Satu Malam di Malioboro

/
0 Comments

Di luar sana hujan. Langitnya mulai gelap bercampur dengan awan yang mendung. Rintik hujan dan suara kodok terdengar seperti bersahutan di telinga.  Aku sedang duduk di lobypenginapan sambil membaca berita di koran lokal. Sudah sepuluh menit lamanya aku menunggu Mas Rama, suamiku, yang masih menunaikan sholat maghrib. Oh iya, aku Asmarani. Tetapi singkatnya Mas Rama memanggilku Rani saja. Dan kini, kami berada di kota dengan berjuta kenangan, Jogja.
Bukan tujuan berlibur kami kemari. Kami sedang diberi tugas oleh kantor kami masing-masing, yang kebetulan memang mengharuskan kami berada di tempat yang sama. Aku adalah pegawai bank di salah satu bank swasta ibu kota dan Mas Rama adalah seorang jurnalis di salah satu stasiun televisi nasional. Malam ini adalah malam terakhir kami berada di kota yang selalu bisa membuat siapa saja rindu dengannya. Tidak terasa sudah tiga hari lamanya kami berada di sini. Tetapi, karena kami sibuk dengan tugas masing-masing, tidak ada waktu bagi kami hanya untuk keluar melepas penat saja. Baru malam ini kami terbebas dari jeratan tugas dan amanah dari kantor. Dan malam ini, akan kami gunakan untuk bernostalgia. Mengingat kembali memori yang lalu, saat aku dan Mas Rama dipertemukan delapan tahun yang lalu di kota istimewa ini.
Langkah kami beriringan. Tangan kami bergandengan. Wajah kami menunjukkan rona kebahagian. Kami menyanyikan lagu Yogyakarta milik Kla Project yang sangat legendaris itu. “Masih seperti dulu. Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgi. Saat kita sering luangkan waktu. Nikmati bersama, suasana Jogja....” Suaraku pada hakikatnya tidak begitu bagus. Tapi suara Mas Rama tidak diragukan lagi. Terima kasih ya Allah, berkat-Mu suara falsku ini menjadi tersamarkan dengan suara merdu lelaki yang sedang berjalan di sampingku.
Sudah hampir sepuluh menit kami berjalan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan kami. Tempat bersejarah bagi kami. Tempat pertama kali kami bertemu, sebagai orang asing yang sama sekali tidak tahu-menahu lalu saling berkenalan. Wajah kami kini berhadapan. Mata kami saling menatap. Bibir kami pun seraya bergerak dan teriak dengan lantang, “Malioboro...” Tidak peduli orang sekitar melihat kami. Mungkin kami dianggap sebagai pasangan yang aneh. Biarlah, yang penting malam ini kami berdua sangat senang.
Siklus perekonomian di tempat ini sangat berjalan baik tiap harinya. Para pedagang menjual segala macam bentuk produk. Mulai dari cenderamata, kaos, batik, aksesoris, dan masih banyak lagi. Angkringan, warung lesehan, rumah makan yang berjajar. Menyuguhkan sajian kuliner yang beragam. Beragam menu, cita rasa, maupun harga. Puluhan delman berjejer di pinggir jalan. Tukang becak mengayuh becaknya yang sedang ada penumpang. Mereka semua mencari rezeki untuk keluarganya di tempat ini. Aku juga melihat banyak orang, wisatawan lokal maupun luar sedang berlalu lalang. “Disini kita menemukan banyak orang yang mempunyai tujuan yang sama. Mereka kesini untuk menikmati indahnya malam disini, di Malioboro.”, kata Mas Rama.
“Mas, tapi Malioboro ini sudah tampak berbeda ya.”, kataku pada Mas Rama sambil berjalan. “Wujud fisik bolehlah berubah. Tapi cobalah kamu menutup mata. Hirup dan rasakan udara disini.”, pinta Mas Rama yang kemudian aku lakukan. “Masihkah kamu merasa Malioboro ini berbeda? Tidak kan? Suara-suara dan udara yang kamu rasakan, aku yakin masih sama seperti dulu. Malioboro tidak pernah berubah.”, ucap Mas Rama. Benar saja, aku dapat merasakannya. Suara musisi jalanan itu, aroma sate, logat khas dari para penjual oleh-oleh. Masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Aku setuju dengan perkataan Mas Rama.
Sekitar 100 meter dari tempat kami berdiri, aku melihat ada kerumunan massa. Aku juga mendengar suara alat musik angklung dan entah alat musik apa lagi. Yang jelas sangat merdu untuk didengar. “Mas, ayo kita kesana. Kita lihat ada apa itu? Seperti pertunjukan.”, ajakku kepada Mas Rama yang masih sibuk dengan telepon selulernya. Semakin dekat dengan asal suara, aku semakin tidak asing dengan nada yang dimelodikan. “Wes nasibe kudu koyo ngene. Nduwe bojo kok ra tau ngepenakne. Seneng muring omongane sengak. Kudu takterimo bojoku pancen galak.(artinya: Sudah nasibnya memang seperti ini. Punya suami yang kurang mengenakkan. Hobinya marah bicaranya ketus. Harus diterima suamiku memang galak/pemarah.”, spontan saja aku menyanyikan lagu itu karena memang mengikuti alunan nada musisi jalanan itu. Bagiku, tidak asing mendengar lagu jawa seperti ini. Tetapi, bagi orang sunda seperti Mas Rama, mungkin bahasanya kurang dimengerti. Tapi Mas Rama masih bisa menikmati kok. Dan kurasa, siapapun tak memandang dari suku apa dia, tetap bisa menikmati sajian musik mereka yang sangat indah ini. Karena ini seni yang bersifat universal. Mereka pun memainkannya dari hati.
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sangat tidak terasa sudah hampir satu jam setengah lamanya kami berada di tempat ini. Tadi mulutku yang menyanyi, kini giliran perutku yang menyanyi. “Mas Rama apa tidak lapar?”, kodeku padanya. “Iya ayo deh kita cari warung lesehan ya.”, kata Mas Rama. Memang dia yang paling tahu, hehe. Semua warung lesehan masih ramai oleh orang-orang yang ingin kenyang. Kami akhirnya memutuskan untuk makan di warung lesehan yang berjarak sepuluh meter dari kami berdiri tadi. “Pak, nasi gudeg kalih, teh anget setunggal, kaliyan kopi setunggal. (artinya: Pak, nasi gudeg dua, teh hangat satu, sama kopi satu)”, kataku pada bapak pemilik warung lesehan itu. Tak lama, pesanan kami pun datang. Sudah menjadi kebiasaan netizen di Indonesia, bahwa sebelum makan dan berdoa, ada baiknya kita memfoto makanan yang akan disantap, lalu dibagikan melalui media sosial yang kita punya. Aku begitu, tapi Mas Rama tidak, hehe. Kami tidak banyak bicara saat makan. Mulut kami menikmati kelezatan nasi gudeg yang hangat ini, sedang mata kami memandangi orang yang berlalu lalang. Sampai pada akhirnya aku melihat ada segerombolan anak SD yang sedang rekreasi. Aku jadi teringat Arin, anakku dengan Mas Rama. “Mas, Arin sekarang lagi apa ya sama Ibuk? Kalo kita telepon, pasti dia nangis minta kita pulang. Aku tidak tega. Tapi aku kangen Arin.”, kataku. “Mungkin Arin sekarang udah tidur. Sudah jangan sedih gitu dong. Besok kan kita pulang. Ketemu sama Arin kan.”, ujar Mas Rama yang cukup menenangkanku.
Usai aku membayar di warung lesehan itu, Mas Rama mengajakku ke sebuah angkringan. Dulu di angkringan itu, Mas Rama pertama kalinya menraktirku dan menyatakan perasaannya padaku, hehe. Mungkin ini cara Mas Rama menghiburku agar aku tidak sedih karena rindu yang teramat pada Arin. “Yuk ke angkringannya Lik Man aja ya. Nostalgia tipis-tipis, hahaha.”, hibur Mas Rama padaku, dan aku mengiyakan ajakannya. Akhirnya kami sampai di angkringan Lik Man. Hanya tiga orang pelanggan yang terlihat. Kami duduk di sebelah mereka. Mas Rama ini sangat kenal dengan Lik Man. Semasa kuliah di UGM dulu, Mas Rama dan teman-temannya sering sekali kemari. “Lik Man, isih iling karo aku? (artinya: Lik Man, masih ingat denganku?”, sapa Mas Rama pada Lik Man. “Walaah, iki Rama kan? Cah Sundo. Isih kaku wae basa jawamu, Le. (artinya: Astaga, ini Rama kan? Anak Sunda. Masih tetap kaku saja bahasa jawamu, Nak ”, jawab Lik Man sambil tertawa. Perbincangan mereka pun dilanjutkan dengan asyiknya. Membahas masa-masa saat Mas Rama masih kuliah dulu, membahas teman-teman Mas Rama juga. Aku cuma bisa menyimak, tapi mendengar cerita mereka pun aku tetap senang.
Kini jam tanganku sudah menunjukkan pukul dua malam. Aku seperti dibawa oleh ombak ketenangan saat meminum secangkir wedang jahe yang sekarang sedang kupegang ini, tentram rasanya. Dari angkringan Lik Man ini, kita masih bisa melihat Tugu Jogja yang berdiri gagah di tengah persimpangan jalan itu. Sangat menawan sekali untuk dipandang. Mas Rama tiba-tiba berbisik padaku, “Jogja ini terlalu indah untuk kamu nikmati sendiri, kamu tidak akan kuat. Sini biar sama aku saja.” Bisiknya itu membuat aku senyum dan tertawa, hahahaha.
Terima kasih ya Allah, Engkau pertemukan aku dengan Mas Rama di tempat seromantis ini. Malioboro adalah Jogja. Jogja adalah bagian dari Indonesia. Tempat ini hanyalah salah satu kepingan surga dunia yang Engkau ciptakan. Banyak kepingan lain yang tersebar di seluruh nusantara ini. Indonesia, semoga rakyatmu tetap bisa menjaga kepingan-kepingan surganya yang tersebar. Mengaja budaya, kultur, dan budi pekerti yang terkandung di dalamnya. Aku cinta Mas Rama. Aku cinta Malioboro dan seisinya. Aku cinta Indonesia.


Baca Juga Nih

No comments:

Komentar dan saranmu akan bermanfaat untukku 😊

Powered by Blogger.