Aku memandang hidup sebagai sebuah perjalanan. Karena itulah aku seringkali tidak tenang ketika aku mengingat bahwa tujuan akhirku masih belum bisa kutentukan pasti, akhirat itu pasti. Tapi entah kemana aku akan berlabuh. Cahaya mana yang akan membawaku. 

Sayangnya, perjalanan ini terasa sangat terjal dan menipu. Aku sering tersesat dengan kesenangan dan mereka mulai membuatku ingin memuaskan keinginan dan memenuhi hasrat yang mengelabui.

Ketakutan adalah ketika aku tak lagi merasa takut. Kamu tau, setiap saat aku selalu ragu sekalipun raut wajahku berkata selalu ada keyakinan yang membuatku mampu tersenyum lebar. Aku terlalu pandai, untuk menjad baik-baik saja. Aku terlalu lihai, untuk menipu setiap mata yang tertuju. Aku, dan hatiku sering tak lagi selaras. Aku merasa jauh dari sebuah sentuhan kuasa Tuhan. Dari setiap tawa dan bahagia, tangisku semakin kering dan hatiku semakin keras.

Astaghfirullahaladzim. 
Astaghfirullahhaladzim. 

Aku memohon ampun kepada-Mu Ya Allah atas setiap lalai yang mencipta jarak antara aku dengan-Mu. Atas setiap lupa yang mengeraskan hatiku dan menjadikanku tak lagi semerasa dulu. Aku menginginkan sebuah luka yang mendekatkanku pada-Mu ya Allah. Menginginkan tangis yang membuatku tersadar setiap waktu yang telah berlalu, seringkali aku sia-siakan dan aku tak punya kuasa untuk memperbaiki setiap kegelapan yang telah kuciptakan sendiri, menarikku dan menjatuhkanku. Akulah, akulah yang mendorong diriku sendiri dan mengubur diriku dalam kelalaian dan kesenangan fana.

Bagai rembulan yang selalu ada meski terkadang seakan tak ada. Bagai malam yang kerap kali sembunyikan bintang. Ratapan dan pikiran manusia yang semakin menguasai hati, sampai ia tak lagi menyadari bagian mana dari dirinya yang mengikuti kata hati atau akal yang telah tercemari dunia. Menenggelamkan hakekat kuasa Allah dalam landasan hidupnya.

Alam sering kali telah memperingatkan. Manusia tak lagi bisa dapat dipercaya. Berkhianat dan tak lagi mengingat setiap butiran tanah tempatnya berasal. Pati-pati itu yang telah membawanya sampai sekarang adalah bagian yang menyokong hidup matinya namun seakan tak lagi berharga.

Akulah sang penipu. Berlagak mampu tapi lumpuh. Berlagak bisa nyatanya gegabah. Akulah sang penipu, yang tak lagi jujur kepada diri sendiri, yang tak lagi terbuka pada inginnya hati.

Setiap waktu yang terus berlalu. Setidap sudut hiruk pikuk yang aku lalui. Seakan membuatku terpana betapa aku telah mengabaikan banyak hal. Betapa aku telah mengubur banyak kesempatan. Betapa aku telah melewati banyak uluran-uluran tangan sahabatku yang menginginkanku untuk kembali kepada jalan yang seharusnya.

Aku tidak lupa akan fitrahku sebagai manusia. Tapi aku tak bisa berbohong, bahwa aku tak lagi mengenali siapa diriku sekarang. Aku tak lagi memahami bagian diriku yang masih dikendalikan oleh hati nurani dan yang telah ternodai bisikan-bisikan mereka yang ingin aku pergi.

Tidak, aku bukannya tak mengenali diriku sendiri. Aku hanya terlalu lemah dan takut untuk melawan. Dan tahukah kamu, musuh terbesar yang bertanggung jawab atas setiap kesalahan yang kamu lakukan adalah dirimu sendiri. Aku kalah melawan diriku sendiri.

Betapa Tuhan begitu baik, tak ditampakannya kesalahan-kesalahan yang kulakukan kala sendiri. Meski seringkali aku berpura-pura tak mendengar panggilan-Nya.

Betapa Tuhan begitu sayang. Sekalipun tak lagi bisa dihitung banyaknya dosa yang dilakukan olehku, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup dan terus mencari kemana aku seharusnya pulang.

Jadi, sampai kapan mau jadi sang penipu? Coba tanyakan pada dirimu sendiri seberapa kenal dengan diri sendiri. Berasal dari manakah kamu? sudahkah kamu tau maunya Sang Pencipta akan hidupmu itu apa? sudah sesuai kah jalan hidup, visi hidup, dan yang kamu perjuangkan dengan apa yang Sang Pencipta inginkan ?

Jadi, sampai kapan mau jadi sang penipu?

Powered by Blogger.