Binar di Masjid Al Hikmah (Part 2)

/
0 Comments

Esoknya di kampus, aku berjalan dan berpapasan dengan teman UKM ku. “Alya, nanti ada kajian kan di Al Hikmah? Kamu dateng kan? Aku ingin datang tapi nggak ada temen nih.” Aku berbohong pada temanku jika nanti malam aku tidak bisa ikut kajian karena ada kegiatan lain. Padahal, aku masih butuh waktu untuk memperbaiki hatiku yang rapuh. Kegiatan di Al Hikmah hanya akan mengingatkanku pada Radhi yang nyatanya dekat dengan perempuan lain. Aku ingat betul Radhi pernah bilang padaku, “Buat apa pacaran? Dekat dengan kemaksiatan saja agama kita sudah melarangnya. Sekarang itu waktunya kita banggain orang tua dengan prestasi. Orang tua kita kan sudah susah payah besarin kita. Apa balas budi kita? Aku sih mikirnya gitu. Baru nanti kalo sudah wisuda gitu gapapa mikirin ke hal yang lebih serius, hehehe.” Perkataan itu membuatku semakin termotivasi, kata-kata itu pun mendorongku untuk lebih giat belajar untuk membanggakan kedua orang tuaku yang sudah susah payah mencari rezeki demi kelancaran masa kuliahku.
Semula aku menganggap dia bagaikan cahaya di Al Hikmah. Dia yang mengenalkanku dengan kegiatan-kegiatan di Al Hikmah yang luar biasa manfaatnya. Aku pun mendapat banyak teman disana. Kini, cahanya itu mulai redup akibat kabar dari Riri semalam. “Binarku tak lagi bercahaya”, gumamku. Semula kubangun ekspektasi baik tentangnya, kini runtuh begitu saja. Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan menganggap ini semua. Kesedihan ini pun aku yang buat. “Orang lain tidak merasakan itu, Li”, kata lubuk hatiku yang paling dalam. Ah, sudah lah. Mengingat tentang dia hanya akan membuatku lebih sakit hati. Astaghfirullahaladzim, alladzii laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum wa atuubuh ilaik..
Kabar dari Riri beberapa hari yang lalu tetap saja terngiang-ngiang di kepalaku. Tapi semenjak kejadian itu, aku lebih bisa menginteropeksi diri daripada sebelumnya. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa yang kulakukan dengan kegiatan di Masjid Al Hikmah itu untuk siapa sebenarnya? Demi Radhi atau ingin menggapai Ridho-Nya? Berubah untuk manusia tidak akan kekal. Manusia pun bisa mati. Tapi ridho Allah? Saat kita mencapainya, apa yang kita lakukan pasti mendapatkan pahala dan pasti baik untuk kita.” Kamis ini aku mencoba mengikuti kegiatan kajian di Masjid Al Hikmah kembali. Memperbaiki niat, bukan lagi karena ajakan dari Radhi. Wahai hati, jangan lemah harus kuat.
Kian hari, kawan-kawan kuliahku sering membicarakan mereka. Tentang kedekatan mereka. “Alya sini ikutan nimbrung. Tau nggak si Ani sering banget loh jalan bareng Radhi? Kalo menurutmu mereka gimana?” Obrolan kawan-kawan kuliahku tidak kudengar. Buat apa mendengarkan jika hanya akan memberikan goresan luka di hati? Tanggapanku pada mereka hanyalah tersenyum dan menggelengkan kepala seperti berisyarat ”no comment”. Allah memang Maha Baik. Di satu sisi aku mendengar banyak kabar tentang mereka, namun di satu sisi aku pun tidak pernah melihat mereka berdua dengan mata kepalaku sendiri. Mungkin ini cara Allah untuk mengobati luka di hati, dengan cara tidak memperlihatkan kedekatan mereka di hadapanku dan aku bisa fokus memperbaiki diri.
Setelah mendengar kabar itu, saat jam kuliah pagi aku berangkat lebih awal dari biasanya. Tidak seperti dulu saat jam 06.30 aku selalu bertemu Radhi di mushola. Pernah suatu ketika di mushola saat aku melaksanakan sholat dhuha, aku mendapati Radhi disana. Aku menarik nafas dalam-dalam, kukeluarkan pelan-pelan sembari beristighfar. Aku berdoa pada Allah memohon yang terbaik. “Jangan biarkan hamba sakit hati ya Allah dengan keadaan seperti ini. Bantulah hamba untuk kuat dan berani mengikhlaskan, aamiiin..” Ternyata aku keluar mushola bersamaan dengan dia, dia menyapaku “Hei Alya, ada kuliah pagi?”. “Iya ini ada kuliah pagi, duluan ya, Radhi”, balasku sambil tersenyum padanya. Nampak sedikit susah buatku memberikan senyum padanya. Egoku berkata, “Buat apa kau masih baik dengannya..” namun hati kecilku berkata, “Tetaplah berbuat baik padanya. Ini bukan salahnya. Kamu sendiri yang membuat rasa sakit.”
2 TAHUN KEMUDIAN...
Kawan-kawanku satu persatu mulai pergi meninggalkan bangku kuliah. Iya, sudah banyak yang wisuda. Ada yang memilih kembali ke kampung halaman atau pergi lebih jauh untuk mengadu nasib. Semua itu pilihan masing-masing. Turut senang dan hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Aku sendiri masih menyusun revisi skripsiku. Bukan perkara yang mudah apabila kita mendapatkan dosen pembimbing yang susah sekali untuk ditemui. Oh iya, Riri sahabatku sekarang sedang mengurusi wisudanya yang akan dilaksanakan pada periode selanjutnya. Katanya, keluarga dia yang dari Bojonegoro akan datang.  Jika kau menanyakan kabar Ani dan Radhi, baik aku akan menjawabnya. Ani periode kemarin sudah wisuda. Dia sudah pulang ke kampung halamannya di Pati. Sedangkan Radhi, dia akan wisuda bersamaan dengan Riri. Saat itu sukup lama agar aku tidak merasakan sakit hati melihat kedekatan antara Radhi dan Ani. Mungkin kurang lebih enam bulanan, lama bukan? Setelah itu, kembali seperti biasa. Aku menilai keduanya adalah orang yang sangat baik. Cukup itu. Radhi dan Ani menyapaku, kubalas dengan senyuman. Tidak ada lagi rasa sakit hati. Aku sudah mengikhlaskannya.
Siang ini panasnya sangat terik. Bahkan terasa hingga kamar kosku yang sudah kuhidupkan kipas anginnya. Kondisi seperti ini membuatku tidak fokus menggarap revisi. Akhirnya aku lebih memilih untuk berbaring di kasur dan memejamkan mata. Mungkin saat sore nanti sudah tidak sepanas ini. “Aku bisa bangun, mandi, lalu melanjutkan revisian.”, pikirku. Baru sedetik kumemejamkan mata, telepon genggamku bergetar. Tandanya ada pesan masuk dari seseorang. Awalnya kubiarkan, namun bergetar lagi dan berulang-ulang. Aku khawatir ada kabar penting, jadi kuraih telepon genggamku yang berada di meja sebelah kasurku. MasyaAllah, kaget bukan main ternyata itu pesan dari Radhi. Dan isinya begitu panjang sepertinya. Apa ini poster mengajak kajian lagi di Al Hikmah? Memang beberapa minggu belakangan ini Radhi kembali mengirimkan jadwal kajian di Al Hikmah padaku, yang sebenarnya aku sudah mengetahuinya dari kawan-kawanku. Tapi untuk niat baik dia, aku selalu mengucapkan terimakasih padanya karena sudah memberiku informasi dan mengajakku. Tidak menunggu lama langsung kubuka pesan itu..
“Assalamualaikum Alya”
“Alya Sabtu depan ada acara?”
“Begini Alya, Radhi kan Sabtu ini insyaAllah akan diwisuda, orang tuaku dari Cimahi akan berkunjung kesini. Kalo berkenan, Alya dateng ya. Aku berniat mau ngenalin Alya ke orang tuaku.”
Belum selesai pesan darinya kubaca, jantungku berdetak begitu cepat saat membaca pesan yang satu ini. Sekujur tubuhku tiba-tiba dingin. Kedua tanganku gemetar. Dalam rangka apa dia mau mengenalkanku pada orang tuanya? Hanya itu pertanyaanku. Namun pesan dia belum selesai kubaca, jadi kulanjutkan kembali.
“Kamu masih ingat jika aku pernah bilang ke kamu kalo aku ngagak mau pacaran dulu? Dan aku juga bilang ke kamu kalo seriusnya itu ntar waktu wisuda. Masih inget nggak, Al? Kalo kamu bertanya-tanya kenapa aku mengenalkan kamu ke orang tuaku, sudah jelas jawabannya. Karena aku ingin lebih serius denganmu, Alya Zahira.”
“Oh iya, Riri sepertinya jadwal wisudanya sama denganku. Kamu pasti ada niatan dateng kan ke wisudanya dia? Sekaliah kuh datengin Radhi juga, hehe”
Hahh? Apa ini? Apakah aku bermimpi? Atau Radhi salah kirim? Mungkin ada kawan Radhi yang lain yang bernama Alya Zahira. Apa ini benar pesan untukku? Badanku mulai lemas, yang semula dingin tiba-tiba mengucurkan keringat yang begitu deras. Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Aku menenangkan diri sejenak. Segera aku menuju kamar Riri dan menceritakan pesan Radhi padanya.
Kuketuk dengan kencang pintu kamar Riri agar segera dibuka olehnya. “Iya Li, sebentar. Ada apa sih nggak sabaran banget.”, sahut Riri dari dalam. Setelah aku masuk, aku masih mengatur nafasku. “Begini, kamu orang pertama yang akan tau ceritaku ini. Aku baru saja dapat pesan dari Radhi. Sangat mengagetkanku. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba dia bilang akan serius denganku. Menurutmu bagaimana? Nih coba kamu lihat sendiri Ri pesan dari dia.”, ucapku terbata-bata karena nafasku masih tersengal-sengal. “Waduhh, beneran ini si Radhi mau serius sama kamu, Li? Seneng banget aku yang baca!! Aku ada cerita juga sebenernya. Waktu itu aku lupa bilang ke kamu. Mungkin karena aku juga anggap kabar ini kurang penting lagi buat kamu. Jadi, mungkin sebulan yang lalu waktu aku sibuk-sibuknya ngurusin wisuda nih, aku juga sering ketemu sama si Radhi. Tiap kali ketemu nanyain kamu dia nya. ‘Kok nggak sama Alya, Ri?’ ‘Alya kemarin ikut kajian di Al Hikmah nggak?’ dan lain sebagainya aku lupa. Dan terus, aku juga pernah tanya ke dia gimana sebenarnya hubungan dia dengan Ani. Dia menjawab, ‘Aku dan Ani sebetulnya hanya berteman biasa. Namun memang intensitas pertemuan kami begitu sering. Ya sebatas kepentingan kami juga. Mungkin kami ini lebih baik dianggap bersahabat. Dan kami juga tidak pernah saling ada rasa. Temen-temennya tuh kadang bercandanya berlebihan, hehe. Lagian si Ani ini juga sudah ada calon di kampung halamannya’ dan aku juga nanggepin penjelasan dia biasa aja gitu. Nggak nanya-nanya lebih lanjut lagi. Ya mungkin dia emang serius ke kamu, Li. Toh dia juga sudah bilang nggak ada rasa sebenernya sama si Ani. Coba tanyain aja ke dia alasan apa yang membuat dia serius sama kamu. Dan kenapa gitu dia kok tiba-tiba banget? Tanyain gih.” 
Tak terasa jam menunjukkan pukul 15.00. Aku masih berada di kamar Riri dan menunggu jawaban dari Radhi atas pesanku. Sudah dua jam lamanya dia tidak membalas pesanku. Saat aku asyik bercerita dengan Riri, telepon genggamku tiba-tiba berbunyi. Bukan pesan, tapi nada panggil. Dari Radhi!! MasyaAllah, segera kuangkat telpon itu. 
“Assalamualaikum, Alya? Ini Radhi.”
“Waalaikumsalam. Iya ada apa?”
“Aku tidak mengganggu kan jika sekarang menelponmu?”                                           
“Iya nggak kok”
“Jadi, aku mau memberi penjelasan kepadamu terkait pertanyaanmu itu. Maaf aku agak lama meresponnya karena aku masih harus menata kata-kataku. Jadi begini, untuk pertanyaanmu yang pertama, alasan apa yang membuatku serius denganmu? Aku melihat kamu berbeda dari wanita-wanita lain. Sejujurnya aku sudah pernah melihatmu sebelum kita berkenalan dulu, tepatnya di Masjid Al Hikmah. Saat itu hujan begitu deras, tidak kunjung pergi hujannya. Aku sempat melihatmu membaca al-quran begitu lama. Saat yang lain sudah meninggalkan sajadahnya, namun kamu tetap disana. Aku bertanya-tanya pada diriku. ‘Siapakah dia ya Allah? Sepertinya dia baik. Tolong jika berkenan, kenalkanlah aku padanya.’ Lalu aku melanjutkan bacaan qur’anku. Entah kau mendengarnya atau tidak, hehe. Saat aku diajak berkumpul dengan Riri dan disebelah Riri ada kamu, sejujurnya aku kaget banget. Secepat itu Allah mengabulkan doaku? Sangat senang bisa kenal kamu, jadi lebih tau karaktermu. Kamu baik, penyabar, padai, nggak neko-neko. Aku makin tertarik denganmu. Sudah mungkin itu alasanku dan kesan pertamaku mengenal dirimu.”
Suara dari Radhi tidak kudengarkan sendiri, Riri pun mendengarkannya. Dan penjelasan Radhi ini berhasil membuat air mataku jatuh. Tidak kusangka ternyata dia melihatku lebih dulu. Ya Allah, Engkau yang Maha membolak-balikkan hati..
“Halo? Alya? Kamu masih dengar suaraku kan?”
“Iya iya masih dengar. Lalu jawaban untuk pertanyaanku yang kedua?”
“Oh oke. Akan kulanjutkan. Jawaban untuk pertanyaanmu yang kedua. Mengapa aku tiba-tiba banget memberitahukan ini padamu? Sebenarnya tidak tiba-tiba banget. Aku akhir-akhir ini juga bertanya-tanya tentangmu pada kawan-kawanmu, bukan pada Riri saja. Perihal aku tidak menghubungimu lagi? Ya itu karena aku mau menjaga jarak dulu. Aku pernah bilang juga ke kamu kalo ingin fokus banggain orang tua dulu? Bener nggak? Masih ingat perkataanku? Aku tidak mau kedekatan kita malah akan menjadi ladang dosa untukku dan untukmu, karena aku ada rasa denganmu. Aku ingin fokus memperbaiki diri dan banggain orang tua dulu, dan memang berniat sudah mantap akan serius denganmu. Oh iya, alhamdulillah sebelum wisuda pun aku sudah mendapatkan pekerjaan, Al. Aku diterima menjadi legal officer di salah satu perusahaan di Jogja. Cukup sekian penjelasan dariku. Jadi gimana jawabanmu, Al? Mau tidak bertemu dengan orang tuaku Sabtu depan?”
            Aku terdiam memahami kalimat perkalimat yang dilontarkan Radhi. Seperti itukah kenyataan yang sesungguhnya? Aku masih tidak percaya. Allah mengujiku dengan perasaan sakit yang sebenarnya kubuat sendiri, tetapi pada akhirnya apa? Allah ternyata ingin melihatku menjadi seorang yang mau memperbaiki diri dulu, pun dengan Radhi.
“Terimakasih sebelumnya atas kesan baikmu terhadapku. Terimakasih juga atas niat baikmu yang ingin serius denganku. Jika aku boleh jujur, dulu saat di Masjid Al Hikmah pun aku sudah mendengar lantunan bacaan al qur’anmu. Tapi aku hanya melihat punggungmu. Lalu suatu ketika saat aku sholat di mushola, aku mendengarkan suara itu lagi. Dan benar saja saat dikenalkan oleh Riri, suara itu adalah suaramu. Aku juga suka dengan kepribadianmu. Tapi saat mengetahui kamu dekat dengan Ani, aku berusaha untuk mengikhlaskan itu. Dan aku baru saja mendengar cerita dari Riri terkait hubunganmu dengan Ani. Untuk Sabtu depan menemui kedua orang tuamu, aku butuh waktu lagi untuk berpikir, Radhi. Beri aku waktu. Tiga hari lagi silakan kau tanyakan lagi padaku. Terimakasih yaa..”
“Baiklah jika permintaanmu demikian, Al. Kuharap tiga hari lagi aku mendapatkan jawaban terbaik darimu. Udah dulu ya. Oh iya, tolong bilangin ke Riri karena sudah menceritakan hal itu padamu, hehe. Wassalamualaikum”
“Iya kusampaikan, hahaha. Waalaikumsalam”
Setelah bercerita melalui telepon dengan Radhi, aku segera menelpon orang tuaku bercerita terkait keseriusan Radhi padaku. Jawaban orang tuaku adalah menyerahkan sepenuhnya padaku. Segera aku mengambil air wudhu, lekas mendirikan sholat istikharoh agar menemukan titik terang. Aku pernah sakit hati, lalu mengikhlaskannya. Tapi ternyata dia kembali lagi dan bahkan ingin serius denganku. Apakah ini yang disebut dengan jodoh nggak akan lari kemana? Di penghujung sholatku aku memohon pada-Nya, “Ya Allah, jika ini memang yang terbaik, berikanlah hamba kekuatan untuk meyakininya. Jika dia memang baik untuk hamba, terangkanlah jalannya, aamiiin”. Aku masih kalut, rasa yang dulu ada sebenarnya sedikit demi sedikit sudah mulai pudar. Apakah ini pertanda bahwa binarku kembali bercahaya kembali?
Tiga hari berselang, aku belum menerima pesan dari Radhi. “Li, udah ada pesan dari Radhi?”, tanya Riri sembari kita duduk berdua di kantin fakultas. “Iya belum. Doain aku mantap ya dengan jawabanku”, jawabku. “Iya bismillah dulu, semoga keputusan ini baik untukmu dan untuk Radhi”. Telepon genggamku tiba-tiba bergetar. Ada pesan dari Radhi.
“Assalamulaikum Alya. Sudah tiga hari, semoga jawabanmu sesuai dengan harapanku ya”
“Waalaikumsalam. Bismillahirrohmanirrohim. Setelah Alya menimbang segala macamnya, bertanya pada orang tua Alya juga, Alya insyaAllah mau dikenalkan dengan orang tua Radhi Sabtu depan. Bismillah Alya sudah siap.”
“Alhamdulillah ya Allah. Turut senang aku yang baca. Akan kukabarkan berita ini pada orang tuaku. Pasti dia senang, Al”
Berbalas pesanpun dilanjutkan. Dari awal, aku memang benar menilai bahwa Radhi ini orang yang menyenangkan. Dia baik ke semua orang. Di sisi lain dia juga bisa serius dan tegas terhadap pilihan yang dia ambil. Terimakasih ya Allah Engkau telah mengembalikan binarku yang semula kuanggap redup. Binarku kini lebh bercahaya, semoga aku bisa menjadi energi positif dari binar yang akan kumiliki. Radhi, kamu adalah binarku di Masjid Al Hikmah..

-TAMAT-



Baca Juga Nih

No comments:

Komentar dan saranmu akan bermanfaat untukku 😊

Powered by Blogger.