Review Buku Life as Divorcee: Hal Tabu yang Tak Perlu Ditabukan Lagi

/
0 Comments

 


“Perceraian adalah emergency exit yang disediakan  Tuhan ketika kita enggak sanggup lagi berada di dalam hubungan pernikahan”

Beberapa hari lalu saya menghadiri undangan pernikahan teman SMA saya. Melihat dia dengan pasangannya tersenyum sumringah di kuade, saya juga bisa merasakan turut senangnya di hari bahagia mereka. Lalu saya merenung, “Hari ini adalah awal membuka lembaran baru bagi mereka. Akan ada petualangan hidup yang menanti di depan sana.” Saya mendoakan semoga mereka menjadi pasangan yang istiqomah mau tumbuh bersama hingga akhir hayat.....

Saya kembali teringat dengan salah satu buku yang beberapa hari lalu baru saya tamatkan. Buku karya Virly K.A yang berjudul Life as Divorcee. Saya ingat betul Mbak Virly pernah mengibaratkan sebuah pernikahan seperti layaknya mengambil KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Ada kalanya si pemilik rumah me-maintenance supaya rumahnya tetap layak dan nyaman untuk dihuni. Renovasi terkadang juga dibutuhkan jika ada suatu yang tak beres, seperti cat rumah yang mulai pudar, atap yang bocor, tembok yang retak, dan masih banyak lagi.

Merawat Pernikahan = Me-maintenance Rumah

Merawat pernikahan sama halnya dengan me-maintenance rumah. Butuh energi, tenaga, pikiran yang nggak main-main.  Kita dan pasangan harus memiliki visi yang sama sejak awal. Hal yang prinsipel sudah sepatutnya sejalan dan satu tujuan. Di luar dari itu, memungkinkan juga ada yang namanya perbedaan, yang itu akan jadi warna dalam berumah tangga.

Di dalam buku Life as Divorcee, Mbak Virly dengan berani dan lantang menyampaikan bahwa menjadi seorang divorcee (orang yang bercerai)-apalagi perempuan- bukanlah hal yang menyedihkan dan tidak pula memerlukan rasa iba dari orang lain yang mana dianggapnya telah gagal membangun bahtera rumah tangga. Sebenarnya, memutuskan menjadi seorang divorcee sama halnya dengan saat memutuskan untuk menikah, sebuah pilihan yang tidak sembarang asal diputuskan. Saat seseorang memutuskan menjadi divorcee, dia perlu tau apa saja konsekuensi yang akan dia hadapi ke depannya, terlebih jika dia sudah memiliki buah hati.

Hal Tabu yang Tak Perlu Ditabukan Lagi

Bagi saya, buku ini menarik. Sependek pengetahuan saya, belum banyak buku yang “menguliti” secara tuntas perihal perceraian -yang sampai saat ini masih dianggap sebagai hal yang tabu di kalangan masyarakat-. Namun, di dalam buku ini Mbak Virly dengan sangat terbuka membagikan pengalamannya menjadi seoarang divorcee sekaligus single mom parent di usia muda.

Bagi saya yang belum menikah, buku yang diterbitkan oleh EA Books ini sudah memberikan saya kaca mata baru dalam merespon fenomena perceraian yang ada di sekitar. Dan perlu digarisbawahi juga, buku ini tidak memiliki unsur rambu “Ngapain nikah muda kalo ujungnya gak bahagia dan cerai?” atau “Efek perceraian itu menyeramkan”. Bukan ya, sama sekali bukan seperti itu. Buku ini justru berusaha membuka cengkraman perspektif yang demikian. Supaya tidak mispersepsi, saya akan coba membedah sedikit insight apa saja yang saya dapatkan setelah baca buku ini.

A-Z Perihal Pre-Marriage Hingga Independent Divorcee

Buku ini terdiri dari 4 chapter dengan 138 halaman. Tipe buku yang tidak tebal dan bisa ditamatkan dalam waktu relatif cepat kalo emang pengen bener-bener langsung namatin. Empat chapter yang disajikan runtut, mulai dari sebelum benar-benar memutuskan untuk bercerai, obrolan sebelum pernikahan, jenis-jenis suami yang toxic dan tidak pantas untuk dipertahankan, co-parenting, soal finansial pasca bercerai, dating setelah menyandang status divorcee, dan masih banyak lagi.

Buku ini sangat kompleks, tapi bisa nggak sih kalo halamannya ditambahin? :’) penjelasan yang diberikan oleh Mbak Virly memang komplit, tapi masih bisa deh kayanya kalo lebih dipanjangin lagiii. Tebal buku 138 halaman ternyata masih belum cukup untuk mendeskripsikan kehidupan seorang divorcee. Ya memang tidak dapat dipungkiri, menjadi seorang divorcee tentu punya lika-liku kehidupan yang panjang. Banyak hal yang ia lakukan dengan versi barunya dan pasti ada hal-hal baru ia rasakan dan belum pernah dirasakan saat ia masih terikat dengan janji suci.

Covernya yang bernuansa oranye cukup estetik bagi saya, bahasa sederhanya kalo difoto tuh covernya cakeupp. Jenis font yang tidak terbentuk dari garis yang sempurna juga tentu punya filosofi tersendiri. Overall, secara fisik masih sangat bisa dinikmati untuk hitungan buku yang terbit di tahun 2021.

Jujur, first impression saat membaca buku ini adalah “Gilaa, berani dan vokal banget ini mah” Karena memang seterbuka itu Mbak Virly menuliskannya. Saat membacanya, saya bisa merasakan bahwa buku ini bener-bener ditulis dalam keadaan semangat, namun tetap elegan. Disini Mbak Virly memang berusaha supaya “ngena” untuk pembacanya. Buku ini mengandung banyak nasihat dan pesan tapi cara penyampaiannya tidak terkesan menggurui, bahkan terasa seperti diberi advice oleh sahabat karib kita. Bener-bener baik dan tidak menjerumuskan hahaha.   

Deep Conversation Before Marriage

Bagian yang membahas tentang “Pre-Marriage Talks I Didn’t Do” adalah bagian favorit saya. Mungkin karena pembacanya belum menikah ya, jadi saat membaca part ini tuh kek ngerasa dapet list tambahan sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan ke jenjang yang lebih serius. Di bagian ini Kak Virly lebih menekankan bahwa pre-marriage talk itu bukan sekadar membicarakan konsep decor wedding, siapa saja yang diundang, venue indor/outdoor, atau katering, dan perintilan teknis lainnya.

Deep conversation yang ditekankan disini adalah diskusi perihal apa saja yang akan mempengaruhi hidup kita dan pasangan sekarang dan di kemudian hari, misalnya mengenai visi, misi, prinsip, impian, dan sejenisnya. Setidaknya, terdapat 6 topik pembahasan yang perlu banget dibicarakan dengan pasangan sebelum memutuskan untuk menikah, diantaranya: soal hidup dan prinsip; visi dan impian; soal anak; money talks; tentang perceraian; sex stuff.

Jika kita sudah yakin dengan pasangan, seharusnya hal semacam ini sudah sepatutnya dibahas bersama. Dan, tidak ada lagi rasa nggak nyaman buat membahasnya berdua. Kalo masih nggak nyaman buat bahas hal semacam itu, tanyakan lagi pada diri sendiri, udah yakin 100% belum sama doi? Kaidahnya adalah kalau ragu, tinggalkan saja. Ini kata Kak Virly ya, bukan saya yang jadi sok bijak hahaha.

Jika ditanya ada dimana posisi saya setelah membaca buku ini, saya akan menjawab saya berdiri di posisi yang sama dengan Mbak Virly. Saya mengamini semua statement-nya. Dan mau berterima kasih juga buat Mbak Virly yang dengan tidak segan membagikan kisah dan pengalaman hidupnya supaya teman-teman pembaca punya rambu baru dalam menyikapi sebuah pernikahan dan perceraian.

Sampai di sini bekalnya sudah ada nih, pasangannya udah ada belum?! #tanyadirisendiri Semoga review kali ini bisa bermanfaat untuk teman-teman yang membaca. Buat kalian yang tertarik, beli aja bukunya. Dengan harga Rp. 78.000,00 saja, buku ini sudah bisa berada di genggaman kalian. Belum lagi kalo ada diskon di marketplace ya kaaan.

“Bercerai bukan berarti menyerah atau enggan menyelesaikan masalahnya. Sama seperti mempertahankan rumah tangga setelah badai, bercerai juga merupakan solusi. Sama bobotnya. Sama halnya tidak ada yang salah dengan keputusan perempuan untuk meminta cerai dengan pertimbangan kebahagiaan sendiri, bukankah kita memang bertanggung jawab terhadap kebahagiaan masing-masing?”

-Life as Divorcee, page 5-




Baca Juga Nih

No comments:

Komentar dan saranmu akan bermanfaat untukku 😊

Powered by Blogger.