Bagi orang yang short term memory seperti saya, mencatat atau menulis apa yang baru saja dialami memang sangat penting. Yaa.. karena kami mudah lupa, jadi sayang sekali jika ada momentum berkesan dan berharga tidak kami tulis. Setidaknya, jika momentum itu tidak terekam dengan baik di memori, masih ada tulisan yang bisa dibaca ulang untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Pada kesempatan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman saya beberapa bulan lalu, dimana saya menjadi salah satu peserta di salah satu kegiatan yang memorable. Kalau saat penutupan acara kemarin belum sempat memuji, mungkin dalam artikel ini nanti kawan-kawan akan menemukan selipan pujian untuk kegiatan yang super worth it ini!

Tanggal 17-23 Juli 2023, Agrarian Resource Center (ARC) menyelenggarakan satu kegiatan bernama Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) yang ke-9, bertempat di Perpustakaan ARC, Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung. Pesertanya sebanyak kurang lebih 25 orang yang sebelumnya telah diseleksi (berdasarkan CV, tulisan, dan jawaban yang telah dikirim) oleh panitia, dan alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk menjadi salah satu bagian dari peserta yang lolos seleksi. Pesertanya tidak hanya berasal dari wilayah Bandung dan sekitarnya, tetapi nyaris tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Beragam suku, bahasa, kebiasaan, latar belakang, bahkan kisah-kisah menarik yang kawan-kawan bawa dari daerah masing-masing.

Selama 7 hari, kami diberi materi-materi seputar agraria kritis. Hari pertama, setelah ada sedikit seremoni dan perkenalan, para peserta diajak untuk menonton film ‘Marinaleda’ kemudian dilanjutkan dengan diskusi ringan seputar film tersebut bersama kelompok yang sudah ditentukan. Film tersebut memantik para peserta untuk berpikir sejenak tentang isu agraria yang terjadi di Marinaleda, Spanyol. Kemudian dilanjut dengan dua materi yang disampaikan oleh Muhammad Syafiq, yakni ‘Agraria dan Studi Kritis’ dan ‘Transisi Agraria dan Peralihan Corak Produksi’.

Bagi saya, dua materi awal ini menjadi ‘pijakan dasar’ untuk materi-materi selanjutnya. Karena, pada materi-materi selanjutnya, sering kali menggunakan istilah, konsep, dan prinsip yang sudah dijelaskan pada dua materi di hari pertama. Agraria bukan hanya sekadar tentang tanah, lahan, atau pertanian, tetapi lebih kompleks daripada itu, agraria didefinisikan sebagai hubungan antara orang/sekelompok orang dengan lingkungan alam sekitarnya. Transisi agraria yang ada saat ini merujuk pada perubahan pada arah perkembangan kapitalisme. Di dalamnya juga kemudian dijelaskan bagaimana Agrarian Question (Q1 Politik, Q2 Produksi, Q3 Akumulasi) bekerja. Pembahasan mengenai Agrarian Question ini selalu muncul di materi-materi selanjutnya. 

Hari kedua, dibuka dengan diskusi buku ‘Capitalism and Agrarian Change: Class, Production, and Reproduction in Indonesia’ disampaikan langsung oleh penulis (Muchtar Habibi) dan ditanggapi oleh Founder ARC, Kang Gepenk dan Henry Saragih (SPI) melalui media daring. Kemudian dilanjutkan dengan materi ‘Transformasi Kaum Tani’ oleh Fikri Fauzi yang menguraikan secara detail siapa yang dimaksud dengan ‘petani’ dan apa perbedaannya dengan peasant, buruh tani, dan lain sebagainya.

Hari ketiga, ini menjadi salah satu materi menarik menurut saya yakni ‘Reforma Agraria dalam Konteks Transisi Agraria’ oleh Rizki Hakim. Disini para peserta diajak untuk menguliti apa saja yang ada di balik Reforma Agraria (RA)/ Agrarian Reform, syarat dan ciri ideal RA, hambatan, dan pelaksanaan RA by Grace dan by Leverage. Dilanjutkan dengan materi ‘Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia’ oleh Mario Iskandar yang menerangkan secara runtut historis RA di Indonesia dari masa feodalisme, kolonialisme hingga rezim saat ini. Meskipun disampaikan oleh 2 pemateri yang berbeda, tapi penyampaiannya tetap sinkron dan bersambung.

Hari keempat, materi ‘Kapitalisme dan Neoliberalisme’ disampaikan oleh Sutami Amin. Dalam paham neoliberalisme, negara selalu terlibat dalam kegiatan pasar. Materi kedua adalah ‘Pembangunan/Developmentalisme’ oleh Alvin Waworuntu. Pada materi ini para peserta diajak melihat kembali latar belakang sejarah pembangunanisme yang terbagi dalam 3 babak yakni babak I (Pasca Perang Dunia 2), babak II (Puncak Perang Dingin), hingga babak III (Perang Dingin berakhir dan berkembangnya neoliberalisme) serta Pembangunanisme Agraria yang ada di Indonesia.

Hari kelima, ‘Agrarian Extrativisme’ oleh Rizki Hakim. Dijelaskan bahwa Extrativisme Agraria merupakan logika ekstraktivisme yang bekerja dalam sektor agraria (agroindustry dan forestry industry) yang secara khusus dimaknai harus ada flex corps (ada bahan mentah). Materi selanjutnya ‘Pencaplokan Lahan/Land Grabbing’ disampaikan oleh Maghfira Fitra, mekanisme Land Grab dapat dilihat dari empat kuasa eksklusi (dalam buku Kuasa Ekskulisi yang ditulis Hall, Hirsch, dan Li), yakni regulasi/pengaturan, paksanaan, pasar, dan legitimasi.

Hari keenam, ‘Dari Gerakan Tani ke Gerakan Sosial Pedesaan’ oleh Andini P Atika. Pada materi ini dijelaskan mengapa dan apa saja karakteristik dari gerakan sosial, kemudian mengapa lebih tepat disebut sebagai Gerakan Sosial Pedesaan, bukan Gerakan Tani, dan bagaimana dinamika pergerakannya dewasa ini.

Selanjutnya, materi ‘Gerakan Sosial Pedesaan di Indonesia Pasca ‘65’ yang dibawakan oleh Pandu Sujiwo dan Teh Hilma (Peneliti Senior ARC). Sebelum mulai materi kedua, peserta diharuskan berdiskusi dengan kelompok masing-masing tentang gerakan sosial pedesaan dari tahun 1965 hingga era 2000-an. Hasil diskusi tersebut dipresentasikan sebelum pada akhirnya materi disempurnakan oleh kedua pemateri. GSP dari masa ke masa memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Hari ketujuh, dimana ini menjadi hari terakhir dari serangkaian kegiatan CASI yang dibuka dengan nonton film dan diskusi ‘Moviemento Dos Trabalhadores Rurais Sem terra (MST)’ ‘dan materi pamungkas ‘Gerakan Pendudukan Tanah’ yang disampaikan secara langsung oleh Kang Gepenk, ini menjadi materi penutup sekaligus membungkus materi dari hari pertama hingga terakhir.

Oh iya, ada yang belum tersampaikan. Jadi, selama 7 hari, di penghujung rangkaian kegiatan selalu ada yang namanya sesi wrapping up. Sesi ini biasanya secara bergantian diisi oleh peneliti-peneliti senior ARC, seperti Kang Gepenk, Teh Hilma, dan Kang Erwin. Sesi wrapping up ini adalah sesi diskusi tanya-jawab untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum terakomodir pada sesi materi. Penjelasan jawaban dari beliau-beliau selalu dalam, sangat detail menjelaskannya. Hingga larut malampun biasanya masih dijabanin *yang penting PERMEN to the rescue ya kaaan

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran berharga yang saya dapatkan selama 7 hari mengikuti kegiatan CASI. Banyak hal baru yang saya dengar dan saya pelajari, di luar wawasan saya yang selama ini belum begitu luas. CASI justru memantik saya untuk mencoba mempelajari spektrum lain di luar apa yang saya pelajari saat ini dan mendorong saya untuk merefleksikan isu-isu agraria secara lebih komphrehensif lagi, saya menjadi punya perspektif baru untuk memandang hal tersebut. 

Saya mau mengucapkan terima kasih banyak kepada panitia, pemateri, sekaligus kawan-kawan peserta CASI IX. Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk berada di tengah-tengah kalian, mendapatkan ilmu, wawasan, dan pengalaman baru yang super sangat menyenangkan! Terkhusus juga untuk kelompok saya, ada Mas Sifa, Kak Tammi, Kak Lulu, Kato, Zidan, dan Ghibran yang selama 7 hari konsisten melaksanakan diskusi sehat dan tidak mengintervensi satu sama lain hahaha. Plus, Golda dan Anggi yang selama 7 hari selalu punya cerita usai kegiatan dan bikin tidur di atas jam 12 wkwk, thankyou guys! Semoga bisa berjumpa lagi di lain kesempatan kawan-kawan semua!

Di tahun 2023, kota Bandung wabil khusus Sekretariat dan Perpustakaan ARC, yang ada di daerah Arcamanik itu sudah mencatatkan kisahnya dalam perjalanan saya untuk menuntut ilmu di tempat baru. Menyenangkan, tidak pernah dilupakan, dan suatu saat masih ingin kembali kesana.

Terakhir, izin mengambil kutipan yang sering didengar saat kegiatan CASI kemarin, What is to be done?”

 


“Dia anak kandung saya. Ada darah dan daging saya yang mengalir di tubuhnya

Tapi ada keringat dan air mata saya yang menemaninya selama 7 tahun

Apa yang kalian rasakan saat mengetahui ada seorang ibu dipanggil dengan sebutan ‘tante’ oleh anak kandungnya sendiri? Bagaimana perasaan kalian saat melihat ada seorang perempuan yang dengan tulus, ikhlas, dan penuh kasih sayang membesarkan anak yang lahir tidak dari rahimnya? Perasaan bimbang, sedih, haru akan campur aduk jadi satu. Sensasi ini bisa kalian dapatkan saat menonton film “Air Mata di Ujung Sajadah”.

Mau cerita sedikit. Beberapa hari lalu, saya menunaikan tugas sebagai fans militannya Fedi Nuril aka Fedivers dengan menonton film yang mana salah satu pemeran utamanya beliau. Jujur, di awal saya masih maju-mundur untuk nonton karena setelah liat trailernya, saya menilai film ini terlalu klise dan ‘drama banget’. Namun, siapa sangka setelah saya memutuskan untuk ke Bioskop, usai menonton filmnya, saya benar-benar nangis tersedu-sedu sepanjang film bahkan (masih menangis) dalam perjalanan pulang menuju kost-an. Agak hiperbola sih, cuma emang iya beneran gitu :’)

Sinopsis

Film ini menceritakan perjuangan seorang ibu bernama Aqilla (Titi Kamal) yang mencari anak kandungnya usai dipisahkan darinya sejak lahir. Saat dilahirkan, atas kemauan ibunya, yakni Bu Halimah (Tutie Kirana), bayi itu diadopsi oleh salah satu karyawannya yakni Arif (Fedi Nuril). Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Baskara (Muhammad Faqih Alaydrus). Supaya Arif dan istrinya-Yumna (Citra Kirana)- tidak ada peluang untuk bertemu Aqilla, mereka memustuskan untuk meninggalkan Jakarta dan berencana untuk membesarkan Baskara di kampung halaman Arif, Solo.

Baskara tumbuh di tengah keluarga yang sangat harmonis. Mama dan Papa yang menyayangi sepenuh hati, juga Eyang (Jenny Rachman) yang penuh perhatian dan menyenangkan. Sedangkan Aqilla, ia meneruskan hidupnya dengan melanjutkan kuliah di Eropa. Tujuh tahun berselang, mendadak kondisi Bu Halimah memburuk. Aqilla bergegas pulang ke Jakarta untuk memastikan kondisi ibunya. Kata-kata terakhir Bu Halimah sebelum menghembuskan nafas terakhir adalah meminta maaf pada Aqilla karena telah berbohong selama ini, “anak kamu masih hidup”. Hati Aqilla sangat kalut, di saat ia sudah berusaha menerima suratan takdir bahwa anaknya telah tiada, kemudian ia tahu bahwa ibunya sendiri berbohong padanya perihal anak yang ternyata masih hidup.

Untuk lebih lengkapnya, silakan kalian tonton trailernya dulu ya, bisa langsung klik di siniMulanya, banyak yang mengira film ini adalah film bergenre drama rumah tangga, yang tidak jauh-jauh dari poligami dan perselingkuhan. Tapi, setelah baca sinopsis dan nonton trailernya, pasti suudzon dan asumsi kalian tentang film ini sedikit terbantahkan. Apalagi nonton filmnya langsung  di bioskop, dah makin terjawablah alur filmnya mau dibawa kemana....

Kental dengan Drama, Siapin Tissue!

Cerita yang dibawakan dalam film ini sangat mungkin jika kita temukan di dunia nyata. Atau mungkin orang sekitar kalian ada yang mengalaminya. Layaknya film-film drama pada umumnya, tentu film drama yang baik adalah film drama yang bisa memporak-porandakan emosi para penontonnya. Dan ya, film ini berhasil melakukan hal itu. awal-awal kita dibuat senang, tertawa, beberapa saat kita dibuat menangis, haru, lalu gembira lagi. Gitu aja terus siklusnya.

Pengemasan cerita dengan alur maju ini menurut saya sangat baik dan rapi. Keterbatasan durasi (durasi film 105 menit) mungkin bisa menjadi alasan pemaaf mengapa film ini tidak menyampaikan background permasalahan di tiap tokohnya. Kesannya, memang menjadi ‘Aqillasentris’ saja pada akhirnya. Padahal saya pribadi masih sangat ingin melihat background kisah Yumna da Arif dalam berumahtangga sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk mengadopsi Baskara.

Apresiasi sebesar-besarnya untuk para pemeran utamanya, Fedi Nuril, Citra Kirana, dan Titi Kamal. Ketiganya berhasil membangun hubungan dan chemistry yang oke, nampak senatural mungkin. Adegan Titi Kamal nangis nggak pernal gagal! Rasa sabarnya Citra Kirana juga nyampe banget, kita yang nonton bisa paham betul dia sedang berada di posisi yang sulit.

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Yang paling saya suka sepanjang film ini adalah scene-scene saat Baskara muncul. Salut sekali sama anak yang memerankan tokoh Baskara ini, keren gilaakk. Selalu berhasil bikin air mata jatuh tanpa terasa saat dia muncul. Tingkahnya yang polos, baik, dan lugu layaknya anak usia 7 tahun ini benar-benar menyentuh hati. Apalagi waktu scene nyanyi “Apa yang kuberikan untuk mama...” Aahhhh, gakuaaatttt. Saya merasa sangat beruntung sekali ada tissue di dalam tas saya, ternyata bermanfaat juga huaa.

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Judul dan Poster yang Kureng

Yang terpikir pertama kali saat tahu judul film ini, “Oh ini film religi”, dalam artian alur film nantinya pasti akan didominasi dengan nuansa religi. Tapi ternyata tidak. Unsur religi yang diperlihatkan cukup minim, dan bagi saya judul ini belum berhasil menunjukkan ‘oh iya ini benar film religi’. Hanya beberapa scene seperti Yumna ataupun Aqilla yang menggunakan mukenah dan sedang bermunajat di atas sajadah, Arif yang sedang mengajari ngaji Baskara, apalagi ya? Hanya itu yang saya ingat. Jika scene-scene nuansa religi ditampilkan lebih banyak, mungkin akan memperkuat dan akan sangat mendukung judulnya sih.

Kedua, judul film ini menurut saya masih kurang eye-catching di tengah gempuran film-film Indonesia dengan judul yang ringan dan sederhana. Judulnya sangat serius. Atau mungkin memang citra itu yang ingin dibawakan dari film ini?

Poster dengan satu lelaki diantara dua wanita ini memang cukup meliarkan asumsi para netizen ya wkwk. Ada yang berasumsi film ini tentang mendua, selingkuh, poligami, dan asumsi-asumsi suudzon lainnya. Tapi memang betul, posternya menurut saya pribadi juga kurang merepresentasikan alur cerita yang akan disampaikan dalam film, jadi terkesan ambigu. Meskipun di poster juga sudah ada kehadiran si anak yang memang diperebutkan, sayangnya anak ini malah seakan hanya menjadi pemanis dalam poster, bukan jadi hal yang harus disoroti.

Fedi Nuril, Spesialis Aktor Huru-Hara Rumah Tangga

Sebelum menonton filmnya, saya berasumsi bahwa peran Fedi Nuril akan sangat di-spotlight. Tapi ternyata tidak demikian, dan ya gapapa. Fedi Nuril disini berperan sesuai porsinya. Menjadi seorang ayah dan suami, dimana ia juga berada di posisi yang bimbang. Mendahulukan kebahagiaan istri dan keluarganya ataukah menaruh empati pada seorang ibu yang ingin bertemu dan membesarkan anak kandungnya?

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Sejak dulu dan sekarang pun, saya masih berani ngeklaim kalo Fedi Nuril memang masih layak berada di posisi pertama urutan spesialis aktor huru-hara rumah tangga! Genre drama sepertinya memang sudah sangat melekat untuk Fedi. Tokoh-tokoh yang diperankan di satu sisi dielu-elukan, tapi di sisi lain juga akan bisa sangat dibenci. Ya memang nggak bisa mengelak ya, berarti aktingnya berhasil ni masuk ke emosinya para penonton. Salam takzim Bang Fedi!

Itu tadi beberapa poin yang bisa saya tangkap usai nonton film ini. secara keseluruhan, film ini layak untuk ditonton di layar lebar. Jadi, yang belum nonton silakan jangan ragu untuk pesan tiket di bioskop kesayangan kalian! Terakhir, terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya untuk seluruh aktor-aktris serta kru film “Air Mata di Ujung Sajadah” atas sajian karya yang baik ini. Semoga filmnya tidak cepat turun layar dan banyak menebarkan nilai manfaat bagi para penontonnya, aamiin.  

 




Pernah nggak sih kalian abis nonton film, keluar dari studionya nih, terus kalian ngerasa hati kalian penuh sama kebahagiaan, bener-bener sampe full, bahkan sampe hari ketiga setelah nonton filmnya loh?! Ini yang aku rasain setelah nonton film Ganjil Genap karya sutradara Bene Dion Rajaguguk. Film produksi MD Pictures ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Almira Bastari. Karena aku belum pernah baca novelnya, jadi saat nonton filmnya, aku nggak bawa ekspektasi yang gimana-gimana. Cuma bawa keyakinan, ini filmnya Bang Bene, udah pasti nggak mengecewakan. Dan setelah nonton film yang berdurasi sekitar 2 jam ini, my heart is so full!

Sinopsis

Delapan tahun lamanya, Gala (Clara Bernadeth) telah menjalin hubungan dengan Bara (Baskara Mahendra). Di hari anniversary yang ke-8, Bara memutuskan Gala dengan alasan yang nggak logis. Dalam kondisi rapuhnya, beruntungnya Gala masih punya dua sahabat yakni Nandi (Joshua Suherman) dan Sydney (Nadine Alexandra) yang sangat perhatian. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh dua sahabatnya ini supaya Gala bisa melupakan Bara dan move on untuk mencari pria yang lebih baik. Upaya dan dukungan juga datang dari Mama Gala (Lydia Kandou) dan Papa Gala (Dede Yusuf) yang selalu dan bisa menghibur sang putri di tengah dilema dan kekalutannya itu. Saat proses move on, ternyata Gala dipertemukan dengan Mas Aiman (Oka Antara), pria mapan yang lebih dewasa darinya. Mulanya, Gala tampak ragu karena melihat gesture Mas Reno (Ario Wahab), sahabat Mas Aiman yang memperlihatkan bahwa seakan-akan mereka ini pasangan gay. Tapi hal tersebut cepat terbantahkan, hubungan antara Gala dan Mas Aiman mulai berjalan dan lagi, Gala meminta kepastian dari Mas Aiman yang ternyata masih belum berani untuk berkomitmen. “Kita coba jalani pelan-pelan dulu ya Gala...” di saat Gala mulai membuka hati pada Mas Aiman, Bara berusaha hadir kembali dan membujuk Gala untuk kembali padanya dan melanjutkan mimpi-mimpi mereka di masa lalu.

Bagi kalian yang penasaran, tonton aja filmnyaa dan boleh banget liat trailernya dulu niih disiniMenurut aku, trailernya bener-bener udah ngespotlight bagian-bagian inti yang ada di filmnya, dari awal hingga akhir Trailer yang kek gini nih ada plus minusnya sih. Plusnya, penonton jadi nggak clueless sama film yang mau ditonton. Minusnya, yaa udah agak ketebak alurnya bakal gimana karena udah terrepresentasi dengan jelas di trailernya.  

Oke, selanjutnya first impression dari aku setelah nonton film Ganjil Genap. First impression, di bagian awal penonton akan diajak untuk ngeliat recap hubungan Gala dan Bara dari tahun ke tahun, simbolisnya adalah tiap anniversary. Ini part yang paling gemes sih menurutku, plus ada transisi yang sangat apik! Color tone di bagian awal tuh oranye dan warna-warna cerah gitu, seakan film ini perlahan ngajak para penontonnya untuk turut bahagia melihat hubungan Bara dan Gala. Habis diajak bahagia seneng, hati berflower-flower, dengan cepat pula diruntuhkan sama si Bara :)

Fiktif yang Realistis

Isu yang dibawakan dalam film ini sejatinya mudah sekali ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan di sekeliling kita. Misal, orang-orang yang takut atau belum siap akan komitmen, wanita yang meminta kepastian atas hubungannya dengan pasangan yang udah bertahun-tahun pacaran, putus dengan alasan nggak logis kemudian minta balikan, dilema dengan dua pilihan, dan masih banyak lagi. Plot-plot yang klise dan debateable ini yang menjadikan film ini tuh kek realistis aja terjadi. Dan dari situ juga penonton mudah untuk merasakan emosional dari para pemain.

Bara, Emang Boleh ya Se-redflag itu?

Saat menonton film ini, penonton akan diajak untuk sebel dan ingin menghujat si Bara. Terbukti, banyakkk sekali kata-kata umpatan yang keluar dari Gala dan dua sahabatnya saat mengetahui kelakuan “bangke”nya si Bara. Mutusin pacar di hari anniv ke-8 di parkiran mall pula! Parahnya lagi, si Gala dipesenin ojek online pulangnya. Beberapa scene yang nunjukin perspektif dari si Bara ini juga bisa menimbulkan perdebatan sih. Misal perspektif dia soal mantan di masa lalu, milih tempat makan waktu jalan berdua, dan masih banyak lagi..

Tapi, ke-redflag-an si Bara ini ternyata malah bikin si Gala banyak belajar dan makin ngebentuk pola pikir dia yang lebih dewasa. Aku menggarisbawahi banget waktu Gala bilang ke Mas Aiman alasan dia meminta kepastian dan ingin menikah adalah “karena aku udah selesai sama diri aku sendiri...” dari perspektif Gala, dia ngerasa udah nggak ada yang mau dia capai lagi, semua target atas dirinya sendiri udah selesai. Dan, ya apa lagi yang mau dia cari? Hanya tinggal hatinya yang masih ganjil dan butuh digenapkan. Clara Bernadeth as Gala menurutku udah sangat sukses meranin karakternya, big applause!

Jakartasentris, Kerasaa Banget!

Sebenernya, judul Ganjil Genap ini merepresentasikan bahwa kisah yang dibawakan akan sangat dekat dengan kehidupan di ibu kota. Operasi Ganjil Genap di beberapa titik di wilayah Jakarta ini selalu masuk ke dalam bagian cerita dan tersaji dengan cukup halus sih. Gala yang berkendara dengan plat nomor ganjil, selalu punya kisah dengan Bara ataupun Mas Aiman di saat pemberlakuan operasional bagi plat genap. “Bareng sama aku aja, kamu kan plat ganjil..” gedung-gedung tinggi ibu kota, vibes perkantoran yang diisi orang-orang yang workaholic, waah bener-bener bikin kerasa kalo ini emang kisan romansa dan dilema orang-orang ibu kota.

“Kamulah Satu-satunya”

Lagu yang dinyanyikan oleh Adrian Martadinata yang berjudul Kamulah Satu-satunya (cover lagu Dewa 19) ini bener-bener mewakilkan film ini. Sepertinya ini lagu favorit Gala banget sih. Dari jaman pacaran sama Bara lalu memulai hubungan dengan Mas Aiman pun, lagunya konsisten sama. TOP BANGET LAGUNYA UDAH ON REPEAT MULU NIH! Recommended untuk didengerin kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun! Nihh buat yang mau dengerin juga, klik disini yaaa! 

Mas Aiman Stand!

Soal pemilihan pemain, aku nggak pernah ragu sedikitpun ke Bang Bene. Selalu pas dan sesuai ekspektasi, apalagi Oka Antara a.k.a Mas Aiman (maap kalo ini penilaiannya bener-bener subjektif bangett wkwk). Coba kita bahas ya kenapa kok Mas Aiman ini cocok banget diperanin sama Oka Antara. Mas Aiman digambarkan sebagai seorang dokter gigi, usia matang (sekitar 35 keatas?), pria mapan dan bijaksana. Di film-film sebelumnya, Oka Antara juga sudah punya persona itu sih, misal di film Noktah Merah Perkawinan, Aruna dan Lidahnya, Gara-Gara Warisan. Bukan jadi hal yang susah sih untuk Oka Antara berperan sebagai Mas Aiman. Tapi, mungkin yang jadi agak PR adalah bagian komedinya ya karena ia juga belum terlalu sering dapet peran yang jenaka. Tapi, so far so good sih, dia udah maksimal banget aktingnya meskipun yaa ada beberapa bagian yang harusnya punya sense of comedy yang tinggi jadi terlihat kureng karena masih agak ketahan gitu mau ngelawaknya.

Bang Bene Selalu Petjaaahh!

Jujur, alasan aku nonton film ini sebenernya cuma dua. Satu, karena ada Oka Antara. Dua, karena sutradanya Bene Dion Rajagukguk. Dan di film ini, Bang Bene memang nunjukin kualitasnya sebagai salah satu sineas yang patut diperhitungkan. Dia berhasil membungkus kisah patah hati dengan bubuhan komedi yang masih masuk sama jalan ceritanya, tampak natural dan nggak lebay. Untuk aku pribadi, sisi humornya sangat ngena sih. Terima kasih Bang Awwe sekalu comedy consultant. Apalagi scene makan malam antara Gala, Mas Aiman, Nandi, dan Mas Reno itu gilaa sih sampe ketawa nangiss wkwk.

Selain transisi epic yang udah kuceritakan sebelumnya,  banyak sekali hal detail yang kalo diperhatikan ternyata punya makna tersendiri loh. Misal nih plat nomor Gala yang ganjil, sedangkan mobil Mas Aiman dan Bara plat genap. Seolah-olah ini menandakan bahwa dalam hubungan mereka, Gala yang menjadi karakter yang belum utuh dan harus disempurnakan. Entah itu digenapkan oleh Mas Aiman atau Bara.

Hal menarik lain yang nggak kalah epic lain adalah wardrobe pemain bener-bener Bang Bene perhatikan dengan detail. Coba deh liat sepanjang film, tiga pemeran utama ini punya warna masing-masing yang pas banget sama karakternya. Gala identik dengan warna kuning, dia ceria dan terlihat kuat. Tapi, saat dilanda sedih dan galau warna kuningnya juga sempat memudar. Bara dengan warna merah, terlihat SUNGGUH RED FLAG MEMANG! dan Mas Aiman warna biru, yang menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Terus, kalo diperhatikan lagi, ketika Gala dan Bara masih bersama, warna outfit mereka didominasi oleh warna oranye (gabungan antara kuning dan merah), saat mereka putus, mereka kembali pada warnanya masing-masing. Terus, waktu Gala dan Mas Aiman dekat, warna outfit mereka dominan hijau (gabungan antara kuning dan biru). Warna oranye identik dengan menggebu-gebu, warna elegan yang menjanjikan, sedangkan warna hijau identik dengan kedamaian, berjiwa besar, dan penuh pertimbangan. Suka bangettt, sungguh filosofis dan brilian!

Oh iya, menjelang akhir ada mid-credit scene guys! Jujur waktu bagian akhir ini, hampir saja kumaki dan kecewa sama Bang Bene karena lah kok... kok gak tuntas?! Tapi ternyata ada mid-credit scene yang cukup menjawab sih di bagian endingnya. Jadii, kalo nonton harus sampe tuntas ya guys. Tungguin aja tuh creditnya, jangan keburu keluar dari studio! Terakhir, ku mau berterima kasih kepada Bang Bene serta kru film Ganjil Genap, takjub dan apresiasi setinggi-tingginya! Semoga nggak cepet turun layar, sayang bangett dilewatkan film sebagus ini. Salam Hormas Bang Bene! *ehh


 


Perpisahan adalah sebuah konsekuensi yang harus dilalui saat dua manusia sudah melalui fase bertemu. Tidak ada perpisahan yang tidak diawali oleh sebuah pertemuan. Dan, tidak semua orang bisa dengan mudahnya menerima konsekuensi tersebut. Alasannya tentu banyak dan beraneka macam, bisa dengan cara yang manis ataupun pahit.

Panduan Mempersiapkan Perpisahan Film karya Adriyanto Dewo yang diadaptasi dari buku yang berjudul Eminus Dolere (karya Arman Dhani, penerbit Buku Mojok) berusaha menguraikan konsekuensi itu dengan cara sederhana...

Sinopsis

Berawal dari dipertemukannya Bara (Daffa Wardhana) dengan Demi (Lutesha) di sebuah seminar kesenian yang berujung pada perbincangan hangat dan satu frekuensi. Hubungan mereka semakin dekat saat Demi yang ingin bertemu secara intens dengan Bara setiap ia berkunjung ke Jogja. Bara melihat hubungan yang seperti ini adalah hubungan yang akan mengarah pada satu komitmen hidup bersama. Namun, di sisi lain, Demi tidak merasakan hal yang sama. Ia tidak percaya komitmen dan menyebut pernikahan sebagai kehidupan berbisnis dan monopoli.

Bara merasa kebahagiaan yang mereka jalani tak bermakna lagi jika pada akhirnya perspektif mereka soal komitmen tidak bisa searah. Konflik dan perbedaan pendapat tidak bisa mereka hindari. Kompromi juga tidak ada. Dan di sinilah Bara mulai berkisah tentang kisah romansa pilunya perihal perpisahan dengan wanita manis yang pernah ia temui.

Alurnya terbagi ke dalam tiga babak, babak pertama bertemu, babak kedua bersama, dan babak ketiga berpisah. Ketiga babak ini memiliki warna cerita yang berbeda. Saat bertemu, Bara dan Demi seakan menjadi dua insan yang cocok untuk dipertemukan di waktu yang tepat. Saat bersama, mereka terlihat sangat bahagia. Demi yang selalu menyempatkan hadir untuk mengunjungi Bara ke Jogja, kemudian Bara yang senantiasa menunggu kedatangan Demi di stasiun. Demi yang menginap di rumah Bara dan meminjam baju milik Bara. Semua hal-hal menyenangkan bagi dua insan yang sedang jatuh cinta dan saling nyaman sudah mereka lalui semua.

Sampai pada akhirnya, saat mereka ke pameran kesenian dan Demi bertemu dengan teman lamanya. Ada suatu hal yang membuat Bara tidak nyaman dan mengarahkan pada mereka sebuah pertikaian hebat. Bagaimana mereka menyikapi konsekuensi yang harus mereka lalui karena arah tujuan yang berbeda? Tonton filmnya di platform Bioskop Online guys!

Antara Bara dan Demi

Dua tokoh ini digambarkan memiliki karakter dan sifat yang jauh berbeda. Dan di sini, saya mau mengapresiasi bahwa pengemasan tokoh dan karakternya TOP BGT! Sangat selaras dan masuk akal. Oke, mari kita mulai dengan tokoh Bara. Bagi saya, Bara ini seperti lelaki indie dan penyuka senja jaman sekarang. Tau kan gimana? Dari penampilannya aja udah keliatan, dia mengenakan pakaian yang simpel nggak mau ribet, sesuai sama kebutuhan dia aja gitu, nggak neko-neko.

Dan yang makin nguatin karakternya itu habbit dari si Bara ini juga, misal suka baca buku (suka ke pasar loak), menyendiri di kafe plus rutinitas memesan kopi yang sama, akrab dengan baristanya. Dan satu lagi yang paling ter-notice adalah, dia suka kucing!

Dari penampilan dan habbit, seharusnya udah tau dong ya kalo Bara ini introvert. Pertama, dia akan terbuka dengan orang yang ia percaya dan memang sefrekuensi. Kedua, dia bukan cowok yang tidak punya arah. Dia tau apa yang ingin dia lakukan dan ia merencanakan hal itu dengan matang. Ketiga, komitmen adalah puncak tertinggi yang harus ia dapatkan dari sebuah hubungan. Ya, dia selalu serius dalam menjalani sebuah hubungan.

Demi, adalah sosok wanita yang menyenangkan, bebas, atraktif, wawasannya luas, menarik. Dia extrovert yang memang betul bisa memanfaatkan energinya dengan baik. Dan ini juga yang bikin Bara jadi kepincut sama dia.

Tapi, di balik kekuatan energinya, dia juga punya sifat dimana mungkin bisa jadi dianggap sebagai sifat buruk bagi sebagian orang. Misalnya aja dia ini tipikal yang mudah bosan, tetiba bisa aja nge-switch off apa yang dia mau, memutuskan tanpa pikir panjang, kadang juga tidak bisa memilih apa yang ia mau lakukan. Dan, satu lagi hal yang membuat ia sangat berbeda dengan Bara adalah ia memiliki trust issue dengan sebuah komitmen.

Bagian yang “Good and Approved”

Bukan hal yang mudah mengankat film yang diadaptasi dari sebuah buku, utamanya buku dengan sekumpulan cerita yang saling terpisah. Pengemasannya cukup memuaskan. Perasaan Bara benar-benar nyata dan dapat dirasakan saat ia membacakan beberapa bait puisi (baca bait favorit saya di bagian bawah artikel). Satu hal lagi yang menarik, film ini diangkat dari POV pemeran laki-lakinya. Kayanya belum terlalu banyak film Indonesia yang diambil dari POV laki-laki yang tersakiti begini, hihi.

Film berlatar Jogja selalu punya nilai plus bagi saya. Entah kenapa, saya merasa bahwa cerita fiktif ini memang sangat cocok dengan latar tempat Jogja. Kalo lokasinya diganti di Bandung atau Malang, vibes nya pasti udah beda. Meskipun kafe, stasiun, dan pasar buku bekas adalah tempat-tempat yang sangat klise bagi cerita romansa kawula muda, tapi kalo latarnya di Jogja tetep juaraaakk!

Beberapa bulan ke belakang, dunia perfilman nyaris sering diwarnai dengan wajah Lutesha. The Big 4 jadi salah satu film yang membuat akting aktris ini tidak boleh dinilai kaleng-kaleng lagi. Dan difilm ini, Lutesha membuktikannya kembali. Panduan Mempersiapkan Perpisahan adalah film bergenre romance pertama baginya. Saat menonton film ini, kalian pasti akan merasa Lutesha tidak lagi bermain peran. Senatural itu! Mau sungkem dulu ke Lutesha, keren paraaahhh! *btw, suka banget waktu Demi make tas rajut ke acara pameran kesenian

Bagian yang “Nice Try”

Sebelum menonton film ini, saya tahu bahwa ini adalah film pertama bagi Daffa Wardhana. Saya sudah tidak meletakkan ekspektasi yang begitu tinggi saat menonton. Benar saja, Bara disini memang belum terlihat senatural Demi. Ada beberapa scene Bara yang terkesan masih tertahan dan nggak all out. Agak sedikit mengganggu, tapi bait-bait puisi yang dibacakan si Bara lumayan nge-cover kekurangan itu dan tetap bikin saya enjoy lagi nontonnya.

Durasi 1 jam 6 menit bagi saya terlalu singkat untuk menggabungkan beberapa cerita menjadi satu kesatuan yang utuh. Agak terlihat loncat-loncat dan di awal saya cukup bingung, karena alurnya juga maju-mundur. Dan penonton disini untungnya akan terbantukan dengan tone color hitam-putih yang menandakan si Bara lagi sedih dan flashback, kalo berwarna berarti si Bara lagi happy bersama Demi dan alurnya lagi present.

Satu lagi yang saya sesalkan, sepanjang film saya belum mendengar original sound track-nya :( padahal untuk genre romance anak indie dan senja gini harusnya wajib fardhu ‘ain ada lagunya sih, biar makin memorable aja gitu filmnya.

Kalo kalian nonton film ini niatnya untuk mencari jawaban bagaimana langkah-langkah mempersiapkan perpisahan, jangan harap kalian menemukan jawabannya. Bagi saya pribadi, sampai ending film pun saya belum mendapatkan panduan itu. Tapi, saya tetap bisa menikmati filmnya dan ambil value­-nya berdasarkan perspektif saya.

Perihal Perpisahan

Bara bukanlah satu-satunya lelaki yang pernah disakiti oleh perempuan yang ia sayangi. In real life, tentu ada Bara-Bara yang lain. Di luar sana, juga tentu ada para perempuan yang memiliki pemikiran layaknya Demi. Enggan menikah dan tidak percaya dengan komitmen. Hubungan Bara-Demi ini bisa memberi satu opsi dalam menyikapi hubungan dengan orang yang anti-komitmen. Apa jawabannya? Ya, berpisah. Opsi kedua, masih ada yang namanya kompromi. Tapi kalo Bara dan Demi bisa kompromi ya gabakal jadi film haha.

Makin kesini saya makin paham, menjalani sebuah hubungan sebenarnya tidak perlu rumit. Syarat sederhanya adalah toleransi dan kompromi. Jika salah satu tidak mau melakukannya, udah tau kan harus gimana? Teorinya sih singkat, padat, dan jelasnya. Menjalaninya tetap komplek kan hahaha. Semangat pejuang!

Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Tinggal percaya aja bahwa akan ada pertemuan-pertemuan manis yang menanti di depan sana. Iya tau emang nggak mudah. Tapi mau kan berusaha lebih keras lagi?

Barang kali rinduku sudah lelah

Sudah mati dan menolak untuk kembali bernyawa

Kita adalah sepasang halaman buku yang dibuka terlambat

Saling menggenapkan tapi mustahil bersama

Aku ingin mencintaimu dengan keras kepala dan tanpa logika

Kamu adalah segala yang bernama surga sementara


Linknya disini nih buat yang pengen dengerin puisinya! 


 


“Perceraian adalah emergency exit yang disediakan  Tuhan ketika kita enggak sanggup lagi berada di dalam hubungan pernikahan”

Beberapa hari lalu saya menghadiri undangan pernikahan teman SMA saya. Melihat dia dengan pasangannya tersenyum sumringah di kuade, saya juga bisa merasakan turut senangnya di hari bahagia mereka. Lalu saya merenung, “Hari ini adalah awal membuka lembaran baru bagi mereka. Akan ada petualangan hidup yang menanti di depan sana.” Saya mendoakan semoga mereka menjadi pasangan yang istiqomah mau tumbuh bersama hingga akhir hayat.....

Saya kembali teringat dengan salah satu buku yang beberapa hari lalu baru saya tamatkan. Buku karya Virly K.A yang berjudul Life as Divorcee. Saya ingat betul Mbak Virly pernah mengibaratkan sebuah pernikahan seperti layaknya mengambil KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Ada kalanya si pemilik rumah me-maintenance supaya rumahnya tetap layak dan nyaman untuk dihuni. Renovasi terkadang juga dibutuhkan jika ada suatu yang tak beres, seperti cat rumah yang mulai pudar, atap yang bocor, tembok yang retak, dan masih banyak lagi.

Merawat Pernikahan = Me-maintenance Rumah

Merawat pernikahan sama halnya dengan me-maintenance rumah. Butuh energi, tenaga, pikiran yang nggak main-main.  Kita dan pasangan harus memiliki visi yang sama sejak awal. Hal yang prinsipel sudah sepatutnya sejalan dan satu tujuan. Di luar dari itu, memungkinkan juga ada yang namanya perbedaan, yang itu akan jadi warna dalam berumah tangga.

Di dalam buku Life as Divorcee, Mbak Virly dengan berani dan lantang menyampaikan bahwa menjadi seorang divorcee (orang yang bercerai)-apalagi perempuan- bukanlah hal yang menyedihkan dan tidak pula memerlukan rasa iba dari orang lain yang mana dianggapnya telah gagal membangun bahtera rumah tangga. Sebenarnya, memutuskan menjadi seorang divorcee sama halnya dengan saat memutuskan untuk menikah, sebuah pilihan yang tidak sembarang asal diputuskan. Saat seseorang memutuskan menjadi divorcee, dia perlu tau apa saja konsekuensi yang akan dia hadapi ke depannya, terlebih jika dia sudah memiliki buah hati.

Hal Tabu yang Tak Perlu Ditabukan Lagi

Bagi saya, buku ini menarik. Sependek pengetahuan saya, belum banyak buku yang “menguliti” secara tuntas perihal perceraian -yang sampai saat ini masih dianggap sebagai hal yang tabu di kalangan masyarakat-. Namun, di dalam buku ini Mbak Virly dengan sangat terbuka membagikan pengalamannya menjadi seoarang divorcee sekaligus single mom parent di usia muda.

Bagi saya yang belum menikah, buku yang diterbitkan oleh EA Books ini sudah memberikan saya kaca mata baru dalam merespon fenomena perceraian yang ada di sekitar. Dan perlu digarisbawahi juga, buku ini tidak memiliki unsur rambu “Ngapain nikah muda kalo ujungnya gak bahagia dan cerai?” atau “Efek perceraian itu menyeramkan”. Bukan ya, sama sekali bukan seperti itu. Buku ini justru berusaha membuka cengkraman perspektif yang demikian. Supaya tidak mispersepsi, saya akan coba membedah sedikit insight apa saja yang saya dapatkan setelah baca buku ini.

A-Z Perihal Pre-Marriage Hingga Independent Divorcee

Buku ini terdiri dari 4 chapter dengan 138 halaman. Tipe buku yang tidak tebal dan bisa ditamatkan dalam waktu relatif cepat kalo emang pengen bener-bener langsung namatin. Empat chapter yang disajikan runtut, mulai dari sebelum benar-benar memutuskan untuk bercerai, obrolan sebelum pernikahan, jenis-jenis suami yang toxic dan tidak pantas untuk dipertahankan, co-parenting, soal finansial pasca bercerai, dating setelah menyandang status divorcee, dan masih banyak lagi.

Buku ini sangat kompleks, tapi bisa nggak sih kalo halamannya ditambahin? :’) penjelasan yang diberikan oleh Mbak Virly memang komplit, tapi masih bisa deh kayanya kalo lebih dipanjangin lagiii. Tebal buku 138 halaman ternyata masih belum cukup untuk mendeskripsikan kehidupan seorang divorcee. Ya memang tidak dapat dipungkiri, menjadi seorang divorcee tentu punya lika-liku kehidupan yang panjang. Banyak hal yang ia lakukan dengan versi barunya dan pasti ada hal-hal baru ia rasakan dan belum pernah dirasakan saat ia masih terikat dengan janji suci.

Covernya yang bernuansa oranye cukup estetik bagi saya, bahasa sederhanya kalo difoto tuh covernya cakeupp. Jenis font yang tidak terbentuk dari garis yang sempurna juga tentu punya filosofi tersendiri. Overall, secara fisik masih sangat bisa dinikmati untuk hitungan buku yang terbit di tahun 2021.

Jujur, first impression saat membaca buku ini adalah “Gilaa, berani dan vokal banget ini mah” Karena memang seterbuka itu Mbak Virly menuliskannya. Saat membacanya, saya bisa merasakan bahwa buku ini bener-bener ditulis dalam keadaan semangat, namun tetap elegan. Disini Mbak Virly memang berusaha supaya “ngena” untuk pembacanya. Buku ini mengandung banyak nasihat dan pesan tapi cara penyampaiannya tidak terkesan menggurui, bahkan terasa seperti diberi advice oleh sahabat karib kita. Bener-bener baik dan tidak menjerumuskan hahaha.   

Deep Conversation Before Marriage

Bagian yang membahas tentang “Pre-Marriage Talks I Didn’t Do” adalah bagian favorit saya. Mungkin karena pembacanya belum menikah ya, jadi saat membaca part ini tuh kek ngerasa dapet list tambahan sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan ke jenjang yang lebih serius. Di bagian ini Kak Virly lebih menekankan bahwa pre-marriage talk itu bukan sekadar membicarakan konsep decor wedding, siapa saja yang diundang, venue indor/outdoor, atau katering, dan perintilan teknis lainnya.

Deep conversation yang ditekankan disini adalah diskusi perihal apa saja yang akan mempengaruhi hidup kita dan pasangan sekarang dan di kemudian hari, misalnya mengenai visi, misi, prinsip, impian, dan sejenisnya. Setidaknya, terdapat 6 topik pembahasan yang perlu banget dibicarakan dengan pasangan sebelum memutuskan untuk menikah, diantaranya: soal hidup dan prinsip; visi dan impian; soal anak; money talks; tentang perceraian; sex stuff.

Jika kita sudah yakin dengan pasangan, seharusnya hal semacam ini sudah sepatutnya dibahas bersama. Dan, tidak ada lagi rasa nggak nyaman buat membahasnya berdua. Kalo masih nggak nyaman buat bahas hal semacam itu, tanyakan lagi pada diri sendiri, udah yakin 100% belum sama doi? Kaidahnya adalah kalau ragu, tinggalkan saja. Ini kata Kak Virly ya, bukan saya yang jadi sok bijak hahaha.

Jika ditanya ada dimana posisi saya setelah membaca buku ini, saya akan menjawab saya berdiri di posisi yang sama dengan Mbak Virly. Saya mengamini semua statement-nya. Dan mau berterima kasih juga buat Mbak Virly yang dengan tidak segan membagikan kisah dan pengalaman hidupnya supaya teman-teman pembaca punya rambu baru dalam menyikapi sebuah pernikahan dan perceraian.

Sampai di sini bekalnya sudah ada nih, pasangannya udah ada belum?! #tanyadirisendiri Semoga review kali ini bisa bermanfaat untuk teman-teman yang membaca. Buat kalian yang tertarik, beli aja bukunya. Dengan harga Rp. 78.000,00 saja, buku ini sudah bisa berada di genggaman kalian. Belum lagi kalo ada diskon di marketplace ya kaaan.

“Bercerai bukan berarti menyerah atau enggan menyelesaikan masalahnya. Sama seperti mempertahankan rumah tangga setelah badai, bercerai juga merupakan solusi. Sama bobotnya. Sama halnya tidak ada yang salah dengan keputusan perempuan untuk meminta cerai dengan pertimbangan kebahagiaan sendiri, bukankah kita memang bertanggung jawab terhadap kebahagiaan masing-masing?”

-Life as Divorcee, page 5-


 


Semenjak film Ngeri-Ngeri Sedap mendapatkan atensi penuh dari publik baik setelah penayangannya di layar lebar atau di platform Netflix, saya mulai follow akun sosial media sutradara sekaligus penulis skenario dari filmnya, Bang Bene Dion. Entah kenapa, saya cukup terobsesi agaknya dengan pemikirannya (soal dunia perfilman) usai menonton film bikinan beliau. Semua aktivitas yang dibagikan di media sosial Bang Bene hampir semuanya saya tahu dan tidak pernah terlewat.

Pertengahan bulan Januari, Bang Bene menonton film terbaru Arswendy Bening Swara yang berjudul Autobiography. Ajakannya yang cukup persuasif membuat saya penasaran dengan film tersebut. Walhasil, beberapa hari setelah penayangan serentak (tanggal 19 Januari 2023) di layar lebar, saya memutuskan untuk nonton film ini di bioskop.

Singkatnya, usai menonton filmnya, hasrat untuk menulis ulasannya itu sangat ada. Bagi saya, ini film pertama yang saya tonton di tahun 2023 yang daging bangett! Tentu tidak mungkin jika saya melewatkan untuk menuliskan ulasan film ini dari perspektif saya. Namun, karena suatu dan lain hal pada akhirnya ulasannya tidak bisa langsung saya tuangkan.

Dan pada kesempatan kali ini, saya berkesempatan menulis ulasan setelah terpaut seminggu lebih dari hari dimana saya menonton film ini. Sehingga, untuk me-recall kembali ingatan saya akan filmnya, saya harus melihat beberapa cuplikan trailer dan behind the scene yang ada di kanal youtube Kawan-Kawan Media. Dan, sungguh sangat kebetulan beberapa hari yang lalu Mbak Kalis Mardiasih mengadakan space di twitter bersama beberapa orang yang terlibat langsung dengan produksi film Autobiography. Jadi, ingatan saya akan film ini makin tercerahkan.

**Perhatian, ini akan sangat SPOILER. Jadi, bagi yang belum nonton dan tetap ingin merasakan kejutan saat menikmati filmnya, jangan nerusin baca ulasannya ya!

Sinoposis

Berkisah tentang seorang mantan jenderal bernama Purnawinata (Arswendy Bening Swara) yang kembali menempati rumahnya di kota Bojonegoro yang selama ini hanya dijaga oleh seorang pemuda bernama Rakib (Kevin Ardilova). Kepulangannya bukan hanya sekadar pulang kampung semata, tetapi Pak Purna berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam masa kampanye, Rakib secara tidak langsung menjadi tangan kanan Pak Purna. Ia, di usianya yang masih muda melihat langsung bagaimana relasi kuasa berjalan di negeri ini melalui kendali majikannya, Pak Purna. Selain itu, Rakib sudah dianggap sebagai anak Pak Purna sendiri yang membuat ia juga tidak dapat lepas dari jangkauan Pak Purna, strict parent kali ya bahasa kekiniannya. Banyak hal baru yang Rakib alami yang kemudian juga memunculkan gejolak batin dalam dirinya. Menurut atau melawan?

Tagar #seramtanpasetan

Makbul Mubarak selaku sutradara sempat nge-mention bahwa film ini tidak punya pesan moral secara tersurat. Kalau pun ada, berarti asalnya dari perspektif penonton masing-masing. Tagar #seramtanpasetan yang melekat pada film ini memang sungguh terasa. Kalau di pencarian google, film ini bergenre drama-thriller. Atau bahkan warga Twitter ada yang menggolongkan film ini menjadi genre horor. Tidak ada yang salah karena sepanjang menonton film ini yang akan penonton dapatkan adalah rasa khawatir, resah, cemas, deg-degan, menegangkan, dan pengen nabok orang, dah semua itu sensasi yang akan dirasakan saat nonton film Autobiography. Selama 115 menit penonton akan dimanjakan oleh alur yang mencekam haha. Bawa temen ya guys kalo nonton, lebih seru!

Relasi Kuasa Itu Nyata

Film ini berlatar di tahun 2017, menurut saya tidak terlalu jauh perbedaannya dengan kondisi di tahun 2023 ini. Pak Purna, layaknya pensiunan jenderal pada umumnya, ia tetap menjadi orang terhormat yang disegani oleh siapapun. Misalnya saja saat Rakib yang mengemudikan mobil Pak Purna lalu menabrak dinding masjid. Saat warga ingin menghadang mobil dan menghakiminya, Pak Purna turun dari mobil mengisyaratkan bahwa dia punya kuasa untuk menghentikan tindakan tersebut. Pak Purna menyuruh Rakib untuk tidak panik dan meminta maaf pada warga. Warga yang semula naik pitam akhirnya hanya bisa menundukkan kepala seraya mempersilakan mobil Pak Purna jalan kembali.

Saat Pak Purna kampanye di depan warga, ada salah satu anak bernama Agus (Yusuf Mahardika) memberanikan diri untuk bertanya pertanyaan yang dititipkan oleh ibunya kepada Pak Purna selaku calon kepala daerah. Kalau tidak salah ingat, ia menanyakan haknya atas lahan miliknya yang akan dibebaskan untuk kepentingan elit penguasa. Saat merespon pertanyaan tersebut, Pak Purna tidak sedang serius menjawabnya. Terkesan formalitas belaka. Bukankah ini yang sering kita lihat di sekitar kita pemirsah?

Mau sungkem juga kepada seluruh elemen yang membentuk karakter Pak Purna sedemikian rupa hingga bener-bener seram dan menakutkan. Pak Purna diem aja sudah mengerikan! Dari pakaian yang dia kenakan, mobil yang dia kemudikan, senapan yang beliau pegang, interaksi beliau dengan orang lain, sungguh terlihat meyakinkan bahwa beliau dahulunya memang prajurit yang gagah dan disegani.

Entah kebetulan atau tidak, menurut saya penayangan film ini sangat pas momentumnya untuk menyambut Pemilu di tahun depan, haha. Film yang sarat akan kritik sosial ini seharusnya bisa menjadi bahan renungan bagi para stakeholder di negara kita. “Yang berkuasa bertindak semena-mena”, wajah ini yang dipertontonkan di film ini dan seyogyanya relasi ini tidak boleh dilanggengkan.

Privilege atau hak istimewa yang didapatkan dari pensiunan jenderal atau bahkan orang di sekitarnya juga sangat kental diperlihatkan. Di film ini, kita akan melihat banyak contoh privilege yang disuguhkan saat kita dekat dengan orang yang punya kuasa. Relasi kuasa yang menjadi warisan dari era orde baru masih nyata senyata-nyatanya terasa. Merasa paling benar, harus dihormati dan disegani karena punya jabatan tinggi dan kuasa yang tak dapat dijamah oleh orang lain. Ini adalah separo kebusukan dari wajah negara kita. Film ini menjadi peringatan bagi kita bahwa kejahatan tidak sepatutnya dilestarikan!

Jangan Lupakan Karakter Pendukung

Amir (Rukman Rosadi), bapak Rakib adalah pembantu terdahulu di keluarga Pak Purna. Ia dipenjara karena melawan kebijakan korporasi yang berusaha untuk merebut lahannya. Hubungannya dengan Rakib tidak begitu akrab layaknya ayah dan anak. Sepertinya ada background di masa lalu yang membuat hubungan mereka renggang namun tidak diceritakan dalam film ini. Saat Rakib berkunjung ke Lapas, Amir berpesan pada Rakib untuk tidak mudah percaya pada siapapun. Konteks “siapapun” disini juga dimaksudkan untuk majikannya, Pak Purna. Meski dengan raut enggan, Rakib tetap menuruti apa yang dinasehatkan oleh bapaknya.

Agus (Yusuf Mahardika), anak SMA yang hanya bermodalkan tekad dan keberanian untuk melawan penguasa. Ibunya yang sedang mengandung ingin memperjuangkan tanahnya supaya tidak direbut oleh elit penguasa. Namun naas, bermaksud ingin mempertahankan haknya malah nasibnya berujung malang. Kisah Agus ini memang fiktif, tapi... coba kita lihat berita-berita yang terliput di media. Berapa banyak orang yang nasibnya sama dengan Agus? Memperjuangkan haknya, melawan penguasa, namun berujung dengan kemalangan. 

Suwito (Lukman Sardi) adalah Kapolsek di daerah tersebut. Mempunyai hubungan baik dengan Pak Purna karena di masa lalu ia sempat dibantu untuk dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi oleh Pak Purna. Permainan seperti ini masih berlanjut kan sampai sekarang? Dia juga mengetahui dalang di balik kematian Pak Purna, namun dia memilih untuk diam karena mencari “aman” saja. Tipikal aparat penegak di negara Konoha ya.

Baik pemeran utama atau pendukung sebenarnya memiliki karakter yang kuat untuk menyampaikan kritik yang sejatinya menjadi tujuan dari film ini. Bagi saya, ini sangat berhasil! Karakter para pemeran yang kuat disertai dengan eksekusi yang ciamik ini lah yang membuat film ini pantas memenangkan beragam nominasi berbagai festival di kancah internasional.

Kesengajaan yang Menjadi Simbol

Dialog saat Pak Purna meminjam charger tipe C pada Rakib ini sangat ikonik menurut saya. Kalau tidak salah, sebanyak dua kali. Awalnya saya bertanya-tanya, ada apa dengan adegan ini? Namun, Mas Makbul sudah menjawab pertanyaan ini di space nya Mbak Kalis. Bahwa semasa Pak Purna masih menjabat, beliau selalu dilayani dengan baik bahkan dari hal kecil seperti nge-charge HP. Ajudannya selalu sigap dan tanggap. Namun, saat beliau sudah pensiun, hal itu hilang dari kesehariannya. Tidak ada lagi ajudan yang tanggap dengan hal-hal kecil dan beliau harus membiasakan diri dengan hal itu. Rakib bukan ajudan yang selalu sigap dan tanggap. Sudah terjawab ya saudara-saudara?

Ada lagi scene yang membuat saya merinding adalah saat Pak Purna turut memandikan Rakib di kamar mandi yang tidak begitu luas. Apa ini maksudnya? Dari perspektif Pak Purna, ini adalah bentuk kasih sayang antara anak dengan ayah. Namun dari perspektif Rakib, ini adalah tindakan yang sudah menembus benteng diri terakhir. Maksudnya, sudah tidak ada sekat yang membentengi antara Pak Purna dengan dirinya.

Momen saat Pak Purna dan Rakib bermain catur juga tidak kalah menarik. Pak Purna selayaknya orang yang lebih berpengalaman mengajarkan pada Rakib bagaimana menyusun taktik dalam bermain catur. “Tetap tenang dan tidak boleh terlihat panik”, ini salah satu pesannya. Catur merupakan permainan yang sering dikaitkan dengan politik. Pemenangnya adalah yang pandai menyusun strategi, begitu pula dengan pusaran politik. Siapa yang ingin berkuasa maka ia harus mempunyai 1001 cara untuk mendapatkannya.

Ada Teka-Teki yang Belum Terpecahkan

Mengapa Pak Purna lebih memilih teh dari pada kopi? Ini tentu ada kaitannya dengan Rakib yang meminta kepada Suwito untuk dibuatkan kopi di penghujung film. Ada yang sudah bisa menebak? Mengapa harus kopi dan teh? Apa ini ada kaitannya dengan konflik pembebasan lahan perkebunan kopi itu? We never know....

Lagu lawas “Kaulah Segalanya” jadi terkesan magis usai menonton film ini. mengapa lagu itu yang diputar saat Pak Purna dan Rakib berada di tempat karaoke? Oh iya, perihal pemilihan lagu, “NyanyianPendaki” cover dari Fajar Merah di penghujung film juga cukup cerdas. Semula saya tidak tahu dan bahkan asing dengar lagunya. Namun, setelah dengar dari film ini, lagu itu punya ruang memori tersendiri di kepala saya, masuk di playlist lagu mencekam dan menegangkan haha.

Lagu yang tidak kalah magis adalah original soundtrack nya yang dinyanyikan oleh Sal Priadi dengan judul Ambilkan Bintang. Kalo dari sisi musiknya sih nggak mencekam, tapi kalo udah baca dan memahami lirik perbaitnya, auto keinget adegan-adegan Pak Purna dan Rakib hahaha.

Terakhir, rasanya udah cukup ya alasan-alasan dari saya yang bikin temen-temen bergegas ke bioskop untuk nonton film ini sebelum turun layar. Film ini sangat teramat pantas menjadi suguhan tontonan di layar lebarr. Bagi saya pribadi, selain alur cerita dan visualnya yang oke, sound effect-nya juga sangat disayangkan untuk dilewatkan jika tidak mendengarkannya secara langsung di dalam studio bioskop. Tunggu apalagi guys, cepattt!


Powered by Blogger.