Kerasa nggak sih udah di penghujung tahun 2019 aja. Perasaan baru kapan hari deh bulan Januari 2019. Eh kok ternyata sekarang udah Desember wkwkwk

Waktu memang cepat berlalu. Bolehkan aku bertanya, bagaimana kabar target impian yang kalian buat di penghujung tahun 2018 kemarin? Adakah yang sudah tercapai?

Mau cerita sedikit perjalanan 2019 yang kualami. Begitu banyak kejadian di luar dugaan. Berkenalan dengan orang-orang hebat, turut serta dalam kegiatan besar, dan lain sebagainya. Senang? Tentu. Hal-hal yang disebut barusan tidak termasuk dalam target yang kubuat di akhir tahun 2018 lalu. Tapi apa, Allah membukakan jalannya untukku.

Ada pula target yang hingga kini pun belum tercapai. Namun tidak mau kusebutkan, biarkan hal itu menjadi target di tahun 2020. Lain hal lagi soal kegagalan. Tak sedikit kegagalan tahun ini yang kualami, misalnya gagal memperoleh beasiswa, tidak menang dalam perlombaan, dan sebagainya. Sempat hal tersebut mematahkan semangat, tapi bila kita selalu turuti rasa itu, kapan kita akan bangkit? Aku mulai bangkit dan percaya lagi bahwa Allah selalu menyiapkan hal baik untukku ke depannya. Kuncinya hanya satu, “Percaya bahwa Allah selalu baik pada kita dan tidak akan pernah menyesatkan kita”.

Bicara soal target impian, ketika memang kita punya niat yang amat sangat dan ada kesempatan untuk mencapainya, pasti targetnya dapat dicapai. Beda hal ketika target tersebut hanya kita buat di awal tanpa kita pikirkan bagaimana cara mencapainya. Yaudah hanya menjadi angan. Untuk mencapai target diperlukan yang namanya usaha. Ketika kita tenang-tenang dan santai aja, mungkinkah target kita terwujud? Target butuh keseriusan.

Target bukan melulu soal materi. Bisa saja target untuk memperbaiki personality. Menjadi lebih sabar, menjadi pendengar yang lebih baik, menjadi lebih sederhana, menjadi lebih peka terhadap sekitar, dan lain sebagainya. Apalagi bagi teman-teman yang usianya menginjak 20 tahun ke atas, yang katanya mulai memasuki ‘tahap dewasa’ tentunya semakin bisa membedakan kepribadian mana yang baik-menguntungkan ataupun yang buruk-merugikan. Bagaimana kepribadian yang bisa membuat orang lain nyaman, membuat orang lain merasa dihargai, dan lain sebagainya.

Menarik untuk dibahas terkait target memperbaiki personality. Tiap orang punya kepribadian dan karakter yang berbeda-beda. Teruntuk diriku (dan mungkin teman-teman yang merasakan hal yang sama) sebagai pengingat bahwa, ‘Kebahagiaan orang lain bukan tanggung jawab dirimu, Mal’. Jujur, ini adalah salah satu mindset yang ingin kuterapkan di tahun depan hehe. Dari aku sendiri sampai sekarang masih merasa.. jika aku mengecewakan orang lain, aku sendiri kayak merasa bersalah banget. Padahal ya.. belum tentu juga begitu. Ada saat dimana aku bikin kesalahan dan buat orang lain marah atau sedih, ihh bener-bener jadi kepikiran banget di kepala :’) dan hal ini yang mau aku ubah di tahun 2020 nanti. Karena aku merasa sampai sini hal tersebut malah menghambat aku untuk berkembang.

Aku punya jalan pilihan sendiri yang mungkin orang lain tidak sependapat denganku, dan aku memilih jalan itu. Yashh begitu, harus bisa berubah.. Mungkin temen-temen juga punya masalah yang sama sepertiku, yuk kita berubah. Tegaskan bahwa kita punya pilihan yang memang harus kita jalani dan tanpa ada intervensi dari orang lain. Semangat teman!!

Di akhir penghujung 2019 ini, izinkan aku mengucapkan terima kasih kepada semua insan yang telah membersamaiku berjuang dan melakukan hal-hal yang positif dan produktif. Terima kasih kepada teman-teman yang baru kukenali di tahun 2019, kalian semua menyenangkan. Aku banyak mengambil hikmah dan pelajaran dari kalian. Untuk teman-teman yang sebelum 2019 sudah kenal pun dan sekarang masih menyambung silaturrahmi, terima kasih sudah mau-maunya tetap berada di circle pertemananku. Semoga kita semua tetap saling memberikan manfaat satu sama lain.

Terima kasih 2019, banyak nikmat dan rezeki yang didapatkan di tahun ini. Nikmat senang, bahagia, suka cita, sedih, duka. Sempat merasa kehilangan, luka hati yang mendalam, stress berkepanjangan 😂 semoga dari kejadian-kejadian tahun ini kita mendapatkan manfaat, menjadikan semua hal yang terjadi pengalaman untuk ke depannya.

Kini kita menunggu detik-detik pergantian tahun. Mari buat target baru ataupun menata kembali target lama yang belum tercapai. Yuk sama-sama mulai menyiapkan apa yang kita impikan. Jangan lupa berdoa juga semoga langkah-langkah kita selalu diridhoi oleh Allah ya, aamiiin.. Semangat menyambut tahun baru! Kutunggu cerita baik dari teman-teman.

Oh iya satu lagi pesan untuk kalian (dan untuk diriku sendiri), jangan lupa bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah untuk kita ya. Jangan suka membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain. Allah lebih tahu kebutuhan kita. Belum tentu orang yang hidupnya lebih enak dari kita itu hidupnya memang benar-benar enak. Ada sisi kesedihan yang mungkin tidak dapat kita lihat darinya. Nikmati dan syukuri apa yang ada guyss!

*teruntuk teman yang dari dulu punya target menyempurnakan separuh agamanya di tahun 2020, semoga targetnya tercapai ya, persiapkan mental dan fisikmu. Semoga tahun depan benar-benar menjadi tahun baikmu, aamiiin😉



Aku memandang hidup sebagai sebuah perjalanan. Karena itulah aku seringkali tidak tenang ketika aku mengingat bahwa tujuan akhirku masih belum bisa kutentukan pasti, akhirat itu pasti. Tapi entah kemana aku akan berlabuh. Cahaya mana yang akan membawaku. 

Sayangnya, perjalanan ini terasa sangat terjal dan menipu. Aku sering tersesat dengan kesenangan dan mereka mulai membuatku ingin memuaskan keinginan dan memenuhi hasrat yang mengelabui.

Ketakutan adalah ketika aku tak lagi merasa takut. Kamu tau, setiap saat aku selalu ragu sekalipun raut wajahku berkata selalu ada keyakinan yang membuatku mampu tersenyum lebar. Aku terlalu pandai, untuk menjad baik-baik saja. Aku terlalu lihai, untuk menipu setiap mata yang tertuju. Aku, dan hatiku sering tak lagi selaras. Aku merasa jauh dari sebuah sentuhan kuasa Tuhan. Dari setiap tawa dan bahagia, tangisku semakin kering dan hatiku semakin keras.

Astaghfirullahaladzim. 
Astaghfirullahhaladzim. 

Aku memohon ampun kepada-Mu Ya Allah atas setiap lalai yang mencipta jarak antara aku dengan-Mu. Atas setiap lupa yang mengeraskan hatiku dan menjadikanku tak lagi semerasa dulu. Aku menginginkan sebuah luka yang mendekatkanku pada-Mu ya Allah. Menginginkan tangis yang membuatku tersadar setiap waktu yang telah berlalu, seringkali aku sia-siakan dan aku tak punya kuasa untuk memperbaiki setiap kegelapan yang telah kuciptakan sendiri, menarikku dan menjatuhkanku. Akulah, akulah yang mendorong diriku sendiri dan mengubur diriku dalam kelalaian dan kesenangan fana.

Bagai rembulan yang selalu ada meski terkadang seakan tak ada. Bagai malam yang kerap kali sembunyikan bintang. Ratapan dan pikiran manusia yang semakin menguasai hati, sampai ia tak lagi menyadari bagian mana dari dirinya yang mengikuti kata hati atau akal yang telah tercemari dunia. Menenggelamkan hakekat kuasa Allah dalam landasan hidupnya.

Alam sering kali telah memperingatkan. Manusia tak lagi bisa dapat dipercaya. Berkhianat dan tak lagi mengingat setiap butiran tanah tempatnya berasal. Pati-pati itu yang telah membawanya sampai sekarang adalah bagian yang menyokong hidup matinya namun seakan tak lagi berharga.

Akulah sang penipu. Berlagak mampu tapi lumpuh. Berlagak bisa nyatanya gegabah. Akulah sang penipu, yang tak lagi jujur kepada diri sendiri, yang tak lagi terbuka pada inginnya hati.

Setiap waktu yang terus berlalu. Setidap sudut hiruk pikuk yang aku lalui. Seakan membuatku terpana betapa aku telah mengabaikan banyak hal. Betapa aku telah mengubur banyak kesempatan. Betapa aku telah melewati banyak uluran-uluran tangan sahabatku yang menginginkanku untuk kembali kepada jalan yang seharusnya.

Aku tidak lupa akan fitrahku sebagai manusia. Tapi aku tak bisa berbohong, bahwa aku tak lagi mengenali siapa diriku sekarang. Aku tak lagi memahami bagian diriku yang masih dikendalikan oleh hati nurani dan yang telah ternodai bisikan-bisikan mereka yang ingin aku pergi.

Tidak, aku bukannya tak mengenali diriku sendiri. Aku hanya terlalu lemah dan takut untuk melawan. Dan tahukah kamu, musuh terbesar yang bertanggung jawab atas setiap kesalahan yang kamu lakukan adalah dirimu sendiri. Aku kalah melawan diriku sendiri.

Betapa Tuhan begitu baik, tak ditampakannya kesalahan-kesalahan yang kulakukan kala sendiri. Meski seringkali aku berpura-pura tak mendengar panggilan-Nya.

Betapa Tuhan begitu sayang. Sekalipun tak lagi bisa dihitung banyaknya dosa yang dilakukan olehku, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup dan terus mencari kemana aku seharusnya pulang.

Jadi, sampai kapan mau jadi sang penipu? Coba tanyakan pada dirimu sendiri seberapa kenal dengan diri sendiri. Berasal dari manakah kamu? sudahkah kamu tau maunya Sang Pencipta akan hidupmu itu apa? sudah sesuai kah jalan hidup, visi hidup, dan yang kamu perjuangkan dengan apa yang Sang Pencipta inginkan ?

Jadi, sampai kapan mau jadi sang penipu?


Assalamualaikum temen-temen!! Salam kenal dan salam sejahtera buat kalian yang baru pertama kali singgah di berandaku!

Beberapa hari yang lalu saya abis nonton film Indonesia bergenre drama-romance gitu. Wedding Agreement judulnya. Pada kesempatan kali ini, saya tidak sedang mengulas filmnya. Yang mau saya bahas adalah karakter dari salah satu tokohnya. Tapi, tidak ada salahnya juga jika saya menilai sedikit film ini ya wkwkwk.

Jika saya menilai dari 1-10, saya beri nilai 8,5 untuk film ini. Alur ceritanya runtut. Sutradaranya pandai membuat jalan ceritanya menarik, menguras emosi penontonnya. Film ini diadaptasi dari sebuah novel dimana novel tersebut ternyata diangkat dari cerita di wattpad.

Para pemeran utamanya punya karakter yang kuat. Begitu jelas terlihat bagaimana sifatnya si Bian, Tari, dan Sarah dalam film ini. Mungkin bagi kaum perempuan, pemeran favoritnya adalah Tari. Tapi emang bener sih. Si Tari berhasil banget jadi figur wanita yang penyabar, smart, paham ilmu agama, berjiwa sosial tinggi, menyenangkan, dan memprioritaskan keluarga di atas segala-galanya. Sangat sempurna tak bercela. Intinya, dia berhasil merepresentasikan istri sholehah yang idaman. Kalo karakternya Sarah, ini udah jelas banget sih. Sejak liat trailernya aja pasti temen-temen udah nggak bisa memaafkan perbuatannya. Bian yang diperankan oleh aktor muda Refal Hady pun punya karakter dan kharisma yang cukup menarik. Walau awalnya dia begitu brengsek, tapi endingnya.... silakan tonton sendiri untuk mengetahui karakter si Bian wkwkwk.

Dua hari setelah menonton filmnya, saya baru membaca novelnya wkwkwk. Biasanya kan kalo sudah diangkat menjadi sebuah film, ada bagian yang ditambah atau dikurangi. Rasa kekepoan saya terhadap cerita originalnya pun muncul. Akhirnya setelah menoton filmnya, segera saya membaca novelnya.

Menurut saya, cerita dalam novel lebih complicated. Bahkan, bagian-bagian manisnya lebih banyak hehe. Walaupun demikian, alur cerita dalam novel tetap terangkum sempurna di filmnya. Dalam artian, seluruh bagian yang mendukung agar ceritanya hidup tetap ada dalam filmnya.   

Untuk film ini, saya belum sampai pada tahap nangis sesenggukan saat menontonnya. Mungkin karena saya dari awal berasumsi, “Jelas tidak ada wanita sesabar Tari (tokoh utama perempuan)”. Tidak ada? Benarkah? Sehari setelah menonton film ini pun, masih ada pertanyaan di pikiran saya. Ada nggak sih sebenernya wanita sesabar Tari?

Sehari setelah nonton film Wedding Agreement, saya sempat mendengarkan kajian dari Ustadz Salim A. Fillah (diselenggarakan oleh komunitas Majelis Gaul-Jember). “Perempuan yang dimuliakan oleh Allah dalam Al-Qur’an ada dua. Yang pertama Siti Maryam dengan kesholehannya beliau menjadi wanita paling suci karena dapat mengandung dan melahirkan tanpa ada campur tangan peran laki-laki (Selengkapnya bisa dibaca disini) Kemudian yang kedua adalah Asiyah binti Muzahim, istri dari Raja Fir’aun, raja yang punya akhlak tidak terpuji. Bagaimana jika para akhwat ingin mulia di hadapan Allah? Jadilah seperti salah satu di antara keduanya.” tanya Ustadz Salim A. Fillah di akhir kalimat yang membuat gemuruh tawa dari para jamaah. Sempat terlintas dalam pikiran saya, “Istri dari Raja Fir’aun yaa.. uhhmm...”

Sepertinya ujian Asiyah sebagai istri Raja Fir’aun berat ya. Istri dari seorang raja yang paling bengis pada zamannya. Paras Asiyah yang cantik dan luhur budi pekertinya lah yang membuat Fir’aun ingin mempersuntingnya. Di awal pernikahan, seperti pasangan suami-istri yang baru menikah, Fir’aun begitu memanjakan istrinya. Segala yang diminta pasti dituruti, termasuk untuk memperbolehkan mengasuh anak laki-laki yang ditemukannya di Sungai Nill (Nabi Musa AS)

Lambat laun, Asiyah merasakan ada yang salah dari suaminya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh suaminya saat itu sudah tidak sesuai koridor aqidah yang ia yakini. Puncaknya ialah saat Fir’aun mewajibkan rakyatnya untuk menyembah dirinya. Jika tidak, maka konsekuensinya adalah orang tersebut akan disiksa bahkan hingga dibunuh. Naudzubillah kejinya..

Diam-diam Asiyah tetap mempertahankan aqidahnya. Ia sangat enggan menyembah suaminya sendiri karena ia yakin jika perbuatan suaminya adalah salah. Tuhan yang patut disembah hanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan sabar dan penuh ketaatannya, ia tetap menjadi istri dari Fir’aun.

Bagaimana bisa seorang perempuan tahan dan kuat dengan perlakuan suaminya terhadap orang lain yang begitu kejamnya? Jika bukan karena kesabarannya yang begitu luas dan ketauhidannya yang begitu teguh, mungkin ia sudah turut menyembah suaminya. Disaat perempuan pada umumnya menginginkan pasangan yang mulia akhlaknya, Asiyah sendiri bertahan dengan perilaku keji suaminya.

Ketika Fir’aun mengerti bahwa istrinya tidak menyembah dirinya, ia membawa istrinya untuk disiksa. Diikatnya ia dengan empat besi untuk kedua tangan dan kakinya. Tubuhnya ditelentangkan di atas panas teriknya matahari. Wajahnya pun didongakkan ke atas mengarah pada langit. Saat Asiyah ditinggalkan oleh algojo Fir’aun, pertolongan dari Allah pun datang. Ada awan yang menaunginya hingga ia tidak merasakan panas sama sekali. Asiyah pun berdoa, “Ya Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim”. Doa ini diabadikan dalam Q.S. At-Tahrim ayat 11. Bacalah bagaimana doanya, Asiyah ingin dibagunkan surga di sisi Allah. Begitu dekat dengan Allah. Terlalu cintanya ia pada Rabb-Nya hingga doanya pun seperti itu.

Atas izin kebesaran Allah, saat disiksa pun Asiyah masih bisa tersenyum. Ia memandang ke arah langit terdapat sebuah rumah yang indah yang dibangun untuknya di surga. Inilah janji Allah untuknya atas kesabarannya. Saat Fir’aun mempertanyakan keyakinannya, Asiyah tetap menjawab ia mengimani Allah ‘Azza wa Jalla, bukan suaminya. Siksaan lebih kejam lagi. Namun, dia tidak merasakannya karen ruhnya sudah terangkat ke alam surga sana.

Asiyah dianggap meninggal dalam keadaan syahid. MasyaAllah. Ujian yang Allah beri merupakan bentuk kasih sayang dari Allah untuk hamba-Nya. Ia ingin dekat dengan hamba-Nya. Derita yang dialami, tidak akan terasa bila kita yakin bahwa pertolongan dari Allah begitu dekat pada kita. Pun sama seperti yang dirasakan Asiyah. Ia yakin bahwa Allah akan melindungi hamba-Nya yang mau bersabar dan teguh pada tauhidnya.

Kesimpulannya, ternyata ada sosok wanita berkarakter seperti Tari di dunia nyata. Bahkan sabarnya lebih luas dan ujian yang diberikan untuknya lebih berat. Ialah Asiyah binti Muzahim. Beliau telah ada sejak zaman kenabian Nabi Musa AS. Memang tidak bisa dibandingkan antara tokoh fiksi Btari Hapsari dan Asiyah. Mereka berada di zaman yang berbeda dengan porsi ujian yang berbeda pula. Namun, dari dua tokoh ini kita dapat mengambil pelajaran, sabar dan dapat melawan hawa nafsu (sendiri dan orang lain) merupakan perilaku yang harus dimiliki.

Mari temen-temen kita saling memperbaiki diri. Ilmu sabar itu membutuhkan proses, tidak bisa serta-merta. Jadikan Asiyah teladan bagi kita atas bentuk kesabaran dalam menghadapi segala ujian dan ketaatannya pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Belajar dari sekarang yuk sebelum terlambat. Semoga kita selalu punya kesempatan menjadi hamba Allah yang dicinta dengan perangai baiknya, aamiiin...

Bagi temen-temen yang belum nonton film dan baca novelnya, ayo disegerakan. Banyak sekali moral value yang dapat kita ambil dalam alur ceritanya. Dijamin tidak akan menyesal. Bukan promosi, cuma ingin mengajak kalian untuk senyum-sedih di waktu yang bersamaan, haha


Assalamualaikum temen-temen!! Salam kenal dan salam sejahtera buat kalian yang baru pertama kali singgah di berandaku!

Kali ini saya mau berbagi sedikit cerita. Oke, kalo ternyata banyak cerita, mohon dimaapkeun yaa... Langsung aja deh, silakan dibaca ^-^

Cerita ini bermula saat saya ditinggal untuk beberapa waktu oleh ayah dan ibu pergi menunaikan rukun islam yang ke lima. Iya betul, naik haji. Sebelumnya, saya belum pernah berpisah dari orang tua selama 40 hari an. Paling pol ya 10 hari. Mohon maklum ya, saya kuliah di kampung halaman. Ngekostnya di rumah orang tua. Jadi alhamdulillah setiap hari ya ketemu.

Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh kedua orang tua saya. Mulai dari prepare barang yang harus dibawa, manasik haji, rajin berolahraga biar disana ndak kaget kakinya kalo jalan jauh, dan lain sebagainya. Persiapan yang lainnya adalah menyiapkan pasokan dana untuk anaknya yang akan ditinggalkan sebatang kara selama 40 hari (oke ini hiperbola). Sebelum berangkat, ibu hanya memberi saya uang yang jika diestimasikan mungkin akan habis 7 hari untuk kebutuhanku. Kebutuhan yang dimaksud diantaranya: makan, minum, uang bensin. Terus setelah 7 hari ke depan bagaimana? Mau ditransfer saja katanya.

“Oh ditransfer ke rekeningku ya.” Dan disini masalahnya bermula. SAYA TIDAK HAFAL NOMOR REKENING SAYA SENDIRI. Saya pernah mencatat nomor rekening saya di HP. Loh HPnya kan hilang :’) (untuk cerita sambat HP yang hilang, insyaAllah soon wkwkwk) Lanjut, jujur saja, saya sendiri jarang untuk melakukan transaksi online. Di samping tidak begitu suka beli-beli dan kirim duit, uang dari ayah dan ibu selalu diberikan secara kontan. Jadi yaa.. begitu lah (Tapi setelah kejadian ini, untuk mempermudah laju transaksi ekonomi di kehidupan saya, saya berwacana untuk menggunakan m-banking)

“Oh iya, di buku tabungan kan nyantumin nomor rekening” Mencarilah saya dimana buku tabungan itu berada. Seingat saya, saya meletakkannya di kamar. Setelah saya telusur dan telisik, loh kok nggak ada? Sekitar 3hari an kamar ini saya pantau. Kok ya tidak ada tanda-tanda buku tabungan itu memperlihatkan pesonanya. Saya mulai menyerah untuk mencarinya. Harusnya sih ada ya, kesingsal ini sepertinya :’) (YA AMPUN AMAL APA SIH YANG NGGAK ILANG. HP ILANG, BUKU TABUNGAN ILANG. LALI PISAN NDELEH E NANGDI)

Saya mulai putus asa. Menggerutui diri sendiri yang begitu pelupa dan kurang primpen ini. Astaghfirullah astaghfirullah.. Saya harus bertanggungjawab atas kejadiaan yang tidak diharapkan ini (YA IYALAH WOY). Akhirnya, saya memutuskan untuk MEMBUAT BUKU TABUNGAN BARU. Bagi temen-temen yang punya masalah seperti di atas (iya buku tabungannya hilang), mari disimak berikut langkah dan tipsnya:

Pertama, pergi ke kantor polisi untuk membuat bukti surat kehilangan. Kantor polisi yang direkomenadikan adalah Kantor POLSEK (Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor). Kantor polseknya usahakan juga yang terdekat dengan pembuatan buku tabungannya dulu. Hal ini dimaksudkan bisa riwa-riwinya itu nggak terlalu jauh ntar, hehe.

Kenapa kok tidak di Kantor POLRES (Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort) saja? Alasannya adalah karena lebih jauh dari bank saat saya membuat buku tabungan. Kalo ada yang dekat dan bisa, kenapa mau-maunya pergi ke yang jauh? Alasan keduanya karena (biasanya) Polsek lebih sepi dari pada Polres. Kalo sepi pasti akan lebih cepat mengurusnya. 

Tibanya di Kantor POLSEK, utarakan apa perasaan kita saat ini ke bapak/ ibu polisinya. “Pak/ Bu saya ingin mengurus bukti surat kehilangan. Saya kehilangan buku tabungan”.  Tunggu beberapa menit, pihak kepolisian akan membuatkan suratnya. Oh iya, jangan lupa mambawa fotocopy KTP. Fotocopy KTP tersebut diambil nantinya oleh pihak kepolisian. Semacam dijadikan bukti jaminan bahwa KTP atas nama si A ini pernah mengurus surat kehilangan berupa buku tabungan.

Di sela-sela pembuatan suratnya, kita akan ditanyai banyak hal oleh petugas. Seperti diinterogasi gitu. Kebetulan di Kantor Polsek tempat saya ngurus si bapak polisinya sedikit garang. Tapi tidak apa, saya paham tugas mereka memang seperti itu agar tidak ada yang berani macam-macam ke mereka :’) Butuh sekitar 15 menit saya mengurus surat kehilangannya, cukup cepat kan? Itu yang membuat lama masih diwawancarai sama beliaunya, huehehe. Setelahnya, kita akan diberikan satu lembar surat kehilangan yang nantinya lembaran tersebut diberikan pada pihak bank yang bersangkutan.

Kedua, Pergi ke bank yang bersangkutan. Yang dimaksud bank yang bersangkutan disini adalah bank saat kita membuka buku tabungan tersebut. Misal kita membuka buku tabungan di bank cabang A, kita mengurusnya jangan di bank pusat, begitu.... Parkirkan kendaraan kalian di tempat yang nyaman. Jangan asal markir karena kita nggak tahu akan berapa lama kita ngurus di dalam. Tergantung antrean, iya kan? Usai parkir, masuklah dan ambil nomor antrean untuk ke bagian customer service. Ingat, customer service ya bukan ke teller huehehe.

Saat itu saya mendapat nomor antrean 39 sedangkan yang dilayani saat itu masih nomor antrean 34. “Selisih 5 lagi”, pikir saya. Estimasi saya saat itu mungkin menunggu 30menitan. Ternyata dugaan saya salah. Lebih dari 45 menit saya belum dipanggil. Wajah saya sudah mulai lusuh wkwkwk untung di dalam ruangan berAC.

Tiba saatnya nomor antrean saya. Disambut hangat dengan berjabat tangan oleh mbak-mbak petugasnya yang begitu ramah. Setelah duduk, kita ditanya apa yang bisa si mbaknya bantu. Saya bilang kalo buku tabungan saya hilang dan berniat untuk membuat buku tabungan baru. Dengan menyerahkan bukti surat kehilangan yang dibuat tadi dan KTP asli nasabah (milik saya), si mbaknya dengan sigap langsung memproses. Tidak butuh waktu lama, sekitar 15 menit an buku tabungan yang baru sudah ada dalam genggaman saya, alhamdulillah yeay!!

Tips tambahan dari saya, usahakan ngurusnya dari pagi ya. Dan pada hari itu teman-teman bener-bener fokus ngurusin hal ini. Bisa kok diurus dalam satu hari. Bahkan setengah hari pun bisa. Memang harus sabarr yaa. Selain itu, teman-teman juga harus sedia KTP asli dan fotocopy nya ya. Pasti dua hal tersebut akan dibutuhkan.

Banyak hikmah yang bisa saya ambil atas kejadian ini (kejadian barang-barang saya yang hilang). Kebiasaan saya yang sedikit ceroboh dalam menyimpan barang-barang harus segera diubah. Iya, banyak sekali mudhorotnya dalam kehidupan saya. Bukan saja menyusahkan diri sendiri, pun meliputi orang lain.

Udahan dulu deh sambatan saya kali ini, semoga langkah dan tips di atas bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Yang punya kebiasaan lalai dan ceroboh seperti saya, yuk kita perbaiki kebiasaan buruk kita. Jangan sampai karena ulah kita, orang lain yang terkena imbasnya. Mari lebih berhati-hati dan teliti!!


Di luar sana hujan. Langitnya mulai gelap bercampur dengan awan yang mendung. Rintik hujan dan suara kodok terdengar seperti bersahutan di telinga.  Aku sedang duduk di lobypenginapan sambil membaca berita di koran lokal. Sudah sepuluh menit lamanya aku menunggu Mas Rama, suamiku, yang masih menunaikan sholat maghrib. Oh iya, aku Asmarani. Tetapi singkatnya Mas Rama memanggilku Rani saja. Dan kini, kami berada di kota dengan berjuta kenangan, Jogja.
Bukan tujuan berlibur kami kemari. Kami sedang diberi tugas oleh kantor kami masing-masing, yang kebetulan memang mengharuskan kami berada di tempat yang sama. Aku adalah pegawai bank di salah satu bank swasta ibu kota dan Mas Rama adalah seorang jurnalis di salah satu stasiun televisi nasional. Malam ini adalah malam terakhir kami berada di kota yang selalu bisa membuat siapa saja rindu dengannya. Tidak terasa sudah tiga hari lamanya kami berada di sini. Tetapi, karena kami sibuk dengan tugas masing-masing, tidak ada waktu bagi kami hanya untuk keluar melepas penat saja. Baru malam ini kami terbebas dari jeratan tugas dan amanah dari kantor. Dan malam ini, akan kami gunakan untuk bernostalgia. Mengingat kembali memori yang lalu, saat aku dan Mas Rama dipertemukan delapan tahun yang lalu di kota istimewa ini.
Langkah kami beriringan. Tangan kami bergandengan. Wajah kami menunjukkan rona kebahagian. Kami menyanyikan lagu Yogyakarta milik Kla Project yang sangat legendaris itu. “Masih seperti dulu. Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgi. Saat kita sering luangkan waktu. Nikmati bersama, suasana Jogja....” Suaraku pada hakikatnya tidak begitu bagus. Tapi suara Mas Rama tidak diragukan lagi. Terima kasih ya Allah, berkat-Mu suara falsku ini menjadi tersamarkan dengan suara merdu lelaki yang sedang berjalan di sampingku.
Sudah hampir sepuluh menit kami berjalan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan kami. Tempat bersejarah bagi kami. Tempat pertama kali kami bertemu, sebagai orang asing yang sama sekali tidak tahu-menahu lalu saling berkenalan. Wajah kami kini berhadapan. Mata kami saling menatap. Bibir kami pun seraya bergerak dan teriak dengan lantang, “Malioboro...” Tidak peduli orang sekitar melihat kami. Mungkin kami dianggap sebagai pasangan yang aneh. Biarlah, yang penting malam ini kami berdua sangat senang.
Siklus perekonomian di tempat ini sangat berjalan baik tiap harinya. Para pedagang menjual segala macam bentuk produk. Mulai dari cenderamata, kaos, batik, aksesoris, dan masih banyak lagi. Angkringan, warung lesehan, rumah makan yang berjajar. Menyuguhkan sajian kuliner yang beragam. Beragam menu, cita rasa, maupun harga. Puluhan delman berjejer di pinggir jalan. Tukang becak mengayuh becaknya yang sedang ada penumpang. Mereka semua mencari rezeki untuk keluarganya di tempat ini. Aku juga melihat banyak orang, wisatawan lokal maupun luar sedang berlalu lalang. “Disini kita menemukan banyak orang yang mempunyai tujuan yang sama. Mereka kesini untuk menikmati indahnya malam disini, di Malioboro.”, kata Mas Rama.
“Mas, tapi Malioboro ini sudah tampak berbeda ya.”, kataku pada Mas Rama sambil berjalan. “Wujud fisik bolehlah berubah. Tapi cobalah kamu menutup mata. Hirup dan rasakan udara disini.”, pinta Mas Rama yang kemudian aku lakukan. “Masihkah kamu merasa Malioboro ini berbeda? Tidak kan? Suara-suara dan udara yang kamu rasakan, aku yakin masih sama seperti dulu. Malioboro tidak pernah berubah.”, ucap Mas Rama. Benar saja, aku dapat merasakannya. Suara musisi jalanan itu, aroma sate, logat khas dari para penjual oleh-oleh. Masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Aku setuju dengan perkataan Mas Rama.
Sekitar 100 meter dari tempat kami berdiri, aku melihat ada kerumunan massa. Aku juga mendengar suara alat musik angklung dan entah alat musik apa lagi. Yang jelas sangat merdu untuk didengar. “Mas, ayo kita kesana. Kita lihat ada apa itu? Seperti pertunjukan.”, ajakku kepada Mas Rama yang masih sibuk dengan telepon selulernya. Semakin dekat dengan asal suara, aku semakin tidak asing dengan nada yang dimelodikan. “Wes nasibe kudu koyo ngene. Nduwe bojo kok ra tau ngepenakne. Seneng muring omongane sengak. Kudu takterimo bojoku pancen galak.(artinya: Sudah nasibnya memang seperti ini. Punya suami yang kurang mengenakkan. Hobinya marah bicaranya ketus. Harus diterima suamiku memang galak/pemarah.”, spontan saja aku menyanyikan lagu itu karena memang mengikuti alunan nada musisi jalanan itu. Bagiku, tidak asing mendengar lagu jawa seperti ini. Tetapi, bagi orang sunda seperti Mas Rama, mungkin bahasanya kurang dimengerti. Tapi Mas Rama masih bisa menikmati kok. Dan kurasa, siapapun tak memandang dari suku apa dia, tetap bisa menikmati sajian musik mereka yang sangat indah ini. Karena ini seni yang bersifat universal. Mereka pun memainkannya dari hati.
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sangat tidak terasa sudah hampir satu jam setengah lamanya kami berada di tempat ini. Tadi mulutku yang menyanyi, kini giliran perutku yang menyanyi. “Mas Rama apa tidak lapar?”, kodeku padanya. “Iya ayo deh kita cari warung lesehan ya.”, kata Mas Rama. Memang dia yang paling tahu, hehe. Semua warung lesehan masih ramai oleh orang-orang yang ingin kenyang. Kami akhirnya memutuskan untuk makan di warung lesehan yang berjarak sepuluh meter dari kami berdiri tadi. “Pak, nasi gudeg kalih, teh anget setunggal, kaliyan kopi setunggal. (artinya: Pak, nasi gudeg dua, teh hangat satu, sama kopi satu)”, kataku pada bapak pemilik warung lesehan itu. Tak lama, pesanan kami pun datang. Sudah menjadi kebiasaan netizen di Indonesia, bahwa sebelum makan dan berdoa, ada baiknya kita memfoto makanan yang akan disantap, lalu dibagikan melalui media sosial yang kita punya. Aku begitu, tapi Mas Rama tidak, hehe. Kami tidak banyak bicara saat makan. Mulut kami menikmati kelezatan nasi gudeg yang hangat ini, sedang mata kami memandangi orang yang berlalu lalang. Sampai pada akhirnya aku melihat ada segerombolan anak SD yang sedang rekreasi. Aku jadi teringat Arin, anakku dengan Mas Rama. “Mas, Arin sekarang lagi apa ya sama Ibuk? Kalo kita telepon, pasti dia nangis minta kita pulang. Aku tidak tega. Tapi aku kangen Arin.”, kataku. “Mungkin Arin sekarang udah tidur. Sudah jangan sedih gitu dong. Besok kan kita pulang. Ketemu sama Arin kan.”, ujar Mas Rama yang cukup menenangkanku.
Usai aku membayar di warung lesehan itu, Mas Rama mengajakku ke sebuah angkringan. Dulu di angkringan itu, Mas Rama pertama kalinya menraktirku dan menyatakan perasaannya padaku, hehe. Mungkin ini cara Mas Rama menghiburku agar aku tidak sedih karena rindu yang teramat pada Arin. “Yuk ke angkringannya Lik Man aja ya. Nostalgia tipis-tipis, hahaha.”, hibur Mas Rama padaku, dan aku mengiyakan ajakannya. Akhirnya kami sampai di angkringan Lik Man. Hanya tiga orang pelanggan yang terlihat. Kami duduk di sebelah mereka. Mas Rama ini sangat kenal dengan Lik Man. Semasa kuliah di UGM dulu, Mas Rama dan teman-temannya sering sekali kemari. “Lik Man, isih iling karo aku? (artinya: Lik Man, masih ingat denganku?”, sapa Mas Rama pada Lik Man. “Walaah, iki Rama kan? Cah Sundo. Isih kaku wae basa jawamu, Le. (artinya: Astaga, ini Rama kan? Anak Sunda. Masih tetap kaku saja bahasa jawamu, Nak ”, jawab Lik Man sambil tertawa. Perbincangan mereka pun dilanjutkan dengan asyiknya. Membahas masa-masa saat Mas Rama masih kuliah dulu, membahas teman-teman Mas Rama juga. Aku cuma bisa menyimak, tapi mendengar cerita mereka pun aku tetap senang.
Kini jam tanganku sudah menunjukkan pukul dua malam. Aku seperti dibawa oleh ombak ketenangan saat meminum secangkir wedang jahe yang sekarang sedang kupegang ini, tentram rasanya. Dari angkringan Lik Man ini, kita masih bisa melihat Tugu Jogja yang berdiri gagah di tengah persimpangan jalan itu. Sangat menawan sekali untuk dipandang. Mas Rama tiba-tiba berbisik padaku, “Jogja ini terlalu indah untuk kamu nikmati sendiri, kamu tidak akan kuat. Sini biar sama aku saja.” Bisiknya itu membuat aku senyum dan tertawa, hahahaha.
Terima kasih ya Allah, Engkau pertemukan aku dengan Mas Rama di tempat seromantis ini. Malioboro adalah Jogja. Jogja adalah bagian dari Indonesia. Tempat ini hanyalah salah satu kepingan surga dunia yang Engkau ciptakan. Banyak kepingan lain yang tersebar di seluruh nusantara ini. Indonesia, semoga rakyatmu tetap bisa menjaga kepingan-kepingan surganya yang tersebar. Mengaja budaya, kultur, dan budi pekerti yang terkandung di dalamnya. Aku cinta Mas Rama. Aku cinta Malioboro dan seisinya. Aku cinta Indonesia.

Dalam hadist dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah (pengampunan) dan akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)”

Tidak terasa hari berganti hari, kini kita telah memasuki fase 10 hari kedua di bulan suci Ramadhan😏 10 hari pertama sudah kita lewati pada minggu sebelumnya. 10 hari pertama merupakan rahmat. Pada awal Ramadhan kita semua berada di fase masih beradaptasi dan menyesuaikan dengan harus bangun jam 3 pagi untuk sahur, tidak tidur lagi selepas sholat shubuh takut kesiangan berangkat kuliah, menahan haus dan lapar dengan kesibukan yang begitu padat, menahan amarah sepanjang hari, ngabuburit menjelang berbuka, sholat tarawih berjamaah di masjid komplek, dan kegiatan-kegiatan lain yang hanya ada di bulan Ramadhan.

Saya yakin terasa sangat berat dilaksanakan bagi kita yang tidak terbiasa melakukannya. Maka dari itu, 10 hari pertama bulan Ramadhan ialah rahmat bagi hamba-Nya yang bisa menjalankan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Teman-temanku yang berbahagia, 10 hari kedua di bulan Ramadhan ini merupakan fase pengampunan. Allah akan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadahnya, insyaAllah. Di fase ini teman-teman mungkin sudah mulai terbiasa ya menyesuaikan dengan rutinitas baru. Yang sebelumnya di 10 hari pertama sering telat sahurnya atau bahkan tidak bangun sahur, pada fase kedua ini sudah mulai terbiasa reflek gitu bangun waktu denger alarm HP atau denger alarm alami dari bunda, sudah mulai terbiasa ketika kesal kita mengucapkan kalimat thoyibah bukan lagi meso-meso ndak jelas, udah nggak sering lemes dan males-malesan terus di kasur, dan masih banyak lagii..

Di fase ini, kita dapat memanfaatkannya dengan selalu dan setiap saat memohon ampun pada Allah atas dosa-dosa yang kita perbuat. Kita tidak tau seberapa banyak dosa kita, tentunya banyak. Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk meminta ampun dan memohon agar Allah menghapuskan dosa-dosa kita. Lebih baik lagi kita tidak lupa memohonkan ampun atas dosa orang tua kita, keluarga, saudara dan teman-teman kita. Tidak ada ruginya kita memohonkan ampun atas dosa orang lain. Ingat janji Allah, kebaikan kita akan digantikan pula dengan kebaikan. Apalagi sekarang bulan Ramadhan. InsyaAllah kebaikan sekecil apa pun akan tetap diganti bahkan dilipatgandakan, aamiiin..

Yang terakhir, 10 hari ketiga di bulan Ramadhan merupakan fase pembebasan dari siksa neraka. Masjid mulai sepi, shaf sholat berjamaah semakin maju, tempat perbelanjaan semakin ramai, tadarus mulai longgar. Ya, itu fenomenanya. Di tiap tahunnya bisa kita lihat sendiri bahkan kita sekalipun turut berperan, astaghfirullah. Padahal seharusnya, kita lebih giat lagi untuk beribadah karena bulan Ramadhan hampir meninggalkan kita. Di samping itu, Allah juga telah menjanjikan akan memberi malam yang istimewa yakni lailatul qodar (malam yang mulianya lebih dari mulianya seribu bulan). Bagi hamba-Nya yang istiqomah ibadahnya, mengencangkan sabuk keimanan dan ketaqwaan, insyaAllah akan dihindarkan dari siksa neraka dan mendapatkan keberkahan lailatul qodar. Semoga kita termasuk bagian dari golongan tersebut, aamiiin...


Allâhumma bârik lanâ fî rajaba wasya‘bâna waballighnâ ramadlânâ” (artinya: Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan). Dari bulan Rajab hingga Sya’ban, sering nggak sih kita denger doa ini dari langgar, mushola, atau masjid? Bisa tidak teman-teman memaknai dan meresapi isi doa tersebut? Sangat dalam😢 “... pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan”. Setelah kita disampaikan pada bulan Ramadhan, lalu apa? Doa minta dipertemukan lagi sama bulan Ramadhan jauh-jauh hari. Saat bulan Ramadhan: Ibadah kita tidak meningkat, sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Padahal kita sendiri sudah tau fadhilah bulan Ramadhan. Begitukah? Jangan...

Kita tidak akan pernah tau sampai kapan kita berada di dunia yang fana dan sementara ini. Mungkin Ramadhan tahun ini kita masih bisa berpuasa, buka bersama dengan keluarga dan teman-teman, sholat tarawih berjamaah, tadarus di masjid, dan lain sebagainya. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kegiatan tersebut dapat kita ulangi lagi tahun depan?  Diantara kita tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di kemudian hari. Jangankan Ramadhan tahun depan, satu menit yang akan datang pun kita masih tidak bisa meraba apa yang akan terjadi sesuai kehendak Allah.

Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati esok hari

Mengapa muncul ungkapan demikian? Semangat bekerja akan tumbuh bila kita merasa punya umur yang panjang. Waktu yang akan dihabiskan banyak dan kita masih bisa mau melakukan apa saja sesuai kemauan kita. Sedangkan jika kita merasa bahwa besok ajal telah menjemput, maka dapat dipastikan kita memanfaatkan sisa waktu yang ada sebaik mungkin.

Sekarang pertanyaannya, masihkan teman-teman bermalas-malasan beribadah di bulan yang penuh berkah ini? Yuk beribadah dengan khidmat seolah-olah ini menjadi Ramadhan terakhir kita. Sholat kita, puasa kita, ngaji kita, sedekah kita, dan ibadah yang lain adalah untuk diri kita sendiri. Allah tidak perlu itu, kita yang perlu. Masih ada kiranya tiga minggu waktu kita berlomba-lomba dalam kebaikan di bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini.

Jangan ragu, yuk sama-sama isi ulang iman dan taqwa kita. Tulisan kali ini bukan untuk menggurui, tetapi untuk bahan renungan saya dan teman-teman yang mau-maunya membaca yaa. Kita disini saling mengingatkan saja, bila saya ada kesalahan mohon dikoreksi. Teman-teman boleh kok tulis di kolom komentar yang tersedia di bawah. Tetap semangat teman-teman. Semoga Allah meridhoi seluruh ibadah kita di bulan Ramadhan tahun ini!!  😉


Esoknya di kampus, aku berjalan dan berpapasan dengan teman UKM ku. “Alya, nanti ada kajian kan di Al Hikmah? Kamu dateng kan? Aku ingin datang tapi nggak ada temen nih.” Aku berbohong pada temanku jika nanti malam aku tidak bisa ikut kajian karena ada kegiatan lain. Padahal, aku masih butuh waktu untuk memperbaiki hatiku yang rapuh. Kegiatan di Al Hikmah hanya akan mengingatkanku pada Radhi yang nyatanya dekat dengan perempuan lain. Aku ingat betul Radhi pernah bilang padaku, “Buat apa pacaran? Dekat dengan kemaksiatan saja agama kita sudah melarangnya. Sekarang itu waktunya kita banggain orang tua dengan prestasi. Orang tua kita kan sudah susah payah besarin kita. Apa balas budi kita? Aku sih mikirnya gitu. Baru nanti kalo sudah wisuda gitu gapapa mikirin ke hal yang lebih serius, hehehe.” Perkataan itu membuatku semakin termotivasi, kata-kata itu pun mendorongku untuk lebih giat belajar untuk membanggakan kedua orang tuaku yang sudah susah payah mencari rezeki demi kelancaran masa kuliahku.
Semula aku menganggap dia bagaikan cahaya di Al Hikmah. Dia yang mengenalkanku dengan kegiatan-kegiatan di Al Hikmah yang luar biasa manfaatnya. Aku pun mendapat banyak teman disana. Kini, cahanya itu mulai redup akibat kabar dari Riri semalam. “Binarku tak lagi bercahaya”, gumamku. Semula kubangun ekspektasi baik tentangnya, kini runtuh begitu saja. Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan menganggap ini semua. Kesedihan ini pun aku yang buat. “Orang lain tidak merasakan itu, Li”, kata lubuk hatiku yang paling dalam. Ah, sudah lah. Mengingat tentang dia hanya akan membuatku lebih sakit hati. Astaghfirullahaladzim, alladzii laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum wa atuubuh ilaik..
Kabar dari Riri beberapa hari yang lalu tetap saja terngiang-ngiang di kepalaku. Tapi semenjak kejadian itu, aku lebih bisa menginteropeksi diri daripada sebelumnya. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa yang kulakukan dengan kegiatan di Masjid Al Hikmah itu untuk siapa sebenarnya? Demi Radhi atau ingin menggapai Ridho-Nya? Berubah untuk manusia tidak akan kekal. Manusia pun bisa mati. Tapi ridho Allah? Saat kita mencapainya, apa yang kita lakukan pasti mendapatkan pahala dan pasti baik untuk kita.” Kamis ini aku mencoba mengikuti kegiatan kajian di Masjid Al Hikmah kembali. Memperbaiki niat, bukan lagi karena ajakan dari Radhi. Wahai hati, jangan lemah harus kuat.
Kian hari, kawan-kawan kuliahku sering membicarakan mereka. Tentang kedekatan mereka. “Alya sini ikutan nimbrung. Tau nggak si Ani sering banget loh jalan bareng Radhi? Kalo menurutmu mereka gimana?” Obrolan kawan-kawan kuliahku tidak kudengar. Buat apa mendengarkan jika hanya akan memberikan goresan luka di hati? Tanggapanku pada mereka hanyalah tersenyum dan menggelengkan kepala seperti berisyarat ”no comment”. Allah memang Maha Baik. Di satu sisi aku mendengar banyak kabar tentang mereka, namun di satu sisi aku pun tidak pernah melihat mereka berdua dengan mata kepalaku sendiri. Mungkin ini cara Allah untuk mengobati luka di hati, dengan cara tidak memperlihatkan kedekatan mereka di hadapanku dan aku bisa fokus memperbaiki diri.
Setelah mendengar kabar itu, saat jam kuliah pagi aku berangkat lebih awal dari biasanya. Tidak seperti dulu saat jam 06.30 aku selalu bertemu Radhi di mushola. Pernah suatu ketika di mushola saat aku melaksanakan sholat dhuha, aku mendapati Radhi disana. Aku menarik nafas dalam-dalam, kukeluarkan pelan-pelan sembari beristighfar. Aku berdoa pada Allah memohon yang terbaik. “Jangan biarkan hamba sakit hati ya Allah dengan keadaan seperti ini. Bantulah hamba untuk kuat dan berani mengikhlaskan, aamiiin..” Ternyata aku keluar mushola bersamaan dengan dia, dia menyapaku “Hei Alya, ada kuliah pagi?”. “Iya ini ada kuliah pagi, duluan ya, Radhi”, balasku sambil tersenyum padanya. Nampak sedikit susah buatku memberikan senyum padanya. Egoku berkata, “Buat apa kau masih baik dengannya..” namun hati kecilku berkata, “Tetaplah berbuat baik padanya. Ini bukan salahnya. Kamu sendiri yang membuat rasa sakit.”
2 TAHUN KEMUDIAN...
Kawan-kawanku satu persatu mulai pergi meninggalkan bangku kuliah. Iya, sudah banyak yang wisuda. Ada yang memilih kembali ke kampung halaman atau pergi lebih jauh untuk mengadu nasib. Semua itu pilihan masing-masing. Turut senang dan hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Aku sendiri masih menyusun revisi skripsiku. Bukan perkara yang mudah apabila kita mendapatkan dosen pembimbing yang susah sekali untuk ditemui. Oh iya, Riri sahabatku sekarang sedang mengurusi wisudanya yang akan dilaksanakan pada periode selanjutnya. Katanya, keluarga dia yang dari Bojonegoro akan datang.  Jika kau menanyakan kabar Ani dan Radhi, baik aku akan menjawabnya. Ani periode kemarin sudah wisuda. Dia sudah pulang ke kampung halamannya di Pati. Sedangkan Radhi, dia akan wisuda bersamaan dengan Riri. Saat itu sukup lama agar aku tidak merasakan sakit hati melihat kedekatan antara Radhi dan Ani. Mungkin kurang lebih enam bulanan, lama bukan? Setelah itu, kembali seperti biasa. Aku menilai keduanya adalah orang yang sangat baik. Cukup itu. Radhi dan Ani menyapaku, kubalas dengan senyuman. Tidak ada lagi rasa sakit hati. Aku sudah mengikhlaskannya.
Siang ini panasnya sangat terik. Bahkan terasa hingga kamar kosku yang sudah kuhidupkan kipas anginnya. Kondisi seperti ini membuatku tidak fokus menggarap revisi. Akhirnya aku lebih memilih untuk berbaring di kasur dan memejamkan mata. Mungkin saat sore nanti sudah tidak sepanas ini. “Aku bisa bangun, mandi, lalu melanjutkan revisian.”, pikirku. Baru sedetik kumemejamkan mata, telepon genggamku bergetar. Tandanya ada pesan masuk dari seseorang. Awalnya kubiarkan, namun bergetar lagi dan berulang-ulang. Aku khawatir ada kabar penting, jadi kuraih telepon genggamku yang berada di meja sebelah kasurku. MasyaAllah, kaget bukan main ternyata itu pesan dari Radhi. Dan isinya begitu panjang sepertinya. Apa ini poster mengajak kajian lagi di Al Hikmah? Memang beberapa minggu belakangan ini Radhi kembali mengirimkan jadwal kajian di Al Hikmah padaku, yang sebenarnya aku sudah mengetahuinya dari kawan-kawanku. Tapi untuk niat baik dia, aku selalu mengucapkan terimakasih padanya karena sudah memberiku informasi dan mengajakku. Tidak menunggu lama langsung kubuka pesan itu..
“Assalamualaikum Alya”
“Alya Sabtu depan ada acara?”
“Begini Alya, Radhi kan Sabtu ini insyaAllah akan diwisuda, orang tuaku dari Cimahi akan berkunjung kesini. Kalo berkenan, Alya dateng ya. Aku berniat mau ngenalin Alya ke orang tuaku.”
Belum selesai pesan darinya kubaca, jantungku berdetak begitu cepat saat membaca pesan yang satu ini. Sekujur tubuhku tiba-tiba dingin. Kedua tanganku gemetar. Dalam rangka apa dia mau mengenalkanku pada orang tuanya? Hanya itu pertanyaanku. Namun pesan dia belum selesai kubaca, jadi kulanjutkan kembali.
“Kamu masih ingat jika aku pernah bilang ke kamu kalo aku ngagak mau pacaran dulu? Dan aku juga bilang ke kamu kalo seriusnya itu ntar waktu wisuda. Masih inget nggak, Al? Kalo kamu bertanya-tanya kenapa aku mengenalkan kamu ke orang tuaku, sudah jelas jawabannya. Karena aku ingin lebih serius denganmu, Alya Zahira.”
“Oh iya, Riri sepertinya jadwal wisudanya sama denganku. Kamu pasti ada niatan dateng kan ke wisudanya dia? Sekaliah kuh datengin Radhi juga, hehe”
Hahh? Apa ini? Apakah aku bermimpi? Atau Radhi salah kirim? Mungkin ada kawan Radhi yang lain yang bernama Alya Zahira. Apa ini benar pesan untukku? Badanku mulai lemas, yang semula dingin tiba-tiba mengucurkan keringat yang begitu deras. Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Aku menenangkan diri sejenak. Segera aku menuju kamar Riri dan menceritakan pesan Radhi padanya.
Kuketuk dengan kencang pintu kamar Riri agar segera dibuka olehnya. “Iya Li, sebentar. Ada apa sih nggak sabaran banget.”, sahut Riri dari dalam. Setelah aku masuk, aku masih mengatur nafasku. “Begini, kamu orang pertama yang akan tau ceritaku ini. Aku baru saja dapat pesan dari Radhi. Sangat mengagetkanku. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba dia bilang akan serius denganku. Menurutmu bagaimana? Nih coba kamu lihat sendiri Ri pesan dari dia.”, ucapku terbata-bata karena nafasku masih tersengal-sengal. “Waduhh, beneran ini si Radhi mau serius sama kamu, Li? Seneng banget aku yang baca!! Aku ada cerita juga sebenernya. Waktu itu aku lupa bilang ke kamu. Mungkin karena aku juga anggap kabar ini kurang penting lagi buat kamu. Jadi, mungkin sebulan yang lalu waktu aku sibuk-sibuknya ngurusin wisuda nih, aku juga sering ketemu sama si Radhi. Tiap kali ketemu nanyain kamu dia nya. ‘Kok nggak sama Alya, Ri?’ ‘Alya kemarin ikut kajian di Al Hikmah nggak?’ dan lain sebagainya aku lupa. Dan terus, aku juga pernah tanya ke dia gimana sebenarnya hubungan dia dengan Ani. Dia menjawab, ‘Aku dan Ani sebetulnya hanya berteman biasa. Namun memang intensitas pertemuan kami begitu sering. Ya sebatas kepentingan kami juga. Mungkin kami ini lebih baik dianggap bersahabat. Dan kami juga tidak pernah saling ada rasa. Temen-temennya tuh kadang bercandanya berlebihan, hehe. Lagian si Ani ini juga sudah ada calon di kampung halamannya’ dan aku juga nanggepin penjelasan dia biasa aja gitu. Nggak nanya-nanya lebih lanjut lagi. Ya mungkin dia emang serius ke kamu, Li. Toh dia juga sudah bilang nggak ada rasa sebenernya sama si Ani. Coba tanyain aja ke dia alasan apa yang membuat dia serius sama kamu. Dan kenapa gitu dia kok tiba-tiba banget? Tanyain gih.” 
Tak terasa jam menunjukkan pukul 15.00. Aku masih berada di kamar Riri dan menunggu jawaban dari Radhi atas pesanku. Sudah dua jam lamanya dia tidak membalas pesanku. Saat aku asyik bercerita dengan Riri, telepon genggamku tiba-tiba berbunyi. Bukan pesan, tapi nada panggil. Dari Radhi!! MasyaAllah, segera kuangkat telpon itu. 
“Assalamualaikum, Alya? Ini Radhi.”
“Waalaikumsalam. Iya ada apa?”
“Aku tidak mengganggu kan jika sekarang menelponmu?”                                           
“Iya nggak kok”
“Jadi, aku mau memberi penjelasan kepadamu terkait pertanyaanmu itu. Maaf aku agak lama meresponnya karena aku masih harus menata kata-kataku. Jadi begini, untuk pertanyaanmu yang pertama, alasan apa yang membuatku serius denganmu? Aku melihat kamu berbeda dari wanita-wanita lain. Sejujurnya aku sudah pernah melihatmu sebelum kita berkenalan dulu, tepatnya di Masjid Al Hikmah. Saat itu hujan begitu deras, tidak kunjung pergi hujannya. Aku sempat melihatmu membaca al-quran begitu lama. Saat yang lain sudah meninggalkan sajadahnya, namun kamu tetap disana. Aku bertanya-tanya pada diriku. ‘Siapakah dia ya Allah? Sepertinya dia baik. Tolong jika berkenan, kenalkanlah aku padanya.’ Lalu aku melanjutkan bacaan qur’anku. Entah kau mendengarnya atau tidak, hehe. Saat aku diajak berkumpul dengan Riri dan disebelah Riri ada kamu, sejujurnya aku kaget banget. Secepat itu Allah mengabulkan doaku? Sangat senang bisa kenal kamu, jadi lebih tau karaktermu. Kamu baik, penyabar, padai, nggak neko-neko. Aku makin tertarik denganmu. Sudah mungkin itu alasanku dan kesan pertamaku mengenal dirimu.”
Suara dari Radhi tidak kudengarkan sendiri, Riri pun mendengarkannya. Dan penjelasan Radhi ini berhasil membuat air mataku jatuh. Tidak kusangka ternyata dia melihatku lebih dulu. Ya Allah, Engkau yang Maha membolak-balikkan hati..
“Halo? Alya? Kamu masih dengar suaraku kan?”
“Iya iya masih dengar. Lalu jawaban untuk pertanyaanku yang kedua?”
“Oh oke. Akan kulanjutkan. Jawaban untuk pertanyaanmu yang kedua. Mengapa aku tiba-tiba banget memberitahukan ini padamu? Sebenarnya tidak tiba-tiba banget. Aku akhir-akhir ini juga bertanya-tanya tentangmu pada kawan-kawanmu, bukan pada Riri saja. Perihal aku tidak menghubungimu lagi? Ya itu karena aku mau menjaga jarak dulu. Aku pernah bilang juga ke kamu kalo ingin fokus banggain orang tua dulu? Bener nggak? Masih ingat perkataanku? Aku tidak mau kedekatan kita malah akan menjadi ladang dosa untukku dan untukmu, karena aku ada rasa denganmu. Aku ingin fokus memperbaiki diri dan banggain orang tua dulu, dan memang berniat sudah mantap akan serius denganmu. Oh iya, alhamdulillah sebelum wisuda pun aku sudah mendapatkan pekerjaan, Al. Aku diterima menjadi legal officer di salah satu perusahaan di Jogja. Cukup sekian penjelasan dariku. Jadi gimana jawabanmu, Al? Mau tidak bertemu dengan orang tuaku Sabtu depan?”
            Aku terdiam memahami kalimat perkalimat yang dilontarkan Radhi. Seperti itukah kenyataan yang sesungguhnya? Aku masih tidak percaya. Allah mengujiku dengan perasaan sakit yang sebenarnya kubuat sendiri, tetapi pada akhirnya apa? Allah ternyata ingin melihatku menjadi seorang yang mau memperbaiki diri dulu, pun dengan Radhi.
“Terimakasih sebelumnya atas kesan baikmu terhadapku. Terimakasih juga atas niat baikmu yang ingin serius denganku. Jika aku boleh jujur, dulu saat di Masjid Al Hikmah pun aku sudah mendengar lantunan bacaan al qur’anmu. Tapi aku hanya melihat punggungmu. Lalu suatu ketika saat aku sholat di mushola, aku mendengarkan suara itu lagi. Dan benar saja saat dikenalkan oleh Riri, suara itu adalah suaramu. Aku juga suka dengan kepribadianmu. Tapi saat mengetahui kamu dekat dengan Ani, aku berusaha untuk mengikhlaskan itu. Dan aku baru saja mendengar cerita dari Riri terkait hubunganmu dengan Ani. Untuk Sabtu depan menemui kedua orang tuamu, aku butuh waktu lagi untuk berpikir, Radhi. Beri aku waktu. Tiga hari lagi silakan kau tanyakan lagi padaku. Terimakasih yaa..”
“Baiklah jika permintaanmu demikian, Al. Kuharap tiga hari lagi aku mendapatkan jawaban terbaik darimu. Udah dulu ya. Oh iya, tolong bilangin ke Riri karena sudah menceritakan hal itu padamu, hehe. Wassalamualaikum”
“Iya kusampaikan, hahaha. Waalaikumsalam”
Setelah bercerita melalui telepon dengan Radhi, aku segera menelpon orang tuaku bercerita terkait keseriusan Radhi padaku. Jawaban orang tuaku adalah menyerahkan sepenuhnya padaku. Segera aku mengambil air wudhu, lekas mendirikan sholat istikharoh agar menemukan titik terang. Aku pernah sakit hati, lalu mengikhlaskannya. Tapi ternyata dia kembali lagi dan bahkan ingin serius denganku. Apakah ini yang disebut dengan jodoh nggak akan lari kemana? Di penghujung sholatku aku memohon pada-Nya, “Ya Allah, jika ini memang yang terbaik, berikanlah hamba kekuatan untuk meyakininya. Jika dia memang baik untuk hamba, terangkanlah jalannya, aamiiin”. Aku masih kalut, rasa yang dulu ada sebenarnya sedikit demi sedikit sudah mulai pudar. Apakah ini pertanda bahwa binarku kembali bercahaya kembali?
Tiga hari berselang, aku belum menerima pesan dari Radhi. “Li, udah ada pesan dari Radhi?”, tanya Riri sembari kita duduk berdua di kantin fakultas. “Iya belum. Doain aku mantap ya dengan jawabanku”, jawabku. “Iya bismillah dulu, semoga keputusan ini baik untukmu dan untuk Radhi”. Telepon genggamku tiba-tiba bergetar. Ada pesan dari Radhi.
“Assalamulaikum Alya. Sudah tiga hari, semoga jawabanmu sesuai dengan harapanku ya”
“Waalaikumsalam. Bismillahirrohmanirrohim. Setelah Alya menimbang segala macamnya, bertanya pada orang tua Alya juga, Alya insyaAllah mau dikenalkan dengan orang tua Radhi Sabtu depan. Bismillah Alya sudah siap.”
“Alhamdulillah ya Allah. Turut senang aku yang baca. Akan kukabarkan berita ini pada orang tuaku. Pasti dia senang, Al”
Berbalas pesanpun dilanjutkan. Dari awal, aku memang benar menilai bahwa Radhi ini orang yang menyenangkan. Dia baik ke semua orang. Di sisi lain dia juga bisa serius dan tegas terhadap pilihan yang dia ambil. Terimakasih ya Allah Engkau telah mengembalikan binarku yang semula kuanggap redup. Binarku kini lebh bercahaya, semoga aku bisa menjadi energi positif dari binar yang akan kumiliki. Radhi, kamu adalah binarku di Masjid Al Hikmah..

-TAMAT-

Powered by Blogger.