Tahun 2023 telah terlewati, namun ada satu tradisi pribadi saya yang masih luput dilakukan. Ya, menuliskan bahan perenungan dan mulai merencanakan resolusi di tahun mendatang. Bagi saya pribadi, tradisi yang sudah ada memang perlu dirawat. Dan dari tulisan ini, di kesempatan kali ini, saya sedang berupaya untuk melunasi tanggungan itu.

Tanggal 16 Desember 2023 melegitimasi usia yang seperempat abad ini. di tanggal tersebut, tidak ada perayaan spesial macam tahun-tahun sebelumnya, pun perayaan kecil-kecilan. Di hari itu bahkan saya sedang mengurus kegiatan organisasi hingga tak tau waktu. Rasanya, sama seperti hari-hari biasa. Ini juga mungkin pada hari itu saya tidak sempat melakukan “tradisi” yang saya maksud.

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran baru yang saya dapatkan di tahun 2023. Sebagai seorang yang sebenarnya tidak begitu punya banyak ruang bebas (menurut saya), bagi saya, dua-tiga pengalaman baru yang memberikan kesan berbeda akan saya anggap itu momentum yang tidak akan saya lupakan. Beberapa momentum itu akan saya uraikan di tulisan ini.

Pertama wabil khusus adalah momentum saat saya menjadi peserta terpilih dari kegitana Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) ke-IX yang diselenggarakan oleh Agrarian Resource Center (ARC) bulan Juli lalu. Pengalaman selama 7 hari berkegiatan di Sekretariat ARC di Bandung sudah saya tuliskan disini.  Mengapa kegiatan ini berkesan bagi saya, karena ini perjalanan pertama saya melampaui 3 provinsi sendirian di tahun 2023. Selama perjalanan, saya seakan merasa menjadi perempuan yang bebas dan dapat melakukan apa saja sendirian kala itu. Bertemu dan berbincang dengan orang baru tanpa ragu dan malu. Merasakan lingkungan baru dan mendapat teman baru mutlak menjadi hal klise yang akan didapatkan saat kita menggoreskan peristiwa baru di kehidupan. Sekali lagi, bagi manusia yang merasa ruang geraknya terbatas, pengalaman ini tentu akan sangat berharga dan tidak akan dilewatkan oleh dirinya.

Kedua, bergabung dalam organisasi himpunan Forum Komunikasi Magister Ilmu Hukum FH UB. Mengapa berkesan, karena kegiatan-kegiatan di dalamnya yang membuat ruang kuliah dan diskusi saya di masa studi ini jadi lebih berwarna. Saya merasakan kembali atmosfer organisasi kemahasiswaan semasa strata satu dulu. Ya, memang tentu ada yang berubah. Tapi, sifat organik dari organisasi kemahasiswaan beserta problematika di dalamnya tidak jauh berbeda. Perihal sense of belonging dari setiap anggota pengurus menjadi topik pembahasan yang sangat menarik untuk dibahas saat bertemu. Saya dan beberapa teman sering dan intens bertemu dan bahkan kami memiliki satu tempat pilihan yang tidak dapat dibantah, Kopi Jokotole.

Ketiga, perihal satu orang yang menghiasi dari awal tahun hingga akhir tahun 2023. Seorang yang mungkin akan saya simpan sendiri deskripsi personanya. Tapi, yang saya yakini betul bahwa dia adalah orang baik, jika memang dia tidak mau dikata sebagai orang baik, setidaknya di mata saya dia selalu punya keinginan untuk menjadi orang baik. Yang jelas, saya ingin berterima kasih padanya, atas persona dan citra yang dia bagikan melalui media sosialnya, hidup saya di tahun 2023 punya hidup yang menyala. Terima kasih mas. Semoga takdir Allah membawamu untuk bisa lebih tegar, kuat, dan terus bertumbuh menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat untuk sekitar.

Banyak hal yang wajib untuk disyukuri tahun ini. Nikmat sehat dan nikmat ketersediaan apapun yang dibutuhkan, kehangatan dan keharmonisan keluarga, solidaritas kawan-kawan, hajat baik yang senantiasa Allah kabulkan, segala permasalahan yang menemukan solusinya, tetap konsisten menjadi orang baik di tengah godaan mampu melakukan hal yang tidak Allah senangi.. semua itu karunia Allah yang wajib untuk disyukuri dan dirayakan.

Tahun 2024 sudah berjalan, kita tunggu ya kejutan apa yang akan terjadi di tahun ini. Jangan lupa juga tingkatkan intensitas kita untuk mendekatkan diri pada Allah ya. Bismillah, mari kita sambut tahun 2024, semoga menjadi tahun baik untuk kita semua!

 


Bagi orang yang short term memory seperti saya, mencatat atau menulis apa yang baru saja dialami memang sangat penting. Yaa.. karena kami mudah lupa, jadi sayang sekali jika ada momentum berkesan dan berharga tidak kami tulis. Setidaknya, jika momentum itu tidak terekam dengan baik di memori, masih ada tulisan yang bisa dibaca ulang untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Pada kesempatan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman saya beberapa bulan lalu, dimana saya menjadi salah satu peserta di salah satu kegiatan yang memorable. Kalau saat penutupan acara kemarin belum sempat memuji, mungkin dalam artikel ini nanti kawan-kawan akan menemukan selipan pujian untuk kegiatan yang super worth it ini!

Tanggal 17-23 Juli 2023, Agrarian Resource Center (ARC) menyelenggarakan satu kegiatan bernama Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) yang ke-9, bertempat di Perpustakaan ARC, Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung. Pesertanya sebanyak kurang lebih 25 orang yang sebelumnya telah diseleksi (berdasarkan CV, tulisan, dan jawaban yang telah dikirim) oleh panitia, dan alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk menjadi salah satu bagian dari peserta yang lolos seleksi. Pesertanya tidak hanya berasal dari wilayah Bandung dan sekitarnya, tetapi nyaris tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Beragam suku, bahasa, kebiasaan, latar belakang, bahkan kisah-kisah menarik yang kawan-kawan bawa dari daerah masing-masing.

Selama 7 hari, kami diberi materi-materi seputar agraria kritis. Hari pertama, setelah ada sedikit seremoni dan perkenalan, para peserta diajak untuk menonton film ‘Marinaleda’ kemudian dilanjutkan dengan diskusi ringan seputar film tersebut bersama kelompok yang sudah ditentukan. Film tersebut memantik para peserta untuk berpikir sejenak tentang isu agraria yang terjadi di Marinaleda, Spanyol. Kemudian dilanjut dengan dua materi yang disampaikan oleh Muhammad Syafiq, yakni ‘Agraria dan Studi Kritis’ dan ‘Transisi Agraria dan Peralihan Corak Produksi’.

Bagi saya, dua materi awal ini menjadi ‘pijakan dasar’ untuk materi-materi selanjutnya. Karena, pada materi-materi selanjutnya, sering kali menggunakan istilah, konsep, dan prinsip yang sudah dijelaskan pada dua materi di hari pertama. Agraria bukan hanya sekadar tentang tanah, lahan, atau pertanian, tetapi lebih kompleks daripada itu, agraria didefinisikan sebagai hubungan antara orang/sekelompok orang dengan lingkungan alam sekitarnya. Transisi agraria yang ada saat ini merujuk pada perubahan pada arah perkembangan kapitalisme. Di dalamnya juga kemudian dijelaskan bagaimana Agrarian Question (Q1 Politik, Q2 Produksi, Q3 Akumulasi) bekerja. Pembahasan mengenai Agrarian Question ini selalu muncul di materi-materi selanjutnya. 

Hari kedua, dibuka dengan diskusi buku ‘Capitalism and Agrarian Change: Class, Production, and Reproduction in Indonesia’ disampaikan langsung oleh penulis (Muchtar Habibi) dan ditanggapi oleh Founder ARC, Kang Gepenk dan Henry Saragih (SPI) melalui media daring. Kemudian dilanjutkan dengan materi ‘Transformasi Kaum Tani’ oleh Fikri Fauzi yang menguraikan secara detail siapa yang dimaksud dengan ‘petani’ dan apa perbedaannya dengan peasant, buruh tani, dan lain sebagainya.

Hari ketiga, ini menjadi salah satu materi menarik menurut saya yakni ‘Reforma Agraria dalam Konteks Transisi Agraria’ oleh Rizki Hakim. Disini para peserta diajak untuk menguliti apa saja yang ada di balik Reforma Agraria (RA)/ Agrarian Reform, syarat dan ciri ideal RA, hambatan, dan pelaksanaan RA by Grace dan by Leverage. Dilanjutkan dengan materi ‘Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia’ oleh Mario Iskandar yang menerangkan secara runtut historis RA di Indonesia dari masa feodalisme, kolonialisme hingga rezim saat ini. Meskipun disampaikan oleh 2 pemateri yang berbeda, tapi penyampaiannya tetap sinkron dan bersambung.

Hari keempat, materi ‘Kapitalisme dan Neoliberalisme’ disampaikan oleh Sutami Amin. Dalam paham neoliberalisme, negara selalu terlibat dalam kegiatan pasar. Materi kedua adalah ‘Pembangunan/Developmentalisme’ oleh Alvin Waworuntu. Pada materi ini para peserta diajak melihat kembali latar belakang sejarah pembangunanisme yang terbagi dalam 3 babak yakni babak I (Pasca Perang Dunia 2), babak II (Puncak Perang Dingin), hingga babak III (Perang Dingin berakhir dan berkembangnya neoliberalisme) serta Pembangunanisme Agraria yang ada di Indonesia.

Hari kelima, ‘Agrarian Extrativisme’ oleh Rizki Hakim. Dijelaskan bahwa Extrativisme Agraria merupakan logika ekstraktivisme yang bekerja dalam sektor agraria (agroindustry dan forestry industry) yang secara khusus dimaknai harus ada flex corps (ada bahan mentah). Materi selanjutnya ‘Pencaplokan Lahan/Land Grabbing’ disampaikan oleh Maghfira Fitra, mekanisme Land Grab dapat dilihat dari empat kuasa eksklusi (dalam buku Kuasa Ekskulisi yang ditulis Hall, Hirsch, dan Li), yakni regulasi/pengaturan, paksanaan, pasar, dan legitimasi.

Hari keenam, ‘Dari Gerakan Tani ke Gerakan Sosial Pedesaan’ oleh Andini P Atika. Pada materi ini dijelaskan mengapa dan apa saja karakteristik dari gerakan sosial, kemudian mengapa lebih tepat disebut sebagai Gerakan Sosial Pedesaan, bukan Gerakan Tani, dan bagaimana dinamika pergerakannya dewasa ini.

Selanjutnya, materi ‘Gerakan Sosial Pedesaan di Indonesia Pasca ‘65’ yang dibawakan oleh Pandu Sujiwo dan Teh Hilma (Peneliti Senior ARC). Sebelum mulai materi kedua, peserta diharuskan berdiskusi dengan kelompok masing-masing tentang gerakan sosial pedesaan dari tahun 1965 hingga era 2000-an. Hasil diskusi tersebut dipresentasikan sebelum pada akhirnya materi disempurnakan oleh kedua pemateri. GSP dari masa ke masa memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Hari ketujuh, dimana ini menjadi hari terakhir dari serangkaian kegiatan CASI yang dibuka dengan nonton film dan diskusi ‘Moviemento Dos Trabalhadores Rurais Sem terra (MST)’ ‘dan materi pamungkas ‘Gerakan Pendudukan Tanah’ yang disampaikan secara langsung oleh Kang Gepenk, ini menjadi materi penutup sekaligus membungkus materi dari hari pertama hingga terakhir.

Oh iya, ada yang belum tersampaikan. Jadi, selama 7 hari, di penghujung rangkaian kegiatan selalu ada yang namanya sesi wrapping up. Sesi ini biasanya secara bergantian diisi oleh peneliti-peneliti senior ARC, seperti Kang Gepenk, Teh Hilma, dan Kang Erwin. Sesi wrapping up ini adalah sesi diskusi tanya-jawab untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum terakomodir pada sesi materi. Penjelasan jawaban dari beliau-beliau selalu dalam, sangat detail menjelaskannya. Hingga larut malampun biasanya masih dijabanin *yang penting PERMEN to the rescue ya kaaan

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran berharga yang saya dapatkan selama 7 hari mengikuti kegiatan CASI. Banyak hal baru yang saya dengar dan saya pelajari, di luar wawasan saya yang selama ini belum begitu luas. CASI justru memantik saya untuk mencoba mempelajari spektrum lain di luar apa yang saya pelajari saat ini dan mendorong saya untuk merefleksikan isu-isu agraria secara lebih komphrehensif lagi, saya menjadi punya perspektif baru untuk memandang hal tersebut. 

Saya mau mengucapkan terima kasih banyak kepada panitia, pemateri, sekaligus kawan-kawan peserta CASI IX. Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk berada di tengah-tengah kalian, mendapatkan ilmu, wawasan, dan pengalaman baru yang super sangat menyenangkan! Terkhusus juga untuk kelompok saya, ada Mas Sifa, Kak Tammi, Kak Lulu, Kato, Zidan, dan Ghibran yang selama 7 hari konsisten melaksanakan diskusi sehat dan tidak mengintervensi satu sama lain hahaha. Plus, Golda dan Anggi yang selama 7 hari selalu punya cerita usai kegiatan dan bikin tidur di atas jam 12 wkwk, thankyou guys! Semoga bisa berjumpa lagi di lain kesempatan kawan-kawan semua!

Di tahun 2023, kota Bandung wabil khusus Sekretariat dan Perpustakaan ARC, yang ada di daerah Arcamanik itu sudah mencatatkan kisahnya dalam perjalanan saya untuk menuntut ilmu di tempat baru. Menyenangkan, tidak pernah dilupakan, dan suatu saat masih ingin kembali kesana.

Terakhir, izin mengambil kutipan yang sering didengar saat kegiatan CASI kemarin, What is to be done?”

 


“Dia anak kandung saya. Ada darah dan daging saya yang mengalir di tubuhnya

Tapi ada keringat dan air mata saya yang menemaninya selama 7 tahun

Apa yang kalian rasakan saat mengetahui ada seorang ibu dipanggil dengan sebutan ‘tante’ oleh anak kandungnya sendiri? Bagaimana perasaan kalian saat melihat ada seorang perempuan yang dengan tulus, ikhlas, dan penuh kasih sayang membesarkan anak yang lahir tidak dari rahimnya? Perasaan bimbang, sedih, haru akan campur aduk jadi satu. Sensasi ini bisa kalian dapatkan saat menonton film “Air Mata di Ujung Sajadah”.

Mau cerita sedikit. Beberapa hari lalu, saya menunaikan tugas sebagai fans militannya Fedi Nuril aka Fedivers dengan menonton film yang mana salah satu pemeran utamanya beliau. Jujur, di awal saya masih maju-mundur untuk nonton karena setelah liat trailernya, saya menilai film ini terlalu klise dan ‘drama banget’. Namun, siapa sangka setelah saya memutuskan untuk ke Bioskop, usai menonton filmnya, saya benar-benar nangis tersedu-sedu sepanjang film bahkan (masih menangis) dalam perjalanan pulang menuju kost-an. Agak hiperbola sih, cuma emang iya beneran gitu :’)

Sinopsis

Film ini menceritakan perjuangan seorang ibu bernama Aqilla (Titi Kamal) yang mencari anak kandungnya usai dipisahkan darinya sejak lahir. Saat dilahirkan, atas kemauan ibunya, yakni Bu Halimah (Tutie Kirana), bayi itu diadopsi oleh salah satu karyawannya yakni Arif (Fedi Nuril). Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Baskara (Muhammad Faqih Alaydrus). Supaya Arif dan istrinya-Yumna (Citra Kirana)- tidak ada peluang untuk bertemu Aqilla, mereka memustuskan untuk meninggalkan Jakarta dan berencana untuk membesarkan Baskara di kampung halaman Arif, Solo.

Baskara tumbuh di tengah keluarga yang sangat harmonis. Mama dan Papa yang menyayangi sepenuh hati, juga Eyang (Jenny Rachman) yang penuh perhatian dan menyenangkan. Sedangkan Aqilla, ia meneruskan hidupnya dengan melanjutkan kuliah di Eropa. Tujuh tahun berselang, mendadak kondisi Bu Halimah memburuk. Aqilla bergegas pulang ke Jakarta untuk memastikan kondisi ibunya. Kata-kata terakhir Bu Halimah sebelum menghembuskan nafas terakhir adalah meminta maaf pada Aqilla karena telah berbohong selama ini, “anak kamu masih hidup”. Hati Aqilla sangat kalut, di saat ia sudah berusaha menerima suratan takdir bahwa anaknya telah tiada, kemudian ia tahu bahwa ibunya sendiri berbohong padanya perihal anak yang ternyata masih hidup.

Untuk lebih lengkapnya, silakan kalian tonton trailernya dulu ya, bisa langsung klik di siniMulanya, banyak yang mengira film ini adalah film bergenre drama rumah tangga, yang tidak jauh-jauh dari poligami dan perselingkuhan. Tapi, setelah baca sinopsis dan nonton trailernya, pasti suudzon dan asumsi kalian tentang film ini sedikit terbantahkan. Apalagi nonton filmnya langsung  di bioskop, dah makin terjawablah alur filmnya mau dibawa kemana....

Kental dengan Drama, Siapin Tissue!

Cerita yang dibawakan dalam film ini sangat mungkin jika kita temukan di dunia nyata. Atau mungkin orang sekitar kalian ada yang mengalaminya. Layaknya film-film drama pada umumnya, tentu film drama yang baik adalah film drama yang bisa memporak-porandakan emosi para penontonnya. Dan ya, film ini berhasil melakukan hal itu. awal-awal kita dibuat senang, tertawa, beberapa saat kita dibuat menangis, haru, lalu gembira lagi. Gitu aja terus siklusnya.

Pengemasan cerita dengan alur maju ini menurut saya sangat baik dan rapi. Keterbatasan durasi (durasi film 105 menit) mungkin bisa menjadi alasan pemaaf mengapa film ini tidak menyampaikan background permasalahan di tiap tokohnya. Kesannya, memang menjadi ‘Aqillasentris’ saja pada akhirnya. Padahal saya pribadi masih sangat ingin melihat background kisah Yumna da Arif dalam berumahtangga sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk mengadopsi Baskara.

Apresiasi sebesar-besarnya untuk para pemeran utamanya, Fedi Nuril, Citra Kirana, dan Titi Kamal. Ketiganya berhasil membangun hubungan dan chemistry yang oke, nampak senatural mungkin. Adegan Titi Kamal nangis nggak pernal gagal! Rasa sabarnya Citra Kirana juga nyampe banget, kita yang nonton bisa paham betul dia sedang berada di posisi yang sulit.

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Yang paling saya suka sepanjang film ini adalah scene-scene saat Baskara muncul. Salut sekali sama anak yang memerankan tokoh Baskara ini, keren gilaakk. Selalu berhasil bikin air mata jatuh tanpa terasa saat dia muncul. Tingkahnya yang polos, baik, dan lugu layaknya anak usia 7 tahun ini benar-benar menyentuh hati. Apalagi waktu scene nyanyi “Apa yang kuberikan untuk mama...” Aahhhh, gakuaaatttt. Saya merasa sangat beruntung sekali ada tissue di dalam tas saya, ternyata bermanfaat juga huaa.

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Judul dan Poster yang Kureng

Yang terpikir pertama kali saat tahu judul film ini, “Oh ini film religi”, dalam artian alur film nantinya pasti akan didominasi dengan nuansa religi. Tapi ternyata tidak. Unsur religi yang diperlihatkan cukup minim, dan bagi saya judul ini belum berhasil menunjukkan ‘oh iya ini benar film religi’. Hanya beberapa scene seperti Yumna ataupun Aqilla yang menggunakan mukenah dan sedang bermunajat di atas sajadah, Arif yang sedang mengajari ngaji Baskara, apalagi ya? Hanya itu yang saya ingat. Jika scene-scene nuansa religi ditampilkan lebih banyak, mungkin akan memperkuat dan akan sangat mendukung judulnya sih.

Kedua, judul film ini menurut saya masih kurang eye-catching di tengah gempuran film-film Indonesia dengan judul yang ringan dan sederhana. Judulnya sangat serius. Atau mungkin memang citra itu yang ingin dibawakan dari film ini?

Poster dengan satu lelaki diantara dua wanita ini memang cukup meliarkan asumsi para netizen ya wkwk. Ada yang berasumsi film ini tentang mendua, selingkuh, poligami, dan asumsi-asumsi suudzon lainnya. Tapi memang betul, posternya menurut saya pribadi juga kurang merepresentasikan alur cerita yang akan disampaikan dalam film, jadi terkesan ambigu. Meskipun di poster juga sudah ada kehadiran si anak yang memang diperebutkan, sayangnya anak ini malah seakan hanya menjadi pemanis dalam poster, bukan jadi hal yang harus disoroti.

Fedi Nuril, Spesialis Aktor Huru-Hara Rumah Tangga

Sebelum menonton filmnya, saya berasumsi bahwa peran Fedi Nuril akan sangat di-spotlight. Tapi ternyata tidak demikian, dan ya gapapa. Fedi Nuril disini berperan sesuai porsinya. Menjadi seorang ayah dan suami, dimana ia juga berada di posisi yang bimbang. Mendahulukan kebahagiaan istri dan keluarganya ataukah menaruh empati pada seorang ibu yang ingin bertemu dan membesarkan anak kandungnya?

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Sejak dulu dan sekarang pun, saya masih berani ngeklaim kalo Fedi Nuril memang masih layak berada di posisi pertama urutan spesialis aktor huru-hara rumah tangga! Genre drama sepertinya memang sudah sangat melekat untuk Fedi. Tokoh-tokoh yang diperankan di satu sisi dielu-elukan, tapi di sisi lain juga akan bisa sangat dibenci. Ya memang nggak bisa mengelak ya, berarti aktingnya berhasil ni masuk ke emosinya para penonton. Salam takzim Bang Fedi!

Itu tadi beberapa poin yang bisa saya tangkap usai nonton film ini. secara keseluruhan, film ini layak untuk ditonton di layar lebar. Jadi, yang belum nonton silakan jangan ragu untuk pesan tiket di bioskop kesayangan kalian! Terakhir, terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya untuk seluruh aktor-aktris serta kru film “Air Mata di Ujung Sajadah” atas sajian karya yang baik ini. Semoga filmnya tidak cepat turun layar dan banyak menebarkan nilai manfaat bagi para penontonnya, aamiin.  

 




Pernah nggak sih kalian abis nonton film, keluar dari studionya nih, terus kalian ngerasa hati kalian penuh sama kebahagiaan, bener-bener sampe full, bahkan sampe hari ketiga setelah nonton filmnya loh?! Ini yang aku rasain setelah nonton film Ganjil Genap karya sutradara Bene Dion Rajaguguk. Film produksi MD Pictures ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Almira Bastari. Karena aku belum pernah baca novelnya, jadi saat nonton filmnya, aku nggak bawa ekspektasi yang gimana-gimana. Cuma bawa keyakinan, ini filmnya Bang Bene, udah pasti nggak mengecewakan. Dan setelah nonton film yang berdurasi sekitar 2 jam ini, my heart is so full!

Sinopsis

Delapan tahun lamanya, Gala (Clara Bernadeth) telah menjalin hubungan dengan Bara (Baskara Mahendra). Di hari anniversary yang ke-8, Bara memutuskan Gala dengan alasan yang nggak logis. Dalam kondisi rapuhnya, beruntungnya Gala masih punya dua sahabat yakni Nandi (Joshua Suherman) dan Sydney (Nadine Alexandra) yang sangat perhatian. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh dua sahabatnya ini supaya Gala bisa melupakan Bara dan move on untuk mencari pria yang lebih baik. Upaya dan dukungan juga datang dari Mama Gala (Lydia Kandou) dan Papa Gala (Dede Yusuf) yang selalu dan bisa menghibur sang putri di tengah dilema dan kekalutannya itu. Saat proses move on, ternyata Gala dipertemukan dengan Mas Aiman (Oka Antara), pria mapan yang lebih dewasa darinya. Mulanya, Gala tampak ragu karena melihat gesture Mas Reno (Ario Wahab), sahabat Mas Aiman yang memperlihatkan bahwa seakan-akan mereka ini pasangan gay. Tapi hal tersebut cepat terbantahkan, hubungan antara Gala dan Mas Aiman mulai berjalan dan lagi, Gala meminta kepastian dari Mas Aiman yang ternyata masih belum berani untuk berkomitmen. “Kita coba jalani pelan-pelan dulu ya Gala...” di saat Gala mulai membuka hati pada Mas Aiman, Bara berusaha hadir kembali dan membujuk Gala untuk kembali padanya dan melanjutkan mimpi-mimpi mereka di masa lalu.

Bagi kalian yang penasaran, tonton aja filmnyaa dan boleh banget liat trailernya dulu niih disiniMenurut aku, trailernya bener-bener udah ngespotlight bagian-bagian inti yang ada di filmnya, dari awal hingga akhir Trailer yang kek gini nih ada plus minusnya sih. Plusnya, penonton jadi nggak clueless sama film yang mau ditonton. Minusnya, yaa udah agak ketebak alurnya bakal gimana karena udah terrepresentasi dengan jelas di trailernya.  

Oke, selanjutnya first impression dari aku setelah nonton film Ganjil Genap. First impression, di bagian awal penonton akan diajak untuk ngeliat recap hubungan Gala dan Bara dari tahun ke tahun, simbolisnya adalah tiap anniversary. Ini part yang paling gemes sih menurutku, plus ada transisi yang sangat apik! Color tone di bagian awal tuh oranye dan warna-warna cerah gitu, seakan film ini perlahan ngajak para penontonnya untuk turut bahagia melihat hubungan Bara dan Gala. Habis diajak bahagia seneng, hati berflower-flower, dengan cepat pula diruntuhkan sama si Bara :)

Fiktif yang Realistis

Isu yang dibawakan dalam film ini sejatinya mudah sekali ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan di sekeliling kita. Misal, orang-orang yang takut atau belum siap akan komitmen, wanita yang meminta kepastian atas hubungannya dengan pasangan yang udah bertahun-tahun pacaran, putus dengan alasan nggak logis kemudian minta balikan, dilema dengan dua pilihan, dan masih banyak lagi. Plot-plot yang klise dan debateable ini yang menjadikan film ini tuh kek realistis aja terjadi. Dan dari situ juga penonton mudah untuk merasakan emosional dari para pemain.

Bara, Emang Boleh ya Se-redflag itu?

Saat menonton film ini, penonton akan diajak untuk sebel dan ingin menghujat si Bara. Terbukti, banyakkk sekali kata-kata umpatan yang keluar dari Gala dan dua sahabatnya saat mengetahui kelakuan “bangke”nya si Bara. Mutusin pacar di hari anniv ke-8 di parkiran mall pula! Parahnya lagi, si Gala dipesenin ojek online pulangnya. Beberapa scene yang nunjukin perspektif dari si Bara ini juga bisa menimbulkan perdebatan sih. Misal perspektif dia soal mantan di masa lalu, milih tempat makan waktu jalan berdua, dan masih banyak lagi..

Tapi, ke-redflag-an si Bara ini ternyata malah bikin si Gala banyak belajar dan makin ngebentuk pola pikir dia yang lebih dewasa. Aku menggarisbawahi banget waktu Gala bilang ke Mas Aiman alasan dia meminta kepastian dan ingin menikah adalah “karena aku udah selesai sama diri aku sendiri...” dari perspektif Gala, dia ngerasa udah nggak ada yang mau dia capai lagi, semua target atas dirinya sendiri udah selesai. Dan, ya apa lagi yang mau dia cari? Hanya tinggal hatinya yang masih ganjil dan butuh digenapkan. Clara Bernadeth as Gala menurutku udah sangat sukses meranin karakternya, big applause!

Jakartasentris, Kerasaa Banget!

Sebenernya, judul Ganjil Genap ini merepresentasikan bahwa kisah yang dibawakan akan sangat dekat dengan kehidupan di ibu kota. Operasi Ganjil Genap di beberapa titik di wilayah Jakarta ini selalu masuk ke dalam bagian cerita dan tersaji dengan cukup halus sih. Gala yang berkendara dengan plat nomor ganjil, selalu punya kisah dengan Bara ataupun Mas Aiman di saat pemberlakuan operasional bagi plat genap. “Bareng sama aku aja, kamu kan plat ganjil..” gedung-gedung tinggi ibu kota, vibes perkantoran yang diisi orang-orang yang workaholic, waah bener-bener bikin kerasa kalo ini emang kisan romansa dan dilema orang-orang ibu kota.

“Kamulah Satu-satunya”

Lagu yang dinyanyikan oleh Adrian Martadinata yang berjudul Kamulah Satu-satunya (cover lagu Dewa 19) ini bener-bener mewakilkan film ini. Sepertinya ini lagu favorit Gala banget sih. Dari jaman pacaran sama Bara lalu memulai hubungan dengan Mas Aiman pun, lagunya konsisten sama. TOP BANGET LAGUNYA UDAH ON REPEAT MULU NIH! Recommended untuk didengerin kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun! Nihh buat yang mau dengerin juga, klik disini yaaa! 

Mas Aiman Stand!

Soal pemilihan pemain, aku nggak pernah ragu sedikitpun ke Bang Bene. Selalu pas dan sesuai ekspektasi, apalagi Oka Antara a.k.a Mas Aiman (maap kalo ini penilaiannya bener-bener subjektif bangett wkwk). Coba kita bahas ya kenapa kok Mas Aiman ini cocok banget diperanin sama Oka Antara. Mas Aiman digambarkan sebagai seorang dokter gigi, usia matang (sekitar 35 keatas?), pria mapan dan bijaksana. Di film-film sebelumnya, Oka Antara juga sudah punya persona itu sih, misal di film Noktah Merah Perkawinan, Aruna dan Lidahnya, Gara-Gara Warisan. Bukan jadi hal yang susah sih untuk Oka Antara berperan sebagai Mas Aiman. Tapi, mungkin yang jadi agak PR adalah bagian komedinya ya karena ia juga belum terlalu sering dapet peran yang jenaka. Tapi, so far so good sih, dia udah maksimal banget aktingnya meskipun yaa ada beberapa bagian yang harusnya punya sense of comedy yang tinggi jadi terlihat kureng karena masih agak ketahan gitu mau ngelawaknya.

Bang Bene Selalu Petjaaahh!

Jujur, alasan aku nonton film ini sebenernya cuma dua. Satu, karena ada Oka Antara. Dua, karena sutradanya Bene Dion Rajagukguk. Dan di film ini, Bang Bene memang nunjukin kualitasnya sebagai salah satu sineas yang patut diperhitungkan. Dia berhasil membungkus kisah patah hati dengan bubuhan komedi yang masih masuk sama jalan ceritanya, tampak natural dan nggak lebay. Untuk aku pribadi, sisi humornya sangat ngena sih. Terima kasih Bang Awwe sekalu comedy consultant. Apalagi scene makan malam antara Gala, Mas Aiman, Nandi, dan Mas Reno itu gilaa sih sampe ketawa nangiss wkwk.

Selain transisi epic yang udah kuceritakan sebelumnya,  banyak sekali hal detail yang kalo diperhatikan ternyata punya makna tersendiri loh. Misal nih plat nomor Gala yang ganjil, sedangkan mobil Mas Aiman dan Bara plat genap. Seolah-olah ini menandakan bahwa dalam hubungan mereka, Gala yang menjadi karakter yang belum utuh dan harus disempurnakan. Entah itu digenapkan oleh Mas Aiman atau Bara.

Hal menarik lain yang nggak kalah epic lain adalah wardrobe pemain bener-bener Bang Bene perhatikan dengan detail. Coba deh liat sepanjang film, tiga pemeran utama ini punya warna masing-masing yang pas banget sama karakternya. Gala identik dengan warna kuning, dia ceria dan terlihat kuat. Tapi, saat dilanda sedih dan galau warna kuningnya juga sempat memudar. Bara dengan warna merah, terlihat SUNGGUH RED FLAG MEMANG! dan Mas Aiman warna biru, yang menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Terus, kalo diperhatikan lagi, ketika Gala dan Bara masih bersama, warna outfit mereka didominasi oleh warna oranye (gabungan antara kuning dan merah), saat mereka putus, mereka kembali pada warnanya masing-masing. Terus, waktu Gala dan Mas Aiman dekat, warna outfit mereka dominan hijau (gabungan antara kuning dan biru). Warna oranye identik dengan menggebu-gebu, warna elegan yang menjanjikan, sedangkan warna hijau identik dengan kedamaian, berjiwa besar, dan penuh pertimbangan. Suka bangettt, sungguh filosofis dan brilian!

Oh iya, menjelang akhir ada mid-credit scene guys! Jujur waktu bagian akhir ini, hampir saja kumaki dan kecewa sama Bang Bene karena lah kok... kok gak tuntas?! Tapi ternyata ada mid-credit scene yang cukup menjawab sih di bagian endingnya. Jadii, kalo nonton harus sampe tuntas ya guys. Tungguin aja tuh creditnya, jangan keburu keluar dari studio! Terakhir, ku mau berterima kasih kepada Bang Bene serta kru film Ganjil Genap, takjub dan apresiasi setinggi-tingginya! Semoga nggak cepet turun layar, sayang bangett dilewatkan film sebagus ini. Salam Hormas Bang Bene! *ehh


Powered by Blogger.