dalam bermain catur. “Tetap tenang dan tidak boleh terlihat panik”, ini salah satu pesannya. Catur merupakan permainan yang sering dikaitkan dengan politik. Pemenangnya adalah yang pandai menyusun strategi, begitu pula dengan pusaran politik. Siapa yang ingin berkuasa maka ia harus mempunyai 1001 cara untuk mendapatkannya.

Ada Teka-Teki yang Belum Terpecahkan

Mengapa Pak Purna lebih memilih teh dari pada kopi? Ini tentu ada kaitannya dengan Rakib yang meminta kepada Suwito untuk dibuatkan kopi di penghujung film. Ada yang sudah bisa menebak? Mengapa harus kopi dan teh? Apa ini ada kaitannya dengan konflik pembebasan lahan perkebunan kopi itu? We never know....

Lagu lawas “Kaulah Segalanya” jadi terkesan magis usai menonton film ini. mengapa lagu itu yang diputar saat Pak Purna dan Rakib berada di tempat karaoke? Oh iya, perihal pemilihan lagu, “NyanyianPendaki” cover dari Fajar Merah di penghujung film juga cukup cerdas. Semula saya tidak tahu dan bahkan asing dengar lagunya. Namun, setelah dengar dari film ini, lagu itu punya ruang memori tersendiri di kepala saya, masuk di playlist lagu mencekam dan menegangkan haha.

Lagu yang tidak kalah magis adalah original soundtrack nya yang dinyanyikan oleh Sal Priadi dengan judul Ambilkan Bintang. Kalo dari sisi musiknya sih nggak mencekam, tapi kalo udah baca dan memahami lirik perbaitnya, auto keinget adegan-adegan Pak Purna dan Rakib hahaha.

Terakhir, rasanya udah cukup ya alasan-alasan dari saya yang bikin temen-temen bergegas ke bioskop untuk nonton film ini sebelum turun layar. Film ini sangat teramat pantas menjadi suguhan tontonan di layar lebarr. Bagi saya pribadi, selain alur cerita dan visualnya yang oke, sound effect-nya juga sangat disayangkan untuk dilewatkan jika tidak mendengarkannya secara langsung di dalam studio bioskop. Tunggu apalagi guys, cepattt!




Baca Juga Nih

No comments:

Komentar dan saranmu akan bermanfaat untukku 😊

Powered by Blogger.