Bagi orang yang short term memory seperti saya, mencatat atau menulis apa yang baru saja dialami memang sangat penting. Yaa.. karena kami mudah lupa, jadi sayang sekali jika ada momentum berkesan dan berharga tidak kami tulis. Setidaknya, jika momentum itu tidak terekam dengan baik di memori, masih ada tulisan yang bisa dibaca ulang untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Pada kesempatan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman saya beberapa bulan lalu, dimana saya menjadi salah satu peserta di salah satu kegiatan yang memorable. Kalau saat penutupan acara kemarin belum sempat memuji, mungkin dalam artikel ini nanti kawan-kawan akan menemukan selipan pujian untuk kegiatan yang super worth it ini!

Tanggal 17-23 Juli 2023, Agrarian Resource Center (ARC) menyelenggarakan satu kegiatan bernama Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) yang ke-9, bertempat di Perpustakaan ARC, Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung. Pesertanya sebanyak kurang lebih 25 orang yang sebelumnya telah diseleksi (berdasarkan CV, tulisan, dan jawaban yang telah dikirim) oleh panitia, dan alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk menjadi salah satu bagian dari peserta yang lolos seleksi. Pesertanya tidak hanya berasal dari wilayah Bandung dan sekitarnya, tetapi nyaris tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Beragam suku, bahasa, kebiasaan, latar belakang, bahkan kisah-kisah menarik yang kawan-kawan bawa dari daerah masing-masing.

Selama 7 hari, kami diberi materi-materi seputar agraria kritis. Hari pertama, setelah ada sedikit seremoni dan perkenalan, para peserta diajak untuk menonton film ‘Marinaleda’ kemudian dilanjutkan dengan diskusi ringan seputar film tersebut bersama kelompok yang sudah ditentukan. Film tersebut memantik para peserta untuk berpikir sejenak tentang isu agraria yang terjadi di Marinaleda, Spanyol. Kemudian dilanjut dengan dua materi yang disampaikan oleh Muhammad Syafiq, yakni ‘Agraria dan Studi Kritis’ dan ‘Transisi Agraria dan Peralihan Corak Produksi’.

Bagi saya, dua materi awal ini menjadi ‘pijakan dasar’ untuk materi-materi selanjutnya. Karena, pada materi-materi selanjutnya, sering kali menggunakan istilah, konsep, dan prinsip yang sudah dijelaskan pada dua materi di hari pertama. Agraria bukan hanya sekadar tentang tanah, lahan, atau pertanian, tetapi lebih kompleks daripada itu, agraria didefinisikan sebagai hubungan antara orang/sekelompok orang dengan lingkungan alam sekitarnya. Transisi agraria yang ada saat ini merujuk pada perubahan pada arah perkembangan kapitalisme. Di dalamnya juga kemudian dijelaskan bagaimana Agrarian Question (Q1 Politik, Q2 Produksi, Q3 Akumulasi) bekerja. Pembahasan mengenai Agrarian Question ini selalu muncul di materi-materi selanjutnya. 

Hari kedua, dibuka dengan diskusi buku ‘Capitalism and Agrarian Change: Class, Production, and Reproduction in Indonesia’ disampaikan langsung oleh penulis (Muchtar Habibi) dan ditanggapi oleh Founder ARC, Kang Gepenk dan Henry Saragih (SPI) melalui media daring. Kemudian dilanjutkan dengan materi ‘Transformasi Kaum Tani’ oleh Fikri Fauzi yang menguraikan secara detail siapa yang dimaksud dengan ‘petani’ dan apa perbedaannya dengan peasant, buruh tani, dan lain sebagainya.

Hari ketiga, ini menjadi salah satu materi menarik menurut saya yakni ‘Reforma Agraria dalam Konteks Transisi Agraria’ oleh Rizki Hakim. Disini para peserta diajak untuk menguliti apa saja yang ada di balik Reforma Agraria (RA)/ Agrarian Reform, syarat dan ciri ideal RA, hambatan, dan pelaksanaan RA by Grace dan by Leverage. Dilanjutkan dengan materi ‘Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia’ oleh Mario Iskandar yang menerangkan secara runtut historis RA di Indonesia dari masa feodalisme, kolonialisme hingga rezim saat ini. Meskipun disampaikan oleh 2 pemateri yang berbeda, tapi penyampaiannya tetap sinkron dan bersambung.

Hari keempat, materi ‘Kapitalisme dan Neoliberalisme’ disampaikan oleh Sutami Amin. Dalam paham neoliberalisme, negara selalu terlibat dalam kegiatan pasar. Materi kedua adalah ‘Pembangunan/Developmentalisme’ oleh Alvin Waworuntu. Pada materi ini para peserta diajak melihat kembali latar belakang sejarah pembangunanisme yang terbagi dalam 3 babak yakni babak I (Pasca Perang Dunia 2), babak II (Puncak Perang Dingin), hingga babak III (Perang Dingin berakhir dan berkembangnya neoliberalisme) serta Pembangunanisme Agraria yang ada di Indonesia.

Hari kelima, ‘Agrarian Extrativisme’ oleh Rizki Hakim. Dijelaskan bahwa Extrativisme Agraria merupakan logika ekstraktivisme yang bekerja dalam sektor agraria (agroindustry dan forestry industry) yang secara khusus dimaknai harus ada flex corps (ada bahan mentah). Materi selanjutnya ‘Pencaplokan Lahan/Land Grabbing’ disampaikan oleh Maghfira Fitra, mekanisme Land Grab dapat dilihat dari empat kuasa eksklusi (dalam buku Kuasa Ekskulisi yang ditulis Hall, Hirsch, dan Li), yakni regulasi/pengaturan, paksanaan, pasar, dan legitimasi.

Hari keenam, ‘Dari Gerakan Tani ke Gerakan Sosial Pedesaan’ oleh Andini P Atika. Pada materi ini dijelaskan mengapa dan apa saja karakteristik dari gerakan sosial, kemudian mengapa lebih tepat disebut sebagai Gerakan Sosial Pedesaan, bukan Gerakan Tani, dan bagaimana dinamika pergerakannya dewasa ini.

Selanjutnya, materi ‘Gerakan Sosial Pedesaan di Indonesia Pasca ‘65’ yang dibawakan oleh Pandu Sujiwo dan Teh Hilma (Peneliti Senior ARC). Sebelum mulai materi kedua, peserta diharuskan berdiskusi dengan kelompok masing-masing tentang gerakan sosial pedesaan dari tahun 1965 hingga era 2000-an. Hasil diskusi tersebut dipresentasikan sebelum pada akhirnya materi disempurnakan oleh kedua pemateri. GSP dari masa ke masa memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Hari ketujuh, dimana ini menjadi hari terakhir dari serangkaian kegiatan CASI yang dibuka dengan nonton film dan diskusi ‘Moviemento Dos Trabalhadores Rurais Sem terra (MST)’ ‘dan materi pamungkas ‘Gerakan Pendudukan Tanah’ yang disampaikan secara langsung oleh Kang Gepenk, ini menjadi materi penutup sekaligus membungkus materi dari hari pertama hingga terakhir.

Oh iya, ada yang belum tersampaikan. Jadi, selama 7 hari, di penghujung rangkaian kegiatan selalu ada yang namanya sesi wrapping up. Sesi ini biasanya secara bergantian diisi oleh peneliti-peneliti senior ARC, seperti Kang Gepenk, Teh Hilma, dan Kang Erwin. Sesi wrapping up ini adalah sesi diskusi tanya-jawab untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum terakomodir pada sesi materi. Penjelasan jawaban dari beliau-beliau selalu dalam, sangat detail menjelaskannya. Hingga larut malampun biasanya masih dijabanin *yang penting PERMEN to the rescue ya kaaan

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran berharga yang saya dapatkan selama 7 hari mengikuti kegiatan CASI. Banyak hal baru yang saya dengar dan saya pelajari, di luar wawasan saya yang selama ini belum begitu luas. CASI justru memantik saya untuk mencoba mempelajari spektrum lain di luar apa yang saya pelajari saat ini dan mendorong saya untuk merefleksikan isu-isu agraria secara lebih komphrehensif lagi, saya menjadi punya perspektif baru untuk memandang hal tersebut. 

Saya mau mengucapkan terima kasih banyak kepada panitia, pemateri, sekaligus kawan-kawan peserta CASI IX. Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk berada di tengah-tengah kalian, mendapatkan ilmu, wawasan, dan pengalaman baru yang super sangat menyenangkan! Terkhusus juga untuk kelompok saya, ada Mas Sifa, Kak Tammi, Kak Lulu, Kato, Zidan, dan Ghibran yang selama 7 hari konsisten melaksanakan diskusi sehat dan tidak mengintervensi satu sama lain hahaha. Plus, Golda dan Anggi yang selama 7 hari selalu punya cerita usai kegiatan dan bikin tidur di atas jam 12 wkwk, thankyou guys! Semoga bisa berjumpa lagi di lain kesempatan kawan-kawan semua!

Di tahun 2023, kota Bandung wabil khusus Sekretariat dan Perpustakaan ARC, yang ada di daerah Arcamanik itu sudah mencatatkan kisahnya dalam perjalanan saya untuk menuntut ilmu di tempat baru. Menyenangkan, tidak pernah dilupakan, dan suatu saat masih ingin kembali kesana.

Terakhir, izin mengambil kutipan yang sering didengar saat kegiatan CASI kemarin, What is to be done?”

Powered by Blogger.