Sumber: unsplash.com

Mal, aku pengen donor darah tapi takut lihat darahku diambil

Aku pengen banget donor, tapi tensiku selalu rendah. Jadi gabisa deh

Berat badanku masih di bawah 45kg, belum bisa kan ya donor darah?

Sering sekali saya mendengar kalimat itu dari kawan-kawan setelah mendengar cerita saya habis donor darah. Banyak yang ingin, namun masih terhalang dengan kekhawatiran yang ada di pikiran mereka. Pun sama dengan saya dulu, sebelum pada akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba saat  merasa siap.

Saat SMP, saya mengikuti ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR). Kami diajarkan bagaimana memberikan pertolongan pertama pada berbagai macam korban, bagaimana merawat kesehatan dan lingkungan dalam keluarga, mitigasi bencana alam, dan masih banyak lagi. Satu materi yang saya ingat dan saya senang adalah materi DORAS (donor darah sukarela).

Kami pernah diajak ke kantor PMI (Palang Merah Indonesia) di kota kami untuk melihat bagaimana melakukan donor darah. Senang rasanya melihat ada orang yang mau dengan senang hati menolong orang lain yang mungkin juga bahkan tidak ia kenal. Saat itu, usia kami belum diperbolehkan untuk donor darah. Kami hanya diperbolehkan untuk cek golongan darah kami. Saat kecil, saya termasuk anak yang rentan sakit dan beberapa kali hingga rawat inap. Cek lab untuk diambil darahnya bukan jadi hal yang menakutkan lagi buat saya. Infus dan suntik seakan-akan sudah menjadi kawan baik, bukan lagi monster jahat, haha. Akhirnya, saya pun kebagian juga diambil darahnya saat itu. Saya jadi tahu bagaimana petugas mengambil darah kemudian mencampur entah itu larutan apa, kemudian dimasukkan ke pipet lalu diteteskan ke kertas dan menghasilkan warna yang berbeda, tak seperti darah segar.

Sejak saat itu, saya berikrar kepada diri saya bahwa kelak jika sudah mencapai seluruh persyaratannya, saya pasti akan mencoba untuk donor darah. Dan ternyata, hal itu terwujud setelah 10 tahun ikrar itu terpatri di hati saya. Di usia saya yang menginjak 24 tahun, akhirnya saya bisa melakukan donor darah pertama untuk pertama kalinya. Bukan tanpa alasan saya memberanikan diri. Ini juga karena dorongan dari seseorang yang telah menginspirasi saya. Perannya sangat besar hingga pada akhirnya karenanya saya berani melangkahkan kaki sendiri ke Unit Donor Darah (UDD) di Kota Malang.

Sebelumnya, saya juga mendapatkan sebuah kutipan dari seseorang lainnya yang intinya bahwa, “Jika kamu merasa hidupmu tidak berguna, coba lah untuk melakukan donor darah”. Saat itu, kondisi saya nampaknya seperti itu. Merasa krisis identitas, dan bingung menentukan arah langkah tujuan hidup di dunia. Itulah yang mendorong saya untuk membulatkan tekad, “Oh, ini saatnya aku mencoba untuk donor darah”.

Berbagai upaya saya lakukan supaya saat akan mendonorkan darah kondisi fisik saya tetap sehat dan prima. Jam tidur saya ubah lebih awal, beberapa kali saya konsumsi sate kambing (iya, tensi saya seringnya rendah), dan minum air putih lebih banyak dari biasanya. Habbit ini saya bangun dari tujuh hari sebelum saya memutuskan untuk ke UDD. Percobaan pertama, tensi saya ternyata masih rendah dan petugas menyarankan saya balik 3 hari lagi. Selama 3 hari ini, saya disarankan untuk mengkonsumsi tablet penambah darah dan jus yang dapat meningkatkan tensi saya yang rendah ini. Percobaan kedua akhirnya saya dinyatakan bisa melakukan donor darah. Ini kali pertama, rasanya senang dan ada deg-degannya juga, sih hehe.

Saya ditanya mau tangan lengan kanan atau kiri. Memutuskan itu saja bingung, haha. Akhirnya saya memutuskan tangan kiri, dengan pertimbangan tangan kanan saya masih bisa saya pakai untuk scroll sosial media saat lengan tangan kiri saya diambil darahnya. Tapi ternyata, tangan kiri saya tidak pasif begitu saja. Jari-jemari saya disuruh meremas bola supaya darahnya terus mengalir katanya. Proses pengambilan darah kiranya 12-15 menit saja. Saya kira akan lama.

Per tulisan ini dibuat, saya sudah melakukan donor darah sebanyak 3 kali. Kebaikan ini mungkin akan kuteruskan sampai kapanpun, sepanjang badan saya masih bisa memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Ada rasa senang dan lega tersendiri bagi saya setelah saya melihat sekantong darah yang berasal dari tubuhnya. Entah, senangnya bukan main. Seperti merasa, “Oh, sebagian tubuhku masih bisa berguna ya. Aku tetap mau hidup dan bermanfaat untuk orang lain”.

Bagi saya, donor darah bukan hanya sekadar menghibahkan darah kita untuk orang lain. Namun, ada secercah pesan yang Allah titipkan kepada para pendonor darah bahwasannya kita adalah perpanjangan tangan dari Allah untuk kehidupan orang lain yang sedang membutuhkan darah, seorang yang masih ingin hidup dan memberikan manfaat kepada orang lainnya. Donor darah itu panggilan jiwa. Jika memang merasa belum siap, jangan dipaksakan. Tapi, saat dirimu sudah siap, kamu akan menemukan ketentraman yang belum tentu pernah kamu rasakan seumur hidup.

Terakhir, saya pernah membaca kutipan dari seseorang, yang mungkin akan saya pegang seumur hidup saya, “berikanlah hidup yang menghidupi hidup

 

**sepertinya akan menambahkan list kriteria pasangan: yang bisa dan bersedia untuk diajak rutin donor darah bersama haha

 


Tahun 2023 telah terlewati, namun ada satu tradisi pribadi saya yang masih luput dilakukan. Ya, menuliskan bahan perenungan dan mulai merencanakan resolusi di tahun mendatang. Bagi saya pribadi, tradisi yang sudah ada memang perlu dirawat. Dan dari tulisan ini, di kesempatan kali ini, saya sedang berupaya untuk melunasi tanggungan itu.

Tanggal 16 Desember 2023 melegitimasi usia yang seperempat abad ini. di tanggal tersebut, tidak ada perayaan spesial macam tahun-tahun sebelumnya, pun perayaan kecil-kecilan. Di hari itu bahkan saya sedang mengurus kegiatan organisasi hingga tak tau waktu. Rasanya, sama seperti hari-hari biasa. Ini juga mungkin pada hari itu saya tidak sempat melakukan “tradisi” yang saya maksud.

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran baru yang saya dapatkan di tahun 2023. Sebagai seorang yang sebenarnya tidak begitu punya banyak ruang bebas (menurut saya), bagi saya, dua-tiga pengalaman baru yang memberikan kesan berbeda akan saya anggap itu momentum yang tidak akan saya lupakan. Beberapa momentum itu akan saya uraikan di tulisan ini.

Pertama wabil khusus adalah momentum saat saya menjadi peserta terpilih dari kegitana Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) ke-IX yang diselenggarakan oleh Agrarian Resource Center (ARC) bulan Juli lalu. Pengalaman selama 7 hari berkegiatan di Sekretariat ARC di Bandung sudah saya tuliskan disini.  Mengapa kegiatan ini berkesan bagi saya, karena ini perjalanan pertama saya melampaui 3 provinsi sendirian di tahun 2023. Selama perjalanan, saya seakan merasa menjadi perempuan yang bebas dan dapat melakukan apa saja sendirian kala itu. Bertemu dan berbincang dengan orang baru tanpa ragu dan malu. Merasakan lingkungan baru dan mendapat teman baru mutlak menjadi hal klise yang akan didapatkan saat kita menggoreskan peristiwa baru di kehidupan. Sekali lagi, bagi manusia yang merasa ruang geraknya terbatas, pengalaman ini tentu akan sangat berharga dan tidak akan dilewatkan oleh dirinya.

Kedua, bergabung dalam organisasi himpunan Forum Komunikasi Magister Ilmu Hukum FH UB. Mengapa berkesan, karena kegiatan-kegiatan di dalamnya yang membuat ruang kuliah dan diskusi saya di masa studi ini jadi lebih berwarna. Saya merasakan kembali atmosfer organisasi kemahasiswaan semasa strata satu dulu. Ya, memang tentu ada yang berubah. Tapi, sifat organik dari organisasi kemahasiswaan beserta problematika di dalamnya tidak jauh berbeda. Perihal sense of belonging dari setiap anggota pengurus menjadi topik pembahasan yang sangat menarik untuk dibahas saat bertemu. Saya dan beberapa teman sering dan intens bertemu dan bahkan kami memiliki satu tempat pilihan yang tidak dapat dibantah, Kopi Jokotole.

Ketiga, perihal satu orang yang menghiasi dari awal tahun hingga akhir tahun 2023. Seorang yang mungkin akan saya simpan sendiri deskripsi personanya. Tapi, yang saya yakini betul bahwa dia adalah orang baik, jika memang dia tidak mau dikata sebagai orang baik, setidaknya di mata saya dia selalu punya keinginan untuk menjadi orang baik. Yang jelas, saya ingin berterima kasih padanya, atas persona dan citra yang dia bagikan melalui media sosialnya, hidup saya di tahun 2023 punya hidup yang menyala. Terima kasih mas. Semoga takdir Allah membawamu untuk bisa lebih tegar, kuat, dan terus bertumbuh menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat untuk sekitar.

Banyak hal yang wajib untuk disyukuri tahun ini. Nikmat sehat dan nikmat ketersediaan apapun yang dibutuhkan, kehangatan dan keharmonisan keluarga, solidaritas kawan-kawan, hajat baik yang senantiasa Allah kabulkan, segala permasalahan yang menemukan solusinya, tetap konsisten menjadi orang baik di tengah godaan mampu melakukan hal yang tidak Allah senangi.. semua itu karunia Allah yang wajib untuk disyukuri dan dirayakan.

Tahun 2024 sudah berjalan, kita tunggu ya kejutan apa yang akan terjadi di tahun ini. Jangan lupa juga tingkatkan intensitas kita untuk mendekatkan diri pada Allah ya. Bismillah, mari kita sambut tahun 2024, semoga menjadi tahun baik untuk kita semua!

 


Bagi orang yang short term memory seperti saya, mencatat atau menulis apa yang baru saja dialami memang sangat penting. Yaa.. karena kami mudah lupa, jadi sayang sekali jika ada momentum berkesan dan berharga tidak kami tulis. Setidaknya, jika momentum itu tidak terekam dengan baik di memori, masih ada tulisan yang bisa dibaca ulang untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Pada kesempatan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman saya beberapa bulan lalu, dimana saya menjadi salah satu peserta di salah satu kegiatan yang memorable. Kalau saat penutupan acara kemarin belum sempat memuji, mungkin dalam artikel ini nanti kawan-kawan akan menemukan selipan pujian untuk kegiatan yang super worth it ini!

Tanggal 17-23 Juli 2023, Agrarian Resource Center (ARC) menyelenggarakan satu kegiatan bernama Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) yang ke-9, bertempat di Perpustakaan ARC, Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung. Pesertanya sebanyak kurang lebih 25 orang yang sebelumnya telah diseleksi (berdasarkan CV, tulisan, dan jawaban yang telah dikirim) oleh panitia, dan alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk menjadi salah satu bagian dari peserta yang lolos seleksi. Pesertanya tidak hanya berasal dari wilayah Bandung dan sekitarnya, tetapi nyaris tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Beragam suku, bahasa, kebiasaan, latar belakang, bahkan kisah-kisah menarik yang kawan-kawan bawa dari daerah masing-masing.

Selama 7 hari, kami diberi materi-materi seputar agraria kritis. Hari pertama, setelah ada sedikit seremoni dan perkenalan, para peserta diajak untuk menonton film ‘Marinaleda’ kemudian dilanjutkan dengan diskusi ringan seputar film tersebut bersama kelompok yang sudah ditentukan. Film tersebut memantik para peserta untuk berpikir sejenak tentang isu agraria yang terjadi di Marinaleda, Spanyol. Kemudian dilanjut dengan dua materi yang disampaikan oleh Muhammad Syafiq, yakni ‘Agraria dan Studi Kritis’ dan ‘Transisi Agraria dan Peralihan Corak Produksi’.

Bagi saya, dua materi awal ini menjadi ‘pijakan dasar’ untuk materi-materi selanjutnya. Karena, pada materi-materi selanjutnya, sering kali menggunakan istilah, konsep, dan prinsip yang sudah dijelaskan pada dua materi di hari pertama. Agraria bukan hanya sekadar tentang tanah, lahan, atau pertanian, tetapi lebih kompleks daripada itu, agraria didefinisikan sebagai hubungan antara orang/sekelompok orang dengan lingkungan alam sekitarnya. Transisi agraria yang ada saat ini merujuk pada perubahan pada arah perkembangan kapitalisme. Di dalamnya juga kemudian dijelaskan bagaimana Agrarian Question (Q1 Politik, Q2 Produksi, Q3 Akumulasi) bekerja. Pembahasan mengenai Agrarian Question ini selalu muncul di materi-materi selanjutnya. 

Hari kedua, dibuka dengan diskusi buku ‘Capitalism and Agrarian Change: Class, Production, and Reproduction in Indonesia’ disampaikan langsung oleh penulis (Muchtar Habibi) dan ditanggapi oleh Founder ARC, Kang Gepenk dan Henry Saragih (SPI) melalui media daring. Kemudian dilanjutkan dengan materi ‘Transformasi Kaum Tani’ oleh Fikri Fauzi yang menguraikan secara detail siapa yang dimaksud dengan ‘petani’ dan apa perbedaannya dengan peasant, buruh tani, dan lain sebagainya.

Hari ketiga, ini menjadi salah satu materi menarik menurut saya yakni ‘Reforma Agraria dalam Konteks Transisi Agraria’ oleh Rizki Hakim. Disini para peserta diajak untuk menguliti apa saja yang ada di balik Reforma Agraria (RA)/ Agrarian Reform, syarat dan ciri ideal RA, hambatan, dan pelaksanaan RA by Grace dan by Leverage. Dilanjutkan dengan materi ‘Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia’ oleh Mario Iskandar yang menerangkan secara runtut historis RA di Indonesia dari masa feodalisme, kolonialisme hingga rezim saat ini. Meskipun disampaikan oleh 2 pemateri yang berbeda, tapi penyampaiannya tetap sinkron dan bersambung.

Hari keempat, materi ‘Kapitalisme dan Neoliberalisme’ disampaikan oleh Sutami Amin. Dalam paham neoliberalisme, negara selalu terlibat dalam kegiatan pasar. Materi kedua adalah ‘Pembangunan/Developmentalisme’ oleh Alvin Waworuntu. Pada materi ini para peserta diajak melihat kembali latar belakang sejarah pembangunanisme yang terbagi dalam 3 babak yakni babak I (Pasca Perang Dunia 2), babak II (Puncak Perang Dingin), hingga babak III (Perang Dingin berakhir dan berkembangnya neoliberalisme) serta Pembangunanisme Agraria yang ada di Indonesia.

Hari kelima, ‘Agrarian Extrativisme’ oleh Rizki Hakim. Dijelaskan bahwa Extrativisme Agraria merupakan logika ekstraktivisme yang bekerja dalam sektor agraria (agroindustry dan forestry industry) yang secara khusus dimaknai harus ada flex corps (ada bahan mentah). Materi selanjutnya ‘Pencaplokan Lahan/Land Grabbing’ disampaikan oleh Maghfira Fitra, mekanisme Land Grab dapat dilihat dari empat kuasa eksklusi (dalam buku Kuasa Ekskulisi yang ditulis Hall, Hirsch, dan Li), yakni regulasi/pengaturan, paksanaan, pasar, dan legitimasi.

Hari keenam, ‘Dari Gerakan Tani ke Gerakan Sosial Pedesaan’ oleh Andini P Atika. Pada materi ini dijelaskan mengapa dan apa saja karakteristik dari gerakan sosial, kemudian mengapa lebih tepat disebut sebagai Gerakan Sosial Pedesaan, bukan Gerakan Tani, dan bagaimana dinamika pergerakannya dewasa ini.

Selanjutnya, materi ‘Gerakan Sosial Pedesaan di Indonesia Pasca ‘65’ yang dibawakan oleh Pandu Sujiwo dan Teh Hilma (Peneliti Senior ARC). Sebelum mulai materi kedua, peserta diharuskan berdiskusi dengan kelompok masing-masing tentang gerakan sosial pedesaan dari tahun 1965 hingga era 2000-an. Hasil diskusi tersebut dipresentasikan sebelum pada akhirnya materi disempurnakan oleh kedua pemateri. GSP dari masa ke masa memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Hari ketujuh, dimana ini menjadi hari terakhir dari serangkaian kegiatan CASI yang dibuka dengan nonton film dan diskusi ‘Moviemento Dos Trabalhadores Rurais Sem terra (MST)’ ‘dan materi pamungkas ‘Gerakan Pendudukan Tanah’ yang disampaikan secara langsung oleh Kang Gepenk, ini menjadi materi penutup sekaligus membungkus materi dari hari pertama hingga terakhir.

Oh iya, ada yang belum tersampaikan. Jadi, selama 7 hari, di penghujung rangkaian kegiatan selalu ada yang namanya sesi wrapping up. Sesi ini biasanya secara bergantian diisi oleh peneliti-peneliti senior ARC, seperti Kang Gepenk, Teh Hilma, dan Kang Erwin. Sesi wrapping up ini adalah sesi diskusi tanya-jawab untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum terakomodir pada sesi materi. Penjelasan jawaban dari beliau-beliau selalu dalam, sangat detail menjelaskannya. Hingga larut malampun biasanya masih dijabanin *yang penting PERMEN to the rescue ya kaaan

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran berharga yang saya dapatkan selama 7 hari mengikuti kegiatan CASI. Banyak hal baru yang saya dengar dan saya pelajari, di luar wawasan saya yang selama ini belum begitu luas. CASI justru memantik saya untuk mencoba mempelajari spektrum lain di luar apa yang saya pelajari saat ini dan mendorong saya untuk merefleksikan isu-isu agraria secara lebih komphrehensif lagi, saya menjadi punya perspektif baru untuk memandang hal tersebut. 

Saya mau mengucapkan terima kasih banyak kepada panitia, pemateri, sekaligus kawan-kawan peserta CASI IX. Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk berada di tengah-tengah kalian, mendapatkan ilmu, wawasan, dan pengalaman baru yang super sangat menyenangkan! Terkhusus juga untuk kelompok saya, ada Mas Sifa, Kak Tammi, Kak Lulu, Kato, Zidan, dan Ghibran yang selama 7 hari konsisten melaksanakan diskusi sehat dan tidak mengintervensi satu sama lain hahaha. Plus, Golda dan Anggi yang selama 7 hari selalu punya cerita usai kegiatan dan bikin tidur di atas jam 12 wkwk, thankyou guys! Semoga bisa berjumpa lagi di lain kesempatan kawan-kawan semua!

Di tahun 2023, kota Bandung wabil khusus Sekretariat dan Perpustakaan ARC, yang ada di daerah Arcamanik itu sudah mencatatkan kisahnya dalam perjalanan saya untuk menuntut ilmu di tempat baru. Menyenangkan, tidak pernah dilupakan, dan suatu saat masih ingin kembali kesana.

Terakhir, izin mengambil kutipan yang sering didengar saat kegiatan CASI kemarin, What is to be done?”

 


“Dia anak kandung saya. Ada darah dan daging saya yang mengalir di tubuhnya

Tapi ada keringat dan air mata saya yang menemaninya selama 7 tahun

Apa yang kalian rasakan saat mengetahui ada seorang ibu dipanggil dengan sebutan ‘tante’ oleh anak kandungnya sendiri? Bagaimana perasaan kalian saat melihat ada seorang perempuan yang dengan tulus, ikhlas, dan penuh kasih sayang membesarkan anak yang lahir tidak dari rahimnya? Perasaan bimbang, sedih, haru akan campur aduk jadi satu. Sensasi ini bisa kalian dapatkan saat menonton film “Air Mata di Ujung Sajadah”.

Mau cerita sedikit. Beberapa hari lalu, saya menunaikan tugas sebagai fans militannya Fedi Nuril aka Fedivers dengan menonton film yang mana salah satu pemeran utamanya beliau. Jujur, di awal saya masih maju-mundur untuk nonton karena setelah liat trailernya, saya menilai film ini terlalu klise dan ‘drama banget’. Namun, siapa sangka setelah saya memutuskan untuk ke Bioskop, usai menonton filmnya, saya benar-benar nangis tersedu-sedu sepanjang film bahkan (masih menangis) dalam perjalanan pulang menuju kost-an. Agak hiperbola sih, cuma emang iya beneran gitu :’)

Sinopsis

Film ini menceritakan perjuangan seorang ibu bernama Aqilla (Titi Kamal) yang mencari anak kandungnya usai dipisahkan darinya sejak lahir. Saat dilahirkan, atas kemauan ibunya, yakni Bu Halimah (Tutie Kirana), bayi itu diadopsi oleh salah satu karyawannya yakni Arif (Fedi Nuril). Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Baskara (Muhammad Faqih Alaydrus). Supaya Arif dan istrinya-Yumna (Citra Kirana)- tidak ada peluang untuk bertemu Aqilla, mereka memustuskan untuk meninggalkan Jakarta dan berencana untuk membesarkan Baskara di kampung halaman Arif, Solo.

Baskara tumbuh di tengah keluarga yang sangat harmonis. Mama dan Papa yang menyayangi sepenuh hati, juga Eyang (Jenny Rachman) yang penuh perhatian dan menyenangkan. Sedangkan Aqilla, ia meneruskan hidupnya dengan melanjutkan kuliah di Eropa. Tujuh tahun berselang, mendadak kondisi Bu Halimah memburuk. Aqilla bergegas pulang ke Jakarta untuk memastikan kondisi ibunya. Kata-kata terakhir Bu Halimah sebelum menghembuskan nafas terakhir adalah meminta maaf pada Aqilla karena telah berbohong selama ini, “anak kamu masih hidup”. Hati Aqilla sangat kalut, di saat ia sudah berusaha menerima suratan takdir bahwa anaknya telah tiada, kemudian ia tahu bahwa ibunya sendiri berbohong padanya perihal anak yang ternyata masih hidup.

Untuk lebih lengkapnya, silakan kalian tonton trailernya dulu ya, bisa langsung klik di siniMulanya, banyak yang mengira film ini adalah film bergenre drama rumah tangga, yang tidak jauh-jauh dari poligami dan perselingkuhan. Tapi, setelah baca sinopsis dan nonton trailernya, pasti suudzon dan asumsi kalian tentang film ini sedikit terbantahkan. Apalagi nonton filmnya langsung  di bioskop, dah makin terjawablah alur filmnya mau dibawa kemana....

Kental dengan Drama, Siapin Tissue!

Cerita yang dibawakan dalam film ini sangat mungkin jika kita temukan di dunia nyata. Atau mungkin orang sekitar kalian ada yang mengalaminya. Layaknya film-film drama pada umumnya, tentu film drama yang baik adalah film drama yang bisa memporak-porandakan emosi para penontonnya. Dan ya, film ini berhasil melakukan hal itu. awal-awal kita dibuat senang, tertawa, beberapa saat kita dibuat menangis, haru, lalu gembira lagi. Gitu aja terus siklusnya.

Pengemasan cerita dengan alur maju ini menurut saya sangat baik dan rapi. Keterbatasan durasi (durasi film 105 menit) mungkin bisa menjadi alasan pemaaf mengapa film ini tidak menyampaikan background permasalahan di tiap tokohnya. Kesannya, memang menjadi ‘Aqillasentris’ saja pada akhirnya. Padahal saya pribadi masih sangat ingin melihat background kisah Yumna da Arif dalam berumahtangga sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk mengadopsi Baskara.

Apresiasi sebesar-besarnya untuk para pemeran utamanya, Fedi Nuril, Citra Kirana, dan Titi Kamal. Ketiganya berhasil membangun hubungan dan chemistry yang oke, nampak senatural mungkin. Adegan Titi Kamal nangis nggak pernal gagal! Rasa sabarnya Citra Kirana juga nyampe banget, kita yang nonton bisa paham betul dia sedang berada di posisi yang sulit.

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Yang paling saya suka sepanjang film ini adalah scene-scene saat Baskara muncul. Salut sekali sama anak yang memerankan tokoh Baskara ini, keren gilaakk. Selalu berhasil bikin air mata jatuh tanpa terasa saat dia muncul. Tingkahnya yang polos, baik, dan lugu layaknya anak usia 7 tahun ini benar-benar menyentuh hati. Apalagi waktu scene nyanyi “Apa yang kuberikan untuk mama...” Aahhhh, gakuaaatttt. Saya merasa sangat beruntung sekali ada tissue di dalam tas saya, ternyata bermanfaat juga huaa.

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Judul dan Poster yang Kureng

Yang terpikir pertama kali saat tahu judul film ini, “Oh ini film religi”, dalam artian alur film nantinya pasti akan didominasi dengan nuansa religi. Tapi ternyata tidak. Unsur religi yang diperlihatkan cukup minim, dan bagi saya judul ini belum berhasil menunjukkan ‘oh iya ini benar film religi’. Hanya beberapa scene seperti Yumna ataupun Aqilla yang menggunakan mukenah dan sedang bermunajat di atas sajadah, Arif yang sedang mengajari ngaji Baskara, apalagi ya? Hanya itu yang saya ingat. Jika scene-scene nuansa religi ditampilkan lebih banyak, mungkin akan memperkuat dan akan sangat mendukung judulnya sih.

Kedua, judul film ini menurut saya masih kurang eye-catching di tengah gempuran film-film Indonesia dengan judul yang ringan dan sederhana. Judulnya sangat serius. Atau mungkin memang citra itu yang ingin dibawakan dari film ini?

Poster dengan satu lelaki diantara dua wanita ini memang cukup meliarkan asumsi para netizen ya wkwk. Ada yang berasumsi film ini tentang mendua, selingkuh, poligami, dan asumsi-asumsi suudzon lainnya. Tapi memang betul, posternya menurut saya pribadi juga kurang merepresentasikan alur cerita yang akan disampaikan dalam film, jadi terkesan ambigu. Meskipun di poster juga sudah ada kehadiran si anak yang memang diperebutkan, sayangnya anak ini malah seakan hanya menjadi pemanis dalam poster, bukan jadi hal yang harus disoroti.

Fedi Nuril, Spesialis Aktor Huru-Hara Rumah Tangga

Sebelum menonton filmnya, saya berasumsi bahwa peran Fedi Nuril akan sangat di-spotlight. Tapi ternyata tidak demikian, dan ya gapapa. Fedi Nuril disini berperan sesuai porsinya. Menjadi seorang ayah dan suami, dimana ia juga berada di posisi yang bimbang. Mendahulukan kebahagiaan istri dan keluarganya ataukah menaruh empati pada seorang ibu yang ingin bertemu dan membesarkan anak kandungnya?

Sumber: Kanal Youtube Beehave Pictures

Sejak dulu dan sekarang pun, saya masih berani ngeklaim kalo Fedi Nuril memang masih layak berada di posisi pertama urutan spesialis aktor huru-hara rumah tangga! Genre drama sepertinya memang sudah sangat melekat untuk Fedi. Tokoh-tokoh yang diperankan di satu sisi dielu-elukan, tapi di sisi lain juga akan bisa sangat dibenci. Ya memang nggak bisa mengelak ya, berarti aktingnya berhasil ni masuk ke emosinya para penonton. Salam takzim Bang Fedi!

Itu tadi beberapa poin yang bisa saya tangkap usai nonton film ini. secara keseluruhan, film ini layak untuk ditonton di layar lebar. Jadi, yang belum nonton silakan jangan ragu untuk pesan tiket di bioskop kesayangan kalian! Terakhir, terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya untuk seluruh aktor-aktris serta kru film “Air Mata di Ujung Sajadah” atas sajian karya yang baik ini. Semoga filmnya tidak cepat turun layar dan banyak menebarkan nilai manfaat bagi para penontonnya, aamiin.  

Powered by Blogger.