Esoknya di kampus, aku berjalan dan berpapasan dengan teman UKM ku. “Alya, nanti ada kajian kan di Al Hikmah? Kamu dateng kan? Aku ingin datang tapi nggak ada temen nih.” Aku berbohong pada temanku jika nanti malam aku tidak bisa ikut kajian karena ada kegiatan lain. Padahal, aku masih butuh waktu untuk memperbaiki hatiku yang rapuh. Kegiatan di Al Hikmah hanya akan mengingatkanku pada Radhi yang nyatanya dekat dengan perempuan lain. Aku ingat betul Radhi pernah bilang padaku, “Buat apa pacaran? Dekat dengan kemaksiatan saja agama kita sudah melarangnya. Sekarang itu waktunya kita banggain orang tua dengan prestasi. Orang tua kita kan sudah susah payah besarin kita. Apa balas budi kita? Aku sih mikirnya gitu. Baru nanti kalo sudah wisuda gitu gapapa mikirin ke hal yang lebih serius, hehehe.” Perkataan itu membuatku semakin termotivasi, kata-kata itu pun mendorongku untuk lebih giat belajar untuk membanggakan kedua orang tuaku yang sudah susah payah mencari rezeki demi kelancaran masa kuliahku.
Semula aku menganggap dia bagaikan cahaya di Al Hikmah. Dia yang mengenalkanku dengan kegiatan-kegiatan di Al Hikmah yang luar biasa manfaatnya. Aku pun mendapat banyak teman disana. Kini, cahanya itu mulai redup akibat kabar dari Riri semalam. “Binarku tak lagi bercahaya”, gumamku. Semula kubangun ekspektasi baik tentangnya, kini runtuh begitu saja. Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan menganggap ini semua. Kesedihan ini pun aku yang buat. “Orang lain tidak merasakan itu, Li”, kata lubuk hatiku yang paling dalam. Ah, sudah lah. Mengingat tentang dia hanya akan membuatku lebih sakit hati. Astaghfirullahaladzim, alladzii laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum wa atuubuh ilaik..
Kabar dari Riri beberapa hari yang lalu tetap saja terngiang-ngiang di kepalaku. Tapi semenjak kejadian itu, aku lebih bisa menginteropeksi diri daripada sebelumnya. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa yang kulakukan dengan kegiatan di Masjid Al Hikmah itu untuk siapa sebenarnya? Demi Radhi atau ingin menggapai Ridho-Nya? Berubah untuk manusia tidak akan kekal. Manusia pun bisa mati. Tapi ridho Allah? Saat kita mencapainya, apa yang kita lakukan pasti mendapatkan pahala dan pasti baik untuk kita.” Kamis ini aku mencoba mengikuti kegiatan kajian di Masjid Al Hikmah kembali. Memperbaiki niat, bukan lagi karena ajakan dari Radhi. Wahai hati, jangan lemah harus kuat.
Kian hari, kawan-kawan kuliahku sering membicarakan mereka. Tentang kedekatan mereka. “Alya sini ikutan nimbrung. Tau nggak si Ani sering banget loh jalan bareng Radhi? Kalo menurutmu mereka gimana?” Obrolan kawan-kawan kuliahku tidak kudengar. Buat apa mendengarkan jika hanya akan memberikan goresan luka di hati? Tanggapanku pada mereka hanyalah tersenyum dan menggelengkan kepala seperti berisyarat ”no comment”. Allah memang Maha Baik. Di satu sisi aku mendengar banyak kabar tentang mereka, namun di satu sisi aku pun tidak pernah melihat mereka berdua dengan mata kepalaku sendiri. Mungkin ini cara Allah untuk mengobati luka di hati, dengan cara tidak memperlihatkan kedekatan mereka di hadapanku dan aku bisa fokus memperbaiki diri.
Setelah mendengar kabar itu, saat jam kuliah pagi aku berangkat lebih awal dari biasanya. Tidak seperti dulu saat jam 06.30 aku selalu bertemu Radhi di mushola. Pernah suatu ketika di mushola saat aku melaksanakan sholat dhuha, aku mendapati Radhi disana. Aku menarik nafas dalam-dalam, kukeluarkan pelan-pelan sembari beristighfar. Aku berdoa pada Allah memohon yang terbaik. “Jangan biarkan hamba sakit hati ya Allah dengan keadaan seperti ini. Bantulah hamba untuk kuat dan berani mengikhlaskan, aamiiin..” Ternyata aku keluar mushola bersamaan dengan dia, dia menyapaku “Hei Alya, ada kuliah pagi?”. “Iya ini ada kuliah pagi, duluan ya, Radhi”, balasku sambil tersenyum padanya. Nampak sedikit susah buatku memberikan senyum padanya. Egoku berkata, “Buat apa kau masih baik dengannya..” namun hati kecilku berkata, “Tetaplah berbuat baik padanya. Ini bukan salahnya. Kamu sendiri yang membuat rasa sakit.”
2 TAHUN KEMUDIAN...
Kawan-kawanku satu persatu mulai pergi meninggalkan bangku kuliah. Iya, sudah banyak yang wisuda. Ada yang memilih kembali ke kampung halaman atau pergi lebih jauh untuk mengadu nasib. Semua itu pilihan masing-masing. Turut senang dan hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Aku sendiri masih menyusun revisi skripsiku. Bukan perkara yang mudah apabila kita mendapatkan dosen pembimbing yang susah sekali untuk ditemui. Oh iya, Riri sahabatku sekarang sedang mengurusi wisudanya yang akan dilaksanakan pada periode selanjutnya. Katanya, keluarga dia yang dari Bojonegoro akan datang.  Jika kau menanyakan kabar Ani dan Radhi, baik aku akan menjawabnya. Ani periode kemarin sudah wisuda. Dia sudah pulang ke kampung halamannya di Pati. Sedangkan Radhi, dia akan wisuda bersamaan dengan Riri. Saat itu sukup lama agar aku tidak merasakan sakit hati melihat kedekatan antara Radhi dan Ani. Mungkin kurang lebih enam bulanan, lama bukan? Setelah itu, kembali seperti biasa. Aku menilai keduanya adalah orang yang sangat baik. Cukup itu. Radhi dan Ani menyapaku, kubalas dengan senyuman. Tidak ada lagi rasa sakit hati. Aku sudah mengikhlaskannya.
Siang ini panasnya sangat terik. Bahkan terasa hingga kamar kosku yang sudah kuhidupkan kipas anginnya. Kondisi seperti ini membuatku tidak fokus menggarap revisi. Akhirnya aku lebih memilih untuk berbaring di kasur dan memejamkan mata. Mungkin saat sore nanti sudah tidak sepanas ini. “Aku bisa bangun, mandi, lalu melanjutkan revisian.”, pikirku. Baru sedetik kumemejamkan mata, telepon genggamku bergetar. Tandanya ada pesan masuk dari seseorang. Awalnya kubiarkan, namun bergetar lagi dan berulang-ulang. Aku khawatir ada kabar penting, jadi kuraih telepon genggamku yang berada di meja sebelah kasurku. MasyaAllah, kaget bukan main ternyata itu pesan dari Radhi. Dan isinya begitu panjang sepertinya. Apa ini poster mengajak kajian lagi di Al Hikmah? Memang beberapa minggu belakangan ini Radhi kembali mengirimkan jadwal kajian di Al Hikmah padaku, yang sebenarnya aku sudah mengetahuinya dari kawan-kawanku. Tapi untuk niat baik dia, aku selalu mengucapkan terimakasih padanya karena sudah memberiku informasi dan mengajakku. Tidak menunggu lama langsung kubuka pesan itu..
“Assalamualaikum Alya”
“Alya Sabtu depan ada acara?”
“Begini Alya, Radhi kan Sabtu ini insyaAllah akan diwisuda, orang tuaku dari Cimahi akan berkunjung kesini. Kalo berkenan, Alya dateng ya. Aku berniat mau ngenalin Alya ke orang tuaku.”
Belum selesai pesan darinya kubaca, jantungku berdetak begitu cepat saat membaca pesan yang satu ini. Sekujur tubuhku tiba-tiba dingin. Kedua tanganku gemetar. Dalam rangka apa dia mau mengenalkanku pada orang tuanya? Hanya itu pertanyaanku. Namun pesan dia belum selesai kubaca, jadi kulanjutkan kembali.
“Kamu masih ingat jika aku pernah bilang ke kamu kalo aku ngagak mau pacaran dulu? Dan aku juga bilang ke kamu kalo seriusnya itu ntar waktu wisuda. Masih inget nggak, Al? Kalo kamu bertanya-tanya kenapa aku mengenalkan kamu ke orang tuaku, sudah jelas jawabannya. Karena aku ingin lebih serius denganmu, Alya Zahira.”
“Oh iya, Riri sepertinya jadwal wisudanya sama denganku. Kamu pasti ada niatan dateng kan ke wisudanya dia? Sekaliah kuh datengin Radhi juga, hehe”
Hahh? Apa ini? Apakah aku bermimpi? Atau Radhi salah kirim? Mungkin ada kawan Radhi yang lain yang bernama Alya Zahira. Apa ini benar pesan untukku? Badanku mulai lemas, yang semula dingin tiba-tiba mengucurkan keringat yang begitu deras. Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Aku menenangkan diri sejenak. Segera aku menuju kamar Riri dan menceritakan pesan Radhi padanya.
Kuketuk dengan kencang pintu kamar Riri agar segera dibuka olehnya. “Iya Li, sebentar. Ada apa sih nggak sabaran banget.”, sahut Riri dari dalam. Setelah aku masuk, aku masih mengatur nafasku. “Begini, kamu orang pertama yang akan tau ceritaku ini. Aku baru saja dapat pesan dari Radhi. Sangat mengagetkanku. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba dia bilang akan serius denganku. Menurutmu bagaimana? Nih coba kamu lihat sendiri Ri pesan dari dia.”, ucapku terbata-bata karena nafasku masih tersengal-sengal. “Waduhh, beneran ini si Radhi mau serius sama kamu, Li? Seneng banget aku yang baca!! Aku ada cerita juga sebenernya. Waktu itu aku lupa bilang ke kamu. Mungkin karena aku juga anggap kabar ini kurang penting lagi buat kamu. Jadi, mungkin sebulan yang lalu waktu aku sibuk-sibuknya ngurusin wisuda nih, aku juga sering ketemu sama si Radhi. Tiap kali ketemu nanyain kamu dia nya. ‘Kok nggak sama Alya, Ri?’ ‘Alya kemarin ikut kajian di Al Hikmah nggak?’ dan lain sebagainya aku lupa. Dan terus, aku juga pernah tanya ke dia gimana sebenarnya hubungan dia dengan Ani. Dia menjawab, ‘Aku dan Ani sebetulnya hanya berteman biasa. Namun memang intensitas pertemuan kami begitu sering. Ya sebatas kepentingan kami juga. Mungkin kami ini lebih baik dianggap bersahabat. Dan kami juga tidak pernah saling ada rasa. Temen-temennya tuh kadang bercandanya berlebihan, hehe. Lagian si Ani ini juga sudah ada calon di kampung halamannya’ dan aku juga nanggepin penjelasan dia biasa aja gitu. Nggak nanya-nanya lebih lanjut lagi. Ya mungkin dia emang serius ke kamu, Li. Toh dia juga sudah bilang nggak ada rasa sebenernya sama si Ani. Coba tanyain aja ke dia alasan apa yang membuat dia serius sama kamu. Dan kenapa gitu dia kok tiba-tiba banget? Tanyain gih.” 
Tak terasa jam menunjukkan pukul 15.00. Aku masih berada di kamar Riri dan menunggu jawaban dari Radhi atas pesanku. Sudah dua jam lamanya dia tidak membalas pesanku. Saat aku asyik bercerita dengan Riri, telepon genggamku tiba-tiba berbunyi. Bukan pesan, tapi nada panggil. Dari Radhi!! MasyaAllah, segera kuangkat telpon itu. 
“Assalamualaikum, Alya? Ini Radhi.”
“Waalaikumsalam. Iya ada apa?”
“Aku tidak mengganggu kan jika sekarang menelponmu?”                                           
“Iya nggak kok”
“Jadi, aku mau memberi penjelasan kepadamu terkait pertanyaanmu itu. Maaf aku agak lama meresponnya karena aku masih harus menata kata-kataku. Jadi begini, untuk pertanyaanmu yang pertama, alasan apa yang membuatku serius denganmu? Aku melihat kamu berbeda dari wanita-wanita lain. Sejujurnya aku sudah pernah melihatmu sebelum kita berkenalan dulu, tepatnya di Masjid Al Hikmah. Saat itu hujan begitu deras, tidak kunjung pergi hujannya. Aku sempat melihatmu membaca al-quran begitu lama. Saat yang lain sudah meninggalkan sajadahnya, namun kamu tetap disana. Aku bertanya-tanya pada diriku. ‘Siapakah dia ya Allah? Sepertinya dia baik. Tolong jika berkenan, kenalkanlah aku padanya.’ Lalu aku melanjutkan bacaan qur’anku. Entah kau mendengarnya atau tidak, hehe. Saat aku diajak berkumpul dengan Riri dan disebelah Riri ada kamu, sejujurnya aku kaget banget. Secepat itu Allah mengabulkan doaku? Sangat senang bisa kenal kamu, jadi lebih tau karaktermu. Kamu baik, penyabar, padai, nggak neko-neko. Aku makin tertarik denganmu. Sudah mungkin itu alasanku dan kesan pertamaku mengenal dirimu.”
Suara dari Radhi tidak kudengarkan sendiri, Riri pun mendengarkannya. Dan penjelasan Radhi ini berhasil membuat air mataku jatuh. Tidak kusangka ternyata dia melihatku lebih dulu. Ya Allah, Engkau yang Maha membolak-balikkan hati..
“Halo? Alya? Kamu masih dengar suaraku kan?”
“Iya iya masih dengar. Lalu jawaban untuk pertanyaanku yang kedua?”
“Oh oke. Akan kulanjutkan. Jawaban untuk pertanyaanmu yang kedua. Mengapa aku tiba-tiba banget memberitahukan ini padamu? Sebenarnya tidak tiba-tiba banget. Aku akhir-akhir ini juga bertanya-tanya tentangmu pada kawan-kawanmu, bukan pada Riri saja. Perihal aku tidak menghubungimu lagi? Ya itu karena aku mau menjaga jarak dulu. Aku pernah bilang juga ke kamu kalo ingin fokus banggain orang tua dulu? Bener nggak? Masih ingat perkataanku? Aku tidak mau kedekatan kita malah akan menjadi ladang dosa untukku dan untukmu, karena aku ada rasa denganmu. Aku ingin fokus memperbaiki diri dan banggain orang tua dulu, dan memang berniat sudah mantap akan serius denganmu. Oh iya, alhamdulillah sebelum wisuda pun aku sudah mendapatkan pekerjaan, Al. Aku diterima menjadi legal officer di salah satu perusahaan di Jogja. Cukup sekian penjelasan dariku. Jadi gimana jawabanmu, Al? Mau tidak bertemu dengan orang tuaku Sabtu depan?”
            Aku terdiam memahami kalimat perkalimat yang dilontarkan Radhi. Seperti itukah kenyataan yang sesungguhnya? Aku masih tidak percaya. Allah mengujiku dengan perasaan sakit yang sebenarnya kubuat sendiri, tetapi pada akhirnya apa? Allah ternyata ingin melihatku menjadi seorang yang mau memperbaiki diri dulu, pun dengan Radhi.
“Terimakasih sebelumnya atas kesan baikmu terhadapku. Terimakasih juga atas niat baikmu yang ingin serius denganku. Jika aku boleh jujur, dulu saat di Masjid Al Hikmah pun aku sudah mendengar lantunan bacaan al qur’anmu. Tapi aku hanya melihat punggungmu. Lalu suatu ketika saat aku sholat di mushola, aku mendengarkan suara itu lagi. Dan benar saja saat dikenalkan oleh Riri, suara itu adalah suaramu. Aku juga suka dengan kepribadianmu. Tapi saat mengetahui kamu dekat dengan Ani, aku berusaha untuk mengikhlaskan itu. Dan aku baru saja mendengar cerita dari Riri terkait hubunganmu dengan Ani. Untuk Sabtu depan menemui kedua orang tuamu, aku butuh waktu lagi untuk berpikir, Radhi. Beri aku waktu. Tiga hari lagi silakan kau tanyakan lagi padaku. Terimakasih yaa..”
“Baiklah jika permintaanmu demikian, Al. Kuharap tiga hari lagi aku mendapatkan jawaban terbaik darimu. Udah dulu ya. Oh iya, tolong bilangin ke Riri karena sudah menceritakan hal itu padamu, hehe. Wassalamualaikum”
“Iya kusampaikan, hahaha. Waalaikumsalam”
Setelah bercerita melalui telepon dengan Radhi, aku segera menelpon orang tuaku bercerita terkait keseriusan Radhi padaku. Jawaban orang tuaku adalah menyerahkan sepenuhnya padaku. Segera aku mengambil air wudhu, lekas mendirikan sholat istikharoh agar menemukan titik terang. Aku pernah sakit hati, lalu mengikhlaskannya. Tapi ternyata dia kembali lagi dan bahkan ingin serius denganku. Apakah ini yang disebut dengan jodoh nggak akan lari kemana? Di penghujung sholatku aku memohon pada-Nya, “Ya Allah, jika ini memang yang terbaik, berikanlah hamba kekuatan untuk meyakininya. Jika dia memang baik untuk hamba, terangkanlah jalannya, aamiiin”. Aku masih kalut, rasa yang dulu ada sebenarnya sedikit demi sedikit sudah mulai pudar. Apakah ini pertanda bahwa binarku kembali bercahaya kembali?
Tiga hari berselang, aku belum menerima pesan dari Radhi. “Li, udah ada pesan dari Radhi?”, tanya Riri sembari kita duduk berdua di kantin fakultas. “Iya belum. Doain aku mantap ya dengan jawabanku”, jawabku. “Iya bismillah dulu, semoga keputusan ini baik untukmu dan untuk Radhi”. Telepon genggamku tiba-tiba bergetar. Ada pesan dari Radhi.
“Assalamulaikum Alya. Sudah tiga hari, semoga jawabanmu sesuai dengan harapanku ya”
“Waalaikumsalam. Bismillahirrohmanirrohim. Setelah Alya menimbang segala macamnya, bertanya pada orang tua Alya juga, Alya insyaAllah mau dikenalkan dengan orang tua Radhi Sabtu depan. Bismillah Alya sudah siap.”
“Alhamdulillah ya Allah. Turut senang aku yang baca. Akan kukabarkan berita ini pada orang tuaku. Pasti dia senang, Al”
Berbalas pesanpun dilanjutkan. Dari awal, aku memang benar menilai bahwa Radhi ini orang yang menyenangkan. Dia baik ke semua orang. Di sisi lain dia juga bisa serius dan tegas terhadap pilihan yang dia ambil. Terimakasih ya Allah Engkau telah mengembalikan binarku yang semula kuanggap redup. Binarku kini lebh bercahaya, semoga aku bisa menjadi energi positif dari binar yang akan kumiliki. Radhi, kamu adalah binarku di Masjid Al Hikmah..

-TAMAT-


Jam tanganku menunjukkan pukul 14.45 tanda berakhirnya mata kuliah hari ini. Langkahku menuju parkiran sedikit cepat dikarenakan langit mulai gelap, suara petir menggelegar, dan awannya menggumpal seperti bulu domba. Tanda akan turun hujan. Benar saja, baru keluar dari area fakultas hujan turun begitu derasnya. Karena aku lupa membawa jas hujan, akhirnya aku memilih untuk menepi di masjid universitas, sekitar 200 meter dari fakultasku. “Masjid Al-Hikmah”, tulisan neon box berwarna merah menyala menyambut siapa saja yang akan memasuki kawasan masjid tersebut. Setelah memarkir sepeda, aku berlari menuju masjid dan segera melepaskan sepatuku. Lisanku bedoa “Allahummaftahlii abwaaba rahmatik”. Aku duduk bersila di kanopi masjid lalu melepaskan jaketku yang basah kuyup. 
Adzan ashar telah berkumandang dibarengi suara rintik hujan yang belum berhenti sedari tadi. Bergegas aku mengambil wudhu agar dapat mengikuti sholat ashar berjamaah. Para jamaah kebanyakan adalah mahasiswa yang senasib denganku. Terjebak hujan dan tak bisa pulang, akhirnya hanya bisa menunggu hujan yang deras ini tak turun kembali. Usai sholat, aku melepas mukenahku dan mengambil al-qur’an kecil yang ada di tasku. Makmumnya tidak begitu banyak dan sepi, tidak bising. Menurutku ini adalah waktu yang khidmat untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan cara membaca kalam-Nya di salah satu rumah-Nya. Tidak terasa sudah 20 menit aku menyelami samudera ayat-ayat al-qur’an. Aku memilih untuk membaca surah Ar-Rahman. Tak tau bagaimana, tiap kali aku membacanya, yang aku rasakan hanyalah nikmat yang telah Allah berikan padaku sungguh sangat banyak, melebihi cukup. Fabiayyialaa irobbikuma tukadziban. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan? Sungguh, Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Hujan yang semula deras dibarengi dengan suara petir yang menggelegar berkali-kali kini berganti hujan gerimis saja. Suara rintik hujan terdengar berirama. Di sela-sela aku mendengar rintik hujan, aku mendengar pula suara lantunan ayat suci al-quran. Suaranya sangat merdu, terdengar sangat bersahaja. “Shodaqallahul adziim..”, ucapku sambil mengusapkan al-quran pada wajahku lalu kututup. Kembali aku menundukkan kepala dan memejamkan mata. Menyimak bacaan al-quran seorang lelaki yang entah dari mana asal suaranya. Buat tenang hati, tentram rasanya. Astaghfirullah, karena terlalu fokus mendengarkan lantunan ayat demi ayat yang dibaca oleh lelaki asing itu, aku jadi tidak sadar jika hujan telah berhenti. Segera aku keluar masjid dan pulang.
Pagi ini sangat cerah, hawanya sejuk. Burung-burung bernyanyi seolah bernada namun mereka saja yang tahu ritmenya. Aku berjalan di koridor fakultas, menuju mushola. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.30. Masih ada waktu 30 menit untukku bercerita dengan Allah, berharap setiap langkahku hari ini diridhoi oleh Allah. “Assalamualaikum warahmatullah..”, suaraku lirih ketika salam di akhir sholat dhuha. Suasananya hening. Maklum, biasanya para mahasiswa datangnya mepet dengan jam masuk, dan terlebih jarang sekali ada yang masuk mushola, mungkin hanya lewat saja. Tiba-tiba ada yang memecah keheningan, suara lantunan ayat suci al-quran. Sepertinya aku pernah mendengar suara ini. Ah iya!! Ini seperti suara lelaki asing yang pernah kudengar di masjid Al-Hikmah. Persis sekali suaranya, aku tidak salah mendengar.  Tidak terasa jam menunjukkan pukul 06.50, itu berarti kurang 10 menit lagi kelasku akan dimulai. Bersamaan dengan aku memakai sepatu, sosok lelaki itu pun keluar. Aku sempat melihat wajahnya sebelum dia bergegas menuju kelas. Wajahnya asing, aku belum pernah bertemu sebelumnya. 
Bagiku, semester tiga adalah masa dimana para mahasiswa mulai menggali potensi dan mencari pengalaman seluas-luasnya setelah dua semester ia menyandang gelar mahasiswa baru. Aku dan kawanku Riri pun begitu. Kami mencari pengalaman-pengalaman baru dengan mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM). Tapi pilihan kami berbeda, aku mengikuti unit kegiatan mahasiswa kerohanian (islam) dan dia mengikuti unit kegiatan mahasiswa kajian dan penelitian. Oh iya, sedikit gambaran tentang Riri. Dia yang berasal dari Bojonegoro ini adalah kawan sekelompokku kala ospek dulu. Dan kini kami juga satu kost an. Berangkat dan pulang kuliah kami sering bersama. Terkadang aku yang nebeng dengannya atau sebaliknya. Suatu saat, ketika kami akan pulang kuliah, dia mengajakku ke taman tengah di fakultas kami. Dia bilang padaku jika masih akan berkumpul dengan teman seUKMnya. Dan itu berarti membuatku harus menunggu hingga urusannya Riri selesai. “Tunggu sebentar ya, sini aja. Jangan jauh-jauh. Nggak akan diusir juga sama teman-temanku. Sebentar lagi mereka kesini, habis selesai kelas mereka.”, ucapnya. “Emang kamu mau ada acara apa sih kok kumpul?”, tanyaku. “Ini mau ada kegiatan penyuluhan gitu. Cuma tiga orang sih perwakilan angkatanku yang ditunjuk. Aku, si Bila temen kostnya Putri, sama si Radhi.”, jawab Riri. Dari kejauhan Riri melambaikan tangan kepada dua teman UKMnya itu. Aku turut melihat ke arah dua temannya itu. Aku kenal dengan si Bila. Namun lelaki yang di sebelahnya itu dilihat dari posturnya seperti lelaki yang kapan hari bertemu di mushola dan masjid Al-Hikmah. Mereka mulai mendekat ke arahku dan Riri. Benar saja! Itu lelaki yang pernah kudengar lantunan suaranya yang merdu. “Ayo sini duduk. Radhi belum kenal sama Lia ya? Kenalan dulu gih”, perkataan Riri yang sontak buatku kaget dan mengernyitkan dahi. Tidak lama lelaki itu mengajakku bersalaman. “Kenalin Radhi Gemilang, biasanya sama anak-anak dipanggil Radhi aja sih”, kata lelaki itu sangat hangat. “Iya Radhi, kenalin aku Alya Zahira. Alya aja manggilnya. Lia itu cuma panggilannya Riri ke aku, hehe”, balasku. “Oh iya, si Radhi ini anak LDK univ li, jadi kalo UKM mu mau ngundang anak LDK, bilang aja ke Radhi hahaha.”, canda Riri padaku yang membuat Radhi sedikit tertawa. Setelah satu jam berlalu, akhirnya selesai juga urusan Riri dan kami pun pulang.
Usai berkenalan dengan Radhi kala itu, aku makin sering melihatnya di kampus. Tak jarang pula kami bertegur sapa saat berpapasan. Suatu ketika aku meminta nomor telpon Radhi pada Rara karena kepentingan UKM. Mulai saat itu, kami juga sering berbalas pesan. Ya memang hanya sebatas keperluan kami saja, tidak lebih. “Ting ting”, telepon genggamku berbunyi menandakan ada suatu pesan masuk. Ternyata dari Radhi. Ia mengirim gambar berupa poster yang judulnya “Majelis Sholawat Al Hikmah”. Lalu ada pesan pesan lagi darinya, “Ayo Alya ikutan, ajak juga temen-temennya ya besok Kamis ba’da sholat isya’ di Maasjid Al Hikmah”. Saat melihat pesan itu, bibirku refleks tersenyum riang. Segera kubalas pesan dia, “Iya insyaAllah ya, terimakasih informasinya Radhii. Akan kuajak teman-teman”. Sejauh aku mengenalnya, bagiku Radhi berbeda dengan lekaki-lekaki pada umumnya. Dia sangat baik dan hangat kepada siapapun. Tutur katanya yang selalu sopan dan halus, pandai,  pembawaannya selalu bijaksana, dan wajahnya selalu teduh, tidak pernah aku melihat dia bermuka masam. Dan aku memandang dia sangat menghargai perempuan.Di samping suaranya yang merdu saat melantunkan ayat suci al-qur’an, mungkin beberapa hal yang kusebutkan tadi adalah poin plus dari Radhi yang membuatku kagum dengan dia. Iya benar, ada perasaan lain saat aku menerima pesan darinya. Hatiku seakan-akan bergetar, tapi segera kuberucap, “Astaghfirullah..”
Keesokan harinya, tibalah malam berlangsungnya kegiatan majelis sholawat di Al Hikmah. Akhirnya aku mengajak Riri untuk pergi kesana karena kawan-kawan UKM ku ada jadwal kuliah di waktu yang sama. Masjid Al Hikmah mulai dipenuhi jamaah baik laki maupun perempuan. Usai sholat isya’ berjamaah, dimulailah kegiatan sholawatan bersama. Shaf lelaki dan perempuan tetap ada sekatnya. Jadi, aku tidak tahu apakah Radhi datang atau tidak. Tidak masalah pun bagiku apabila Radhi tak datang. Sholawatan pun dimulai. Ada suara lelaki yang memimpin. Suara rebana, bass, ketipung, dan tumbuk mulai terdengar dibunyikan bersamaan. Alunannya terdengar sangat bersemangat dan membentuk suatu harmoni. Iringan yang membuat hati kami bersemangat, membuat rindu kami kian membuncah pada Baginda Nabi Rasulullah. “Assalamualaika yaa yaa Rasulallah, assalamualaika ya habiibi, ya nabi Allah..” Tunggu, sepertinya aku tidak asing dengan suara lelaki yang sedang memimpin kami membaca sholawat. Iya, ini suara Radhi. “Li, ini suara Radhi nih”, bisik Riri padaku. Lantunan sholawat yang dilafadzkan terdengar sangat lantang. Wajah kami sangat bahagia menyuarakan bait per bait sholawat. Hati rasanya menjadi tenang dan tentram. Malam itu, aku merasakan seakan-akan ada ribuan malaikat yang menghadiri majelis sholawat itu. Hingga tiba pada penutup, kami semua saling berjabat tangan dan saling melemparkan senyuman. Apa yang barusan kami lakukan nyatanya cukup dapat membayar rasa kerinduan kami pada Rasulullah, masyaAllah.
Sepulang dari Masjid Al Hikmah saat sampai depan kamar kosku, aku mendapat pesan dari Radhi, “Tadi Alya dateng?”. “Iya dateng. Tadi yang mimpin sholawatannya kamu kan?”, jawabku sembari mengetik dan tersenyum. “Hayo pesan dari Radhi yaa. Senyum-senyum bae”, kata Riri yang tiba-tiba berada di sampingku. Telepon genggamku berbunyi kembali, ”Iya itu aku hehe.”
”Pantesan nggak asing sama suaranya.”
”Eh iya gitu? Hehe”
”Iya bagus suara Radhi. Request nih LDK jangan ngadain sekali aja. Kalo bisa rutin.
Bagus kegiatannya sangat bermanfaat.”
”Iya insyaAllah mau diistiqomahkan. Kamis depan ada kajian dari ustad ibu kota Al.
Boleh dateng, gratis”
”Wiih, matap. insyaAllah deh dateng kalo nggak ada kegiatan lain. Makasih Radhi
informasinya yaa..”
Bermula dari kegiatan majelis itu, Radhi sering mengirimkan kegiatan-kegiatan di Masjid Al Hikmah padaku dan meminta tolong padaku supaya menyebarkan kegiatan itu pada teman-teman yang lain. Pertemanan kami hanya sebatas itu, tidak lebih. Dan mungkin malah akuyang sebetulnya berlebihan dalam menanggapinya. Tidak bisa berbohong, memang pada saat menerima pesan dari Radhi jantungku berdegup kencang, tanganku keringat dingin, dan membalas pesannya pun butuh waktu bermenit-menit supaya pesan yang dikirim itu nggak sembarangan. Penilaianku terhadap Radhi saat awal berkenalan hingga akrab sampai saat ini masih sama. Sosoknya ini memang sangat idaman menurutku. Bahkan mungkin ibuku bila kuceritakan tentang Radhi pun akan mau punya mantu sepertinya, hehe. Hush, apa-apa an ini pikiranku, astaghfirullah.
Sudah tiga minggu lamanya aku dan Radhi tidak pernah saling bertukar pesan. Dari awal aku memang berusaha agar tidak memulai duluan jika memang itu bukan suatu kepentingan yang akan dibahas. Saat aku membuat status pun dia tak pernah berkomentar lagi, hanya dilihat saja. Tiga minggu terakhir ini pun Radhi sama sekali tidak pernah membagikan jadwal kegiatan di Al Hikmah. Padahal, aku sendiri tahu bahwa kegiatan rutin di Al Hikmah itu tetap berjalan. Dan aku tetap datang walau tanpa pemberi tahuan darinya. Lamunanku saat berbaring di atas kasur pun terpecah gara-gara ada yang mengetuk pintu kamar kostku. “Lia!! Aku ada berita nih buat kamu. Aku mau cerita.”, suara Riri mengagetkanku dan membuatku penasaran. Saat kubuka pintu kamarku, wajah Riri seperti mengisyaratkan akan ada kabar yang kurang baik untukku. Aku mempersilahkan dia bercerita. “Jadi gini, Li. Nggak tahu sih ini kabar penting atau nggak buat kamu. Aku tahu kamu suka sama di Radhi. Kamu kenal sama Ariani Safitri nggak? Panggilannya Ani.”, tanya Riri. Aku kenal Ariani Safitri alias Ani ini. Aku pernah sekelompok dengannya entah saat mata kuliah apa. Kenal namun tidak akrab. Orangnya sangat baik dan penuh pengertian. “Nah, dia seUKM sama aku. Waktu aku ke sekret tadi, aku melihat ada dia dan Radhi disana. Dan obrolan mereka pun sangat intens menurutku. Tapi, awalnya aku juga menganggap itu hal biasa, Li. Mereka Cuma bicara-bicara gitu walau aku juga nggak dikasih celah untuk nimbrung sama mereka. Sampai pada akhirnya si Bila dateng. Dan kata-katanya dia ini membuat aku kaget beneran deh.”, jelas Riri panjang lebar. “Bila bilang apa emangnya, Ri?”, tanyaku. “Kamu tarik nafas dulu ya. Siapkan hati dan pikiran yang dingin saat kamu menerima penjelasanku ini.”, kata Riri yang sejujurnya makin buatku tak tenang. “Si Bila masuk nih kan ke sekret. Kan ngelihat ada si Radhi sama si Ani. Dia terus bilang gini, ‘Sudahlah pacaran saja kalian ini. Sudah deket pula dari dulu. Gimana Radhi nih nggak ada action sama sekalipun padahal Ani kulihat selalu beri kode ke kamu’ aku beneran kaget Li waktu Bila bilang gitu. Dekat? Sejak kapan coba? Terus tanggapan mereka berdua cuma tersenyum dan tertawa gitu. Geli aku yang lihat.” Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, sesak dadaku mendengar pernyataan itu. Wajahku merautkan muka ‘sok’ tegar menerima penjelasan itu. Apakah ini alasan Radhi tidak pernah menghubungiku lagi? Tenyata ada Ani bersamanya sekarang. Mungkin dia tidak bertukar pesan denganku karena ingin menjaga hatinya Ani. Semua asumsi buruk keluar begitu saja dari pikiranku. “Sudah jangan sedih dulu. Kita perlu tahu lebih lanjut, jangan suudzon yang nggak baik dulu ke Radhi, Li. Kita perlu bukti lagi buat lebih yakin.”, kata Riri menenangkanku dengan menyeka air mataku. Ternyata aku menangis. Selemah itu diriku saat tahu kabar itu. (berlanjut...)


16 Maret 2019, pukul 19.00-19.45
Siapa sangka itu pertemuan terakhir kita, Mbak Fi? Nggak ada sedikit pun terlintas di pikiranku jika itu adalah pertemuan terakhir. Jujur, sampe sekarang aku masih dipenuhi rasa penyesalan. Andai saja tau, mungkin aku tidak akan beranjak dari rumah sakit.. 😢

Dateng ke rumah sakit sama Reshi dan Mumun. Masuk kamar rawat inapmu dan kami disambut sama utimu dan Mbak Nanda. Awalnya kamu masih tidur, Mbak Fi. Kami berbicara dengan uti dan Mbak Nanda tentang bagaimana kondisimu. Sejauh yang kudengar kamu baik-baik saja dan sedang menjalani puasa sudah 4 hari. Selang beberapa menit, kamu membuka matamu dan memandang ke arah kami. “Mbak Fii..”, panggilku. Mbak Fi liat ke Amal ya? “Mau bilang apa Mbak Fii?”, tanyaku. Matamu berisyarat, mau bilang sesuatu tapi tidak bisa kamu lontarkan lantaran kamu masih lemas, iya kan? Tapi aku merasa, kamu mau bilang sesuatu pada kami.

Dipandang wajah kami satu persatu. “Mbak Fii ngantuk?”, kamu menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Mbak Fi dengerin kan ya waktu aku, Reshi, sama Mumun ngobrol? Amal sempet ngajak kamu nonton Dilan kan? :’) Terus Amal juga sempet mau belikan kamu kipas portable yang bentuknya hello kitty tuh, kan kamu sukaa..

Tanganmu sempet juga takgenggam. Kamu menatapku sarat akan makna. Apa yang mau diucapkan, Mbak Fi? Aku masih bertanya-tanya. Dan bahkan pertanyaanku masih belum sempat terjawab sampai sekarang. Cukup lama dan tak terasa kamu kembali memejamkan matamu lagi.

“Mbak Fi yang kuat ya, cepet sembuh. Kalo ndak sibuk, Amal kesini lagi. Pulang dulu ya Mbak Fi..” itu kalimat terakhirku yang mungkin kamu dengar. Empat puluh lima menit saja. Dan malam itu juga aku sudah merencanakan minggu depan akan mengunjungimu lagi. Tetapi Allah berkehendak lain, ternyata rencanaku hanya sebatas rencana, tak bisa terlaksana. Ini penyesalan terbesarku sampai sekarang. Begitu sebentar pertemuan terakhir kita 😢

18 Maret 2019 Pukul 09.00
Hapeku tak biasanya berdering terus-menerus menandakan banyaknya pesan masuk. Tiga menit masih kubiarkan karena aku masih bersiap-siap ke kampus. Sebelum berangkat, aku sempatkan melihat notification whatssapp. Semua chat isinya “Innalillahi wa inna ilaihirojiun”. SIAPA? Ada juga beberapa panggilan tak terjawab dari teman-teman. APA MAKSUDNYA INI?

Sekujur tubuhku mendadak lemas. Aku memilih duduk sebentar di tempat tidurku. Menghadap ke kaca dan bertanya, “Benarkah? Ini mimpi kan?” tak terasa air mataku tiba-tiba mengalir begitu saja. Sepanjang jalan menuju kampus pun air mata ku masih tak berhenti mengalir. Allah, aku tidak siap dan tidak kuat membuka pesan dari teman-teman. Kabar ini tidak ingin kuterima rasanya. Aku belum bisa percaya.

Mengantarkanmu ke tempat peristirahatan terakhirmu. Mbak Fi, aku belum bisa terima. Kamu pergi terlalu cepat. Tapi di satu sisi aku sedikit lega, kamu tidak merasa kesakitan lagi. Pernah saat aku mengunjungimu bersama Umik, Reshi, Mumun kamu bilang “Pegel..” Terus minta dipijetin sama ayah ya? Sekarang udah nggak pegel lagi kan Mbak Fi?

Hari Ini
Aku sudah mulai bisa ikhlas dan menerima. Walau mungkin jika tiba-tiba inget ya masih suka nangis 😢Mbak Fii, aku pengen bilang minta maaf kalo selama ini Amal masih belum bisa sepenuhnya jadi sahabat yang baik. Maaf Amal banyak salah dan kurangnya selama ini sebagai sahabatmu..

Mbak Fi terlalu baik buat Amal. Tiga tahun duduk bareng terus dan selalu di depan. Mbak Fi yang tau betul kalo Amal suka ngantuk pas pelajaran, terus dijiwit biar nggak ngantuk lagi 😣Siapa yang selalu bantu Amal kalo ulangan bahasa Inggris? Siapa yang mesti nemenin Amal ke kantin, ke Mbak Gin, ke kamar mandi? 😢Siapa yang sering takpamiti ke Babussalam tiba-tiba pas jam pelajaran?

Dari tanggal 18 Maret kemarin hingga kini, aku lebih sering memutar memori-memori lampau. Jadi, Ramadhan kemarin adalah Ramadhan terakhir kita bareng-bareng ya? Maaf Mbak Fi sempat kutinggal 😢Terus, kamu masih inget ndak liburan semester 2 kemarin kita ke Taman Safari? Aku inget itu kita kesananya bulan Juli, karena kamu ulang tahun akhirnya dapet potongan tiket masuknya. Sekarang aku semakin tersadarkan, bahwa pertemuan kita dengan orang yang kita sayangi sebentar ataukah lama pasti punya makna.

Semua hal baikmu masih terekam di memoriku. Padahal Mbak Fi tau sendiri kan kalo Amal ini pelupa. Tapi semua hal baik darimu nggak pernah taklupain, Mbak Fi. Yang ngasih tau Amal caranya ngedirijen, nyanyi-nyanyi walau kamu tau sebenere suaraku kalo dibanding suaramu ya bagai langit dan bumi 😢Tapi Mbak Fi mesti ngasih tau yang bener tu nadanya gimana. Ya meski Amal tetap saja fals suaranya. Kamu wes paham 😢

Maaf Mbak Fi kalo selama kuliah Amal nggak pernah bilang rindu ke kamu. Padahal ya rindu, pengen ketemu 😢 Cuma aku ndak pengen ganggu kegiatanmu 😢Mesti kamu dulu yang chat terus bilang rindu. Maaf Amal emang kurang ekspresif. Tapi makasih Mbak Fi kamu sudah paham dari dulu. Mesti Mbak Fi dulu yang peka huu 😣

Sudah Mbak Fi. Aku terlampau sedih mau ngelanjutin nulis ini😢Yang jelas Amal hanya ingin bilang makasih Mbak Fi sudah mau-maunya berkenalan sama Amal dulu pas awal masuk SMA. Makasih sudah ngajarin Amal berbagai macam hal yang sampe sekarang juga masih takinget. Beribu-ribu maaf dari Amal karena kekurangan yang kumiliki. Doa-doaku selalu yang terbaik untuk Mbak Fia, dari dulu dan akan sampai kapanpun. Semoga kita dipertemukan di surga-Nya kelak, aamiiin..

Dari Amal yang masih merasa kamu ada...  

Powered by Blogger.