Binar di Masjid Al Hikmah (Part 1)

/
0 Comments

Jam tanganku menunjukkan pukul 14.45 tanda berakhirnya mata kuliah hari ini. Langkahku menuju parkiran sedikit cepat dikarenakan langit mulai gelap, suara petir menggelegar, dan awannya menggumpal seperti bulu domba. Tanda akan turun hujan. Benar saja, baru keluar dari area fakultas hujan turun begitu derasnya. Karena aku lupa membawa jas hujan, akhirnya aku memilih untuk menepi di masjid universitas, sekitar 200 meter dari fakultasku. “Masjid Al-Hikmah”, tulisan neon box berwarna merah menyala menyambut siapa saja yang akan memasuki kawasan masjid tersebut. Setelah memarkir sepeda, aku berlari menuju masjid dan segera melepaskan sepatuku. Lisanku bedoa “Allahummaftahlii abwaaba rahmatik”. Aku duduk bersila di kanopi masjid lalu melepaskan jaketku yang basah kuyup. 
Adzan ashar telah berkumandang dibarengi suara rintik hujan yang belum berhenti sedari tadi. Bergegas aku mengambil wudhu agar dapat mengikuti sholat ashar berjamaah. Para jamaah kebanyakan adalah mahasiswa yang senasib denganku. Terjebak hujan dan tak bisa pulang, akhirnya hanya bisa menunggu hujan yang deras ini tak turun kembali. Usai sholat, aku melepas mukenahku dan mengambil al-qur’an kecil yang ada di tasku. Makmumnya tidak begitu banyak dan sepi, tidak bising. Menurutku ini adalah waktu yang khidmat untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan cara membaca kalam-Nya di salah satu rumah-Nya. Tidak terasa sudah 20 menit aku menyelami samudera ayat-ayat al-qur’an. Aku memilih untuk membaca surah Ar-Rahman. Tak tau bagaimana, tiap kali aku membacanya, yang aku rasakan hanyalah nikmat yang telah Allah berikan padaku sungguh sangat banyak, melebihi cukup. Fabiayyialaa irobbikuma tukadziban. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan? Sungguh, Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Hujan yang semula deras dibarengi dengan suara petir yang menggelegar berkali-kali kini berganti hujan gerimis saja. Suara rintik hujan terdengar berirama. Di sela-sela aku mendengar rintik hujan, aku mendengar pula suara lantunan ayat suci al-quran. Suaranya sangat merdu, terdengar sangat bersahaja. “Shodaqallahul adziim..”, ucapku sambil mengusapkan al-quran pada wajahku lalu kututup. Kembali aku menundukkan kepala dan memejamkan mata. Menyimak bacaan al-quran seorang lelaki yang entah dari mana asal suaranya. Buat tenang hati, tentram rasanya. Astaghfirullah, karena terlalu fokus mendengarkan lantunan ayat demi ayat yang dibaca oleh lelaki asing itu, aku jadi tidak sadar jika hujan telah berhenti. Segera aku keluar masjid dan pulang.
Pagi ini sangat cerah, hawanya sejuk. Burung-burung bernyanyi seolah bernada namun mereka saja yang tahu ritmenya. Aku berjalan di koridor fakultas, menuju mushola. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.30. Masih ada waktu 30 menit untukku bercerita dengan Allah, berharap setiap langkahku hari ini diridhoi oleh Allah. “Assalamualaikum warahmatullah..”, suaraku lirih ketika salam di akhir sholat dhuha. Suasananya hening. Maklum, biasanya para mahasiswa datangnya mepet dengan jam masuk, dan terlebih jarang sekali ada yang masuk mushola, mungkin hanya lewat saja. Tiba-tiba ada yang memecah keheningan, suara lantunan ayat suci al-quran. Sepertinya aku pernah mendengar suara ini. Ah iya!! Ini seperti suara lelaki asing yang pernah kudengar di masjid Al-Hikmah. Persis sekali suaranya, aku tidak salah mendengar.  Tidak terasa jam menunjukkan pukul 06.50, itu berarti kurang 10 menit lagi kelasku akan dimulai. Bersamaan dengan aku memakai sepatu, sosok lelaki itu pun keluar. Aku sempat melihat wajahnya sebelum dia bergegas menuju kelas. Wajahnya asing, aku belum pernah bertemu sebelumnya. 
Bagiku, semester tiga adalah masa dimana para mahasiswa mulai menggali potensi dan mencari pengalaman seluas-luasnya setelah dua semester ia menyandang gelar mahasiswa baru. Aku dan kawanku Riri pun begitu. Kami mencari pengalaman-pengalaman baru dengan mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM). Tapi pilihan kami berbeda, aku mengikuti unit kegiatan mahasiswa kerohanian (islam) dan dia mengikuti unit kegiatan mahasiswa kajian dan penelitian. Oh iya, sedikit gambaran tentang Riri. Dia yang berasal dari Bojonegoro ini adalah kawan sekelompokku kala ospek dulu. Dan kini kami juga satu kost an. Berangkat dan pulang kuliah kami sering bersama. Terkadang aku yang nebeng dengannya atau sebaliknya. Suatu saat, ketika kami akan pulang kuliah, dia mengajakku ke taman tengah di fakultas kami. Dia bilang padaku jika masih akan berkumpul dengan teman seUKMnya. Dan itu berarti membuatku harus menunggu hingga urusannya Riri selesai. “Tunggu sebentar ya, sini aja. Jangan jauh-jauh. Nggak akan diusir juga sama teman-temanku. Sebentar lagi mereka kesini, habis selesai kelas mereka.”, ucapnya. “Emang kamu mau ada acara apa sih kok kumpul?”, tanyaku. “Ini mau ada kegiatan penyuluhan gitu. Cuma tiga orang sih perwakilan angkatanku yang ditunjuk. Aku, si Bila temen kostnya Putri, sama si Radhi.”, jawab Riri. Dari kejauhan Riri melambaikan tangan kepada dua teman UKMnya itu. Aku turut melihat ke arah dua temannya itu. Aku kenal dengan si Bila. Namun lelaki yang di sebelahnya itu dilihat dari posturnya seperti lelaki yang kapan hari bertemu di mushola dan masjid Al-Hikmah. Mereka mulai mendekat ke arahku dan Riri. Benar saja! Itu lelaki yang pernah kudengar lantunan suaranya yang merdu. “Ayo sini duduk. Radhi belum kenal sama Lia ya? Kenalan dulu gih”, perkataan Riri yang sontak buatku kaget dan mengernyitkan dahi. Tidak lama lelaki itu mengajakku bersalaman. “Kenalin Radhi Gemilang, biasanya sama anak-anak dipanggil Radhi aja sih”, kata lelaki itu sangat hangat. “Iya Radhi, kenalin aku Alya Zahira. Alya aja manggilnya. Lia itu cuma panggilannya Riri ke aku, hehe”, balasku. “Oh iya, si Radhi ini anak LDK univ li, jadi kalo UKM mu mau ngundang anak LDK, bilang aja ke Radhi hahaha.”, canda Riri padaku yang membuat Radhi sedikit tertawa. Setelah satu jam berlalu, akhirnya selesai juga urusan Riri dan kami pun pulang.
Usai berkenalan dengan Radhi kala itu, aku makin sering melihatnya di kampus. Tak jarang pula kami bertegur sapa saat berpapasan. Suatu ketika aku meminta nomor telpon Radhi pada Rara karena kepentingan UKM. Mulai saat itu, kami juga sering berbalas pesan. Ya memang hanya sebatas keperluan kami saja, tidak lebih. “Ting ting”, telepon genggamku berbunyi menandakan ada suatu pesan masuk. Ternyata dari Radhi. Ia mengirim gambar berupa poster yang judulnya “Majelis Sholawat Al Hikmah”. Lalu ada pesan pesan lagi darinya, “Ayo Alya ikutan, ajak juga temen-temennya ya besok Kamis ba’da sholat isya’ di Maasjid Al Hikmah”. Saat melihat pesan itu, bibirku refleks tersenyum riang. Segera kubalas pesan dia, “Iya insyaAllah ya, terimakasih informasinya Radhii. Akan kuajak teman-teman”. Sejauh aku mengenalnya, bagiku Radhi berbeda dengan lekaki-lekaki pada umumnya. Dia sangat baik dan hangat kepada siapapun. Tutur katanya yang selalu sopan dan halus, pandai,  pembawaannya selalu bijaksana, dan wajahnya selalu teduh, tidak pernah aku melihat dia bermuka masam. Dan aku memandang dia sangat menghargai perempuan.Di samping suaranya yang merdu saat melantunkan ayat suci al-qur’an, mungkin beberapa hal yang kusebutkan tadi adalah poin plus dari Radhi yang membuatku kagum dengan dia. Iya benar, ada perasaan lain saat aku menerima pesan darinya. Hatiku seakan-akan bergetar, tapi segera kuberucap, “Astaghfirullah..”
Keesokan harinya, tibalah malam berlangsungnya kegiatan majelis sholawat di Al Hikmah. Akhirnya aku mengajak Riri untuk pergi kesana karena kawan-kawan UKM ku ada jadwal kuliah di waktu yang sama. Masjid Al Hikmah mulai dipenuhi jamaah baik laki maupun perempuan. Usai sholat isya’ berjamaah, dimulailah kegiatan sholawatan bersama. Shaf lelaki dan perempuan tetap ada sekatnya. Jadi, aku tidak tahu apakah Radhi datang atau tidak. Tidak masalah pun bagiku apabila Radhi tak datang. Sholawatan pun dimulai. Ada suara lelaki yang memimpin. Suara rebana, bass, ketipung, dan tumbuk mulai terdengar dibunyikan bersamaan. Alunannya terdengar sangat bersemangat dan membentuk suatu harmoni. Iringan yang membuat hati kami bersemangat, membuat rindu kami kian membuncah pada Baginda Nabi Rasulullah. “Assalamualaika yaa yaa Rasulallah, assalamualaika ya habiibi, ya nabi Allah..” Tunggu, sepertinya aku tidak asing dengan suara lelaki yang sedang memimpin kami membaca sholawat. Iya, ini suara Radhi. “Li, ini suara Radhi nih”, bisik Riri padaku. Lantunan sholawat yang dilafadzkan terdengar sangat lantang. Wajah kami sangat bahagia menyuarakan bait per bait sholawat. Hati rasanya menjadi tenang dan tentram. Malam itu, aku merasakan seakan-akan ada ribuan malaikat yang menghadiri majelis sholawat itu. Hingga tiba pada penutup, kami semua saling berjabat tangan dan saling melemparkan senyuman. Apa yang barusan kami lakukan nyatanya cukup dapat membayar rasa kerinduan kami pada Rasulullah, masyaAllah.
Sepulang dari Masjid Al Hikmah saat sampai depan kamar kosku, aku mendapat pesan dari Radhi, “Tadi Alya dateng?”. “Iya dateng. Tadi yang mimpin sholawatannya kamu kan?”, jawabku sembari mengetik dan tersenyum. “Hayo pesan dari Radhi yaa. Senyum-senyum bae”, kata Riri yang tiba-tiba berada di sampingku. Telepon genggamku berbunyi kembali, ”Iya itu aku hehe.”
”Pantesan nggak asing sama suaranya.”
”Eh iya gitu? Hehe”
”Iya bagus suara Radhi. Request nih LDK jangan ngadain sekali aja. Kalo bisa rutin.
Bagus kegiatannya sangat bermanfaat.”
”Iya insyaAllah mau diistiqomahkan. Kamis depan ada kajian dari ustad ibu kota Al.
Boleh dateng, gratis”
”Wiih, matap. insyaAllah deh dateng kalo nggak ada kegiatan lain. Makasih Radhi
informasinya yaa..”
Bermula dari kegiatan majelis itu, Radhi sering mengirimkan kegiatan-kegiatan di Masjid Al Hikmah padaku dan meminta tolong padaku supaya menyebarkan kegiatan itu pada teman-teman yang lain. Pertemanan kami hanya sebatas itu, tidak lebih. Dan mungkin malah akuyang sebetulnya berlebihan dalam menanggapinya. Tidak bisa berbohong, memang pada saat menerima pesan dari Radhi jantungku berdegup kencang, tanganku keringat dingin, dan membalas pesannya pun butuh waktu bermenit-menit supaya pesan yang dikirim itu nggak sembarangan. Penilaianku terhadap Radhi saat awal berkenalan hingga akrab sampai saat ini masih sama. Sosoknya ini memang sangat idaman menurutku. Bahkan mungkin ibuku bila kuceritakan tentang Radhi pun akan mau punya mantu sepertinya, hehe. Hush, apa-apa an ini pikiranku, astaghfirullah.
Sudah tiga minggu lamanya aku dan Radhi tidak pernah saling bertukar pesan. Dari awal aku memang berusaha agar tidak memulai duluan jika memang itu bukan suatu kepentingan yang akan dibahas. Saat aku membuat status pun dia tak pernah berkomentar lagi, hanya dilihat saja. Tiga minggu terakhir ini pun Radhi sama sekali tidak pernah membagikan jadwal kegiatan di Al Hikmah. Padahal, aku sendiri tahu bahwa kegiatan rutin di Al Hikmah itu tetap berjalan. Dan aku tetap datang walau tanpa pemberi tahuan darinya. Lamunanku saat berbaring di atas kasur pun terpecah gara-gara ada yang mengetuk pintu kamar kostku. “Lia!! Aku ada berita nih buat kamu. Aku mau cerita.”, suara Riri mengagetkanku dan membuatku penasaran. Saat kubuka pintu kamarku, wajah Riri seperti mengisyaratkan akan ada kabar yang kurang baik untukku. Aku mempersilahkan dia bercerita. “Jadi gini, Li. Nggak tahu sih ini kabar penting atau nggak buat kamu. Aku tahu kamu suka sama di Radhi. Kamu kenal sama Ariani Safitri nggak? Panggilannya Ani.”, tanya Riri. Aku kenal Ariani Safitri alias Ani ini. Aku pernah sekelompok dengannya entah saat mata kuliah apa. Kenal namun tidak akrab. Orangnya sangat baik dan penuh pengertian. “Nah, dia seUKM sama aku. Waktu aku ke sekret tadi, aku melihat ada dia dan Radhi disana. Dan obrolan mereka pun sangat intens menurutku. Tapi, awalnya aku juga menganggap itu hal biasa, Li. Mereka Cuma bicara-bicara gitu walau aku juga nggak dikasih celah untuk nimbrung sama mereka. Sampai pada akhirnya si Bila dateng. Dan kata-katanya dia ini membuat aku kaget beneran deh.”, jelas Riri panjang lebar. “Bila bilang apa emangnya, Ri?”, tanyaku. “Kamu tarik nafas dulu ya. Siapkan hati dan pikiran yang dingin saat kamu menerima penjelasanku ini.”, kata Riri yang sejujurnya makin buatku tak tenang. “Si Bila masuk nih kan ke sekret. Kan ngelihat ada si Radhi sama si Ani. Dia terus bilang gini, ‘Sudahlah pacaran saja kalian ini. Sudah deket pula dari dulu. Gimana Radhi nih nggak ada action sama sekalipun padahal Ani kulihat selalu beri kode ke kamu’ aku beneran kaget Li waktu Bila bilang gitu. Dekat? Sejak kapan coba? Terus tanggapan mereka berdua cuma tersenyum dan tertawa gitu. Geli aku yang lihat.” Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, sesak dadaku mendengar pernyataan itu. Wajahku merautkan muka ‘sok’ tegar menerima penjelasan itu. Apakah ini alasan Radhi tidak pernah menghubungiku lagi? Tenyata ada Ani bersamanya sekarang. Mungkin dia tidak bertukar pesan denganku karena ingin menjaga hatinya Ani. Semua asumsi buruk keluar begitu saja dari pikiranku. “Sudah jangan sedih dulu. Kita perlu tahu lebih lanjut, jangan suudzon yang nggak baik dulu ke Radhi, Li. Kita perlu bukti lagi buat lebih yakin.”, kata Riri menenangkanku dengan menyeka air mataku. Ternyata aku menangis. Selemah itu diriku saat tahu kabar itu. (berlanjut...)



Baca Juga Nih

No comments:

Komentar dan saranmu akan bermanfaat untukku 😊

Powered by Blogger.